Langsung ke konten utama

Menjawab Protes


Para narawiyata berkutat dengan perencanaan program kerja.

Luar biasa! Dua puluh (100%) responden mengaku bahagia menjalani rutinitas harian di rumah. Seperti apa profil rutinitas mereka di rumah?

Sejak pulang dari bekerja hingga sebelum tidur, hanya empat orang (20%) yang merasa santai. Mereka bisa menghabiskan 50% s.d. 75% waktu di rumah untuk bersantai. Dua belas orang (60%) masih agak sibuk. Mereka punya 25% s.d. 50% waktu selepas bekerja untuk bersantai bersama keluarga. Sementara, empat orang (20%) sisanya masih harus kembali sangat sibuk. Mereka hanya bisa menikmati kurang dari 25% waktu sore hingga malam untuk bersantai.

Berapa lama mereka punya waktu bersama keluarga dari sore hingga malam? Sepuluh orang (50%) baru tiba di rumah antara pukul 16.30—17.00. Enam orang (30%) sampai di rumah antara pukul 16.00—16.30. Satu orang sudah sampai di rumah antara pukul 15.30—16.00, satu orang antara pukul 17.30—18.00, dan satu orang lainnya baru mendarat di rumah setelah pukul 18.00.

Pukul berapa mereka mulai tidur malam? Dua orang biasa tidur sebelum pukul 20.00. Enam orang antara pukul 21.30—22.00. Masing-masing empat orang mulai tidur antara pukul 20.30—21.00, antara pukul 21.00—21.30, dan setelah pukul 22.00.

Berapa lama mereka tidur malam? Lima orang (25%) responden biasa bangun antara pukul 04.00—04.30. Masing-masing tujuh orang (35%) bangun antara pukul 03.30—04.00 dan antara pukul 03.00—03.30. Sedangkan satu orang sisanya biasa bangun sebelum pukul 03.00.

Dari 20 responden, 13 orang (65%) harus sudah berangkat ke tempat kerja antara pukul 06.00—06.30. Bahkan, 5 orang (15%) harus sudah meninggalkan rumah sebelum pukul 06.00. Hanya 4 orang (20%) yang berangkat agak siang, antara pukul 06.30—07.00.

Bagaimana kesibukan mereka sejak bangun tidur hingga menjelang berangkat bekerja? Tiga belas orang (65%) sangat sibuk. Kurang dari 25% waktu pagi yang bisa mereka gunakan untuk santai. Tujuh orang (35%) sisanya masih agak sibuk. Mereka mendapat bagian antara 25% hingga 50% waktu pagi untuk bersantai.

Itulah profil rutinitas 20 pegawai yang selama lima hari dalam sepekan bekerja dari pukul 07.00 hingga 15.00. Sabtu mereka bisa pulang lebih awal karena jam kerjanya hanya sampai pukul 12.30.

Dengan tingkat kesibukan di luar jam kerja sepadat itu, mereka tetap merasa bahagia. Lalu bagaimana perasaan mereka dalam menjalani rutinitas di tempat kerja? Berikut profilnya.


Tidak meragukan! Mereka pasukan tangguh di dalam, tangguh pula di luar. Mereka menikmati tugas di tempat kerja dan peran di keluarga.

Suatu ketika, mereka mendapat tugas dinas di luar tempat kerja. Tiga hari tiga malam. Menginap. Selama tiga hari, kegiatan baru berakhir pada pukul 21.30. Pukul 03.00 mereka harus sudah bangun. Terjadwalkan kegiatan penunjang sampai subuh. Pukul 07.00 kegiatan pokok sudah dimulai.

Ada yang menawar: kegiatan pokok dimulai pukul 07.30. Diundur setengah jam. Seorang teman mendukung usulan itu. Salah seorang panitia—yang juga peserta kegiatan—menanggapi dengan emotikon bercanda.

Hingga menjelang tengah malam belum ada tanggapan lain. Seorang peserta iseng-iseng membuat kuesioner. Lepas tengah malam, kuesioner asal-asalan itu dikirim ke grup percakapan. Disertakan kalimat pengantar: jawaban ditunggu selambat-lambatnya pukul 10.01 hari itu juga. Demi mengelabui calon responden, kuesioner itu diberi label "Asesmen Diagnostik".

Tepat pukul 10.01 survei ditutup. Tersisa satu orang peserta yang belum mengisi. Jumlah peserta, yang menerima tugas itu, 22 orang. Yang satu—peserta nakal—memosisikan diri sebagai orang luar: si pembuat kuesioner itu.

Rombongan dijadwalkan berangkat ke tempat kegiatan pukul 10.30. Si nakal belum selesai memindahkan diagram hasil survei ke salindia. Kalaupun misalkan ditinggal rombongan, ia tidak khawatir. Lokasi kegiatan tidak begitu jauh dari tempat kerja. Ia bisa menyusul dengan WinAir-nya. Ternyata ia masih dikasih ani, eh, dirangkai: dikasihani. Rombongan berkenan menunggu, entah dengan sabar atau dengan bersungut-sungut.

Si nakal mendapat titah memandu kegiatan sesi pertama, setelah seremoni pembukaan. Sebelum masuk ke materi pokok, ia menayangkan rangkaian diagram hasil survei dadakan itu.

"Inilah jawaban untuk usulan yang belum terjawab kemarin," selorohnya.

Selama tiga hari tiga malam itu, memang jam kerja mereka jauh lebih panjang daripada biasanya. Berlipat hampir dua kali. Namun, mereka terbebas dari rutinitas di luar jam kerja. Tidak ada tanggung jawab menyiapkan sarapan dan makan malam untuk keluarga. Tidak ada tugas mencuci dan menyetrika pakaian. Jarak dari kamar ke aula dapat ditempuh dalam 2—3 menit.

Lebih santai mana?

Biarlah mereka menjawab dengan kejujuran nuraninya masing-masing. Protes bernuansa manja semacam itu tidak selalu harus ditanggapi dengan adu argumen hingga berbusa-busa. Adakalanya data lebih ampuh daripada kata-kata.


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da