Para narawiyata berkutat dengan perencanaan program kerja. |
Luar biasa! Dua puluh (100%) responden mengaku bahagia menjalani rutinitas harian di rumah. Seperti apa profil rutinitas mereka di rumah?
"Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar". Demikian tema peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Pokoknya, "merdeka" menjadi mantra paling sakti di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan selama 4 tahun terakhir.
Merdeka itu bebas. Bebas itu ya bebas saja. Di alam merdeka belajar ini publik sering disuguhi berita tentang berbagai manifestasi kebebasan di dunia pendidikan. Aneka perilaku ekspresi kebebasan itu sepertinya bisa dihimpun menjadi satu kata: perundungan.
Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw |
"Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya.
Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho."
Albert Einstein, fisikawan teoretis kelahiran Jerman (14 Maret 1879—18 April 1955) |
Pagi itu Albert Einstein terjadwalkan memberikan kuliah di sebuah universitas. Sejak mereka cipta teori relativitas, sang jenius itu memang laris diundang ke berbagai universitas. Para profesor (yang terhormat maupun yang kehormatan), para doktor (yang asli maupun yang HC [hanya caosan]), para master dan termagis, eh, magister, para sarjana tua dan sarjana muda, serta para mahasiswa jalur seleksi tes maupun mandiri yang menggeluti fisika kebelet menyimak teori baru itu langsung dari inventornya.
Gambar 1. Profil salah satu penyelenggara kompetisi akademik |
Gila sertifikat. Demam kompetisi. Itu barangkali yang menjadi pemicunya. Sertifikat menjadi tolok ukur harga diri. Sertifikat menjadi alat untuk menaikkan reputasi.
Dahulu, ketika sertifikasi guru dapat ditempuh melalui jalur portofolio, banyak kaum pendidik sibuk berburu sertifikat. Salah satu yang tergolong mudah didapat adalah sertifikat kepesertaan dalam forum ilmiah: lokakarya (workshop), pelatihan, hingga seminar. Dengan mencantumkan nama kegiatan, tempat, waktu, materi, dan narasumber, sertifikat diterima sebagai bukti sah keikutsertaan seseorang dalam sebuah kegiatan pengembangan diri.
Penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti" |
Pagi ini saya menyaksikan kuliah umum Orientasi Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (OPSBM) Program Pascasarjana UGM. Setelah pidato sambutan Rektor, acara diselingi penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti". Penarinya delapan mahasiswi. Semua bertudung caping. Dari delapan wanita penari itu, hanya satu yang tidak mengenakan kerudung. Satu yang berbeda itu sudah cukup untuk mengantarkan saya kepada simpulan: kerudung bukan bagian dari ketentuan busana untuk tari tersebut.
Seketika ingatan saya melayang ke pengalaman belasan tahun silam. Saya menghadiri sarasehan di Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan dan Kebudayaan (BPMPK). Unit pelaksana teknis Kemdikbud yang terletak di Gunungpati, Semarang, itu kini sudah "almarhum". Saya belum tahu, gedungnya yang cukup representatif dan relatif masih muda itu sekarang difungsikan untuk apa.
Sumber gambar: https://www.uvocorp.com/ |
Seorang gadis belia. Berkerudung putih, serupa warna bajunya. Menggendong tas mungil di punggungnya. Mengenakan rok merah panjang hingga menutup mata kakinya. Usai memakai sepatu, dia berpamitan kepada ibunya. Salim dan cium tangan. Sebelum berangkat, ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya.
"Salam buat Bu Guru, ya, Sayang," pesan ibunda.
Sejurus kemudian, si gadis meninggalkan rumah bersama sepeda mininya.
Berpusat pada murid (student-centered). Popularitas doktrin ini meningkat pesat dalam empat tahun belakangan. Seolah-olah ia paradigma baru dalam dunia pendidikan. Padahal, ia sudah dikenalkan kepada gurunya guru-guru keguruan saya. Setidaknya, konsep itu sudah disodorkan oleh John Dewey pada 1956. Bahkan sebuah artikel yang baru saja saya temukan menyebut, konsep itu bisa dilacak pada esai Frank Herbert Hayward bertarikh 1905.
Mayjen Farid Makruf, Pangdam V/Brawijaya |
"Harus lebih banyak menampilkan babinsa. Kiprah mereka. Keteladanan mereka. Kepeloporan mereka. Juga, prestasi-prestasi mereka di tengah masyarakat desa," pesan Mayjen Farid Makruf, seperti dikutip Dahlan Iskan (Harian Disway, 24 Juli 2023, hlm. 2).
Jenderal Farid menyampaikan instruksi itu ketika dirinya belum genap satu minggu menjabat Panglima Daerah Militer (Pangdam) V/Brawijaya. Dia tidak ingin media milik Kodam hanya menampilkan foto-foto dan berita seputar kegiatan Pangdam. “Isi website Kodam Brawijaya jangan melulu wajah pangdamnya. Seminggu pertama, oke. Biar kenal dulu. Setelah itu harus lebih banyak menampilkan wajah babinsa. Atau Danramil. Dandim,” ujarnya.
"Mohon maaf, Bapak/Ibu. Saya terlambat mengirim tulisan."
Kalimat itu—atau ungkapan senada—sesekali tertulis sebagai takarir (caption), menyertai fail yang diunggah ke grup percakapan Telegram. Failnya berisi tulisan yang sulit dikategorikan genrenya. Tulisan itu diunggah untuk diperiksakan: dicari—kadang kala dicari-cari—penyakitnya, lalu diresepkan obatnya.
Grup percakapannya memang dinamai "Klinik Menulis". Klinik? Seram? Sekilas ya, begitu. Namun, sebenarnya penamaannya itu justru demi menghindar dari berbagai tuntutan. Sebelumnya pernah terpikir untuk memakai nama yang keren seperti "Kelas Menulis" atau "Akademi Menulis". Setelah dipikir-pikir, justru nama keren itu lebih menakutkan. Harus ada kurikulum yang terstruktur. Harus ada "pertemuan" terjadwal. Harus ada guru atau instruktur yang mumpuni, setidaknya tersertifikasi. Yang lebih menakutkan, (maha)siswa menulis demi tugas. Terjajah. Tidak merdeka belajar.
“Anak-anak lebih manut kepada gurunya. Karena orang tuanya jarkoni, bisa ngajar ora bisa nglakoni,” seloroh ibu seorang murid kelas 1.
Sebelumnya, beliau menyatakan, “Perkembangan itu tidak hanya didapatkan anak-anak, tapi juga menular di rumah.”
Ibu yang—saya tebak—seusia istri saya belasan tahun silam itu menyampaikan pidato sambutan mewakili orang tua teman-teman anaknya. Rabu (21/06/2023) pagi itu, sekolah anaknya menggelar Ekshibisi Kreativitas Siswa. Menu acaranya—seperti terpampang pada layar panggung—terdiri dari gelar karya, pentas, dan peluncuran buku. Kegiatan ini digelar untuk menandai akhir tahun ajaran. Dua hari berikutnya, anak-anak akan menerima buku laporan hasil belajar. Laporan itu sekaligus menentukan status anak-anak: naik ke kelas 2 atau mengulang belajar di kelas 1.
Karanggeneng, 19/06/2023
"Panjenengan Praci-nya mana?" tanya seseorang, menyambut kedatangan saya.
"Nokerto," jawab saya.
"Saudaranya Pak Paser?" tanyanya lagi.
"Prunan [anak adiknya]."
Selepas magrib saya memacu WinAir-100 ke Karanggeneng, Gunungpati. Kalau lancar, sepuluh menit perjalanan dari markas saya. Saya harus menyambangi Kak Yato, kawan saya yang tengah mengikuti kegiatan Pramuka tingkat Provinsi.
Tetiba saya mendapat kenalan baru. Semalam ada pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya. Pukul 20.06. Dari nomor yang saya tidak kenal. Hanya sepenggal kalimat salam. Tidak saya balas. Sengaja. Saya menunggu pesan berikutnya.
Sampai pagi saya sudah dan masih melupakan salam yang belum saya jawab itu. Simpulan sementara, salam salah alamat. Atau ulah iseng belaka. Atau ... salah seorang mantan lagi kumat kangennya?
Tepat sebulan yang lalu saya menerima titah: merealisasikan obsesi tuan-tuan. Sudah berbulan-bulan impian itu mengemuka ke perbincangan, formal maupun nonformal. Pemicunya, hadiah dari lembaga mitra.
Dalam kunjungannya ke lembaga kami, sekitar satu tahun yang lalu, rombongan lembaga mitra dari provinsi tetangga membawa hadiah istimewa: beberapa eksemplar buku. Kemasannya luks. Sampulnya hard cover. Isinya memakai kertas HVS supertebal. Perkiraan saya, itu HVS 120 gsm. Ukuran kuarto. Full color. Keseluruhan isinya 156 halaman. Dua halaman awal dan tiga halaman akhir kosong.
Pak Tom menyiapkan pupuk |
Maksud hati hendak periksa di klinik keluarga. Pagi-pagi saya sudah berkirim pesan tertulis ke nomor WhatsApp klinik. Saya menanyakan apakah klinik buka atau libur. Hari itu, Jumat (02/06/2023) adalah hari cuti bersama. Semestinya saya periksa Kamis, sehari sebelumnya, tetapi bertepatan dengan hari libur nasional. Dapat dipastikan pelayanan klinik pun libur. Obat yang diberikan oleh klinik pada pemeriksaan pertama, Senin (29/05) sudah habis pada Rabu malam. Sementara, keluhan yang sempat mereda selama tiga hari pengobatan itu mulai kambuh lagi sejak Kamis sore.
"Kok enggak ada yang jualan pisang?" tanya saya setengah bergumam.
Sebenarnya pertanyaan itu sekadar celetukan kepada diri sendiri. Namun, istri saya rupanya mendengar juga. Berarti, istri saya cukup perhatian kepada suaminya, kan? Atau terbalik: kata-kata saya selalu menarik perhatian istri saya? Halhah, apa pula pengaruhnya?
"Belum pada datang, paling," sahutnya.
Selepas magrib suatu hari. Hari dan tanggalnya, entah. Pun bulannya, saya lupa. Yang saya ingat hanya tahunnya: 2023.
Saya sedang berkemas hendak pulang. Seorang lelaki muda menghampiri saya. Satpam kantor. Tampak sangat gugup. Tergopoh. Kalimat salam diucapkan. Tangan kanannya diulurkan ke arah saya. Segera saya jabat sepenuh erat, seperti biasanya. Ia menyeringai.
"Lo, kenapa?" tanya saya, kaget.
Twibbon Harkitnas dengan foto Bung Tomo (kok bukan dr. Soetomo?) |
Apa kabar, bangsa Indonesia?
Beberapa hari yang lalu saya mendapati Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 Tahun 2023. Lengkap dengan naskah pidato sambutan Menteri yang—dugaan saya—bertindak selaku Ketua Panitia Pusat. Di situs resmi Kementerian Kominfo.
Pagi ini saya kembali menyambangi situs yang bersangkutan. Lenyap. Berkas dalam format PDF itu sudah tidak terlacak. Ketika saya ketik "Pedoman Peringatan Harkitnas PDF" di bilah pencarian, yang ditampilkan pedoman tahun 2022.
Seorang sejawat menyebut nama saya dalam tulisannya. Demi
memenuhi kewajiban, pagi itu (15/05/2023) dia menyetorkan sebuah tulisan ke
institusinya. Panjangnya sepuluh kalimat. Isinya curhat. Dia bingung hendak
menulis apa. Di situlah dia ingat pesan saya suatu ketika: pengalaman kesulitan
menulis pun bisa menjadi cerita yang layak untuk ditulis.
Sayangnya, dia berhenti di pengakuan bingung itu saja. Seandainya dia mengelaborasi kegundahannya, pasti panjang tulisannya akan berlipat ganda. Perasaan yang meliputinya menjelang tiba gilirannya menyetor tulisan adalah cerita menggelitik. Usahanya menggali ide dan menuangkannya dalam tulisan adalah cerita heroik. Suasana—lahir dan batin—yang mengiringi proses menulisnya adalah cerita epik.
“Hari gini nggak bisa Excel?”
Kalimat sarkastis itu terucap oleh anak buah saya, 14 atau 15 tahun silam. Saya memerlukan pengolahan data. Dengan Excel dari Microsoft itu—saya yakin—prosesnya menjadi mudah dan cepat. Sayangnya, saya belum pernah bekerja dengan perangkat pengolah angka itu. Mengeklik ikon pintasannya pun belum pernah saya lakukan. Ketika kepepet kebutuhan itu, saya pun pilih mengambil jalan pintas: memerintah anak buah.
Nono. Bocah kelahiran 2 April 2015 itu bernama lengkap Archangels Hendrik Meo Tnunay. Ayahnya, Raflim Meo Tnunai, bekerja sebagai tukang bangunan. Sementara, ibunya, Nuryati Ussanak Seran, dipekerjakan (saya sengaja memilih kata ini, bukan bekerja) sebagai guru kontrak di SD Inpres Buraen II, Kecamatan Amasari Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sekolah ini pula Nono saat ini duduk sebagai pelajar kelas II.
Baru-baru ini Nono menghebohkan jagat pendidikan Nusantara. (Nama ini juga sengaja saya pilih demi mengembalikan ingatan bahwa Nusantara sudah ada sejak lama, lebih tua dan lebih luas daripada Indonesia—apalagi dibandingkan dengan calon penjiplak namanya, yang baru berkecambah dan hanya sepetak tanah di salah satu dari 38 provinsi di Indonesia.)
Kepemimpinan, Pelibatan, dan Keberlanjutan
Sebagaimana layaknya sebuah gerakan, pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan dengan multiperan. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan sosok panutan, maka pimpinan sekolah harus hadir sebagai kampiun karakter. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan petarung tangguh, maka pimpinan sekolah harus tampil sebagai pendekar karakter. Gerakan pendidikan membutuhkan arsitek strategi, maka pimpinan sekolah harus berperan sebagai senapati pasukan karakter.
Mimpi Bersama, Kontribusi Semua
Segenap pemangku kepentingan sekolah diajak merajut mimpi yang sama: sekolahku surgaku. Masing-masing diberi kesempatan untuk mengidentifikasi karakter yang selayaknya dimiliki oleh setiap penghuni sekolah yang diimpikan sebagai replika surga. Lalu semua diberdayakan dan didayagunakan untuk membangun replika surga itu.
Penularan
Sebut saja namanya Tom. Ia dilahirkan, dibesarkan, dan hingga dewasa tinggal di salah satu negara Eropa. Bisnis butiknya berkembang pesat ketika usianya masih 20-an. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, pemasarannya menjangkau hampir seluruh benua Eropa.
Terilhami oleh pameran batik di sebuah kota mode terbesar di Eropa, Tom berminat untuk melengkapi koleksi butiknya dengan busana batik. Pada suatu musim panas, ia memutuskan untuk berlibur ke salah satu pusat kerajinan batik tulis: Yogyakarta. Di Kota Gudeg ia mengunjungi sejumlah rumah produksi batik.
Thomas Lickona, psikolog dan begawan pendidikan karakter dari SUNY Cortland, mendefinisikan karakter sebagai “… you do the right thing even when no one seeing.” Kita melakukan kebenaran meskipun tidak seorang pun melihat.
Jauh sebelumnya, Rasulullah Muhammad ﷺ—ketika ditanya oleh Malaikat Jibril `alaihi as-salām: “Apakah ihsan?”—menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihatnya, sungguh Allah pasti melihatmu.” (H.R. Bukhari: 48)
Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) pernah menyampaikan, “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” Maka, lebih lanjut ia mengingatkan, “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.”