Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2023

Sayang

“Anak-anak lebih   manut   kepada gurunya. Karena orang tuanya   jarkoni, bisa ngajar ora bisa nglakoni, ” seloroh ibu seorang murid kelas 1. Sebelumnya, beliau menyatakan, “Perkembangan itu tidak hanya didapatkan anak-anak, tapi juga menular di rumah.” Ibu yang—saya tebak—seusia istri saya belasan tahun silam itu menyampaikan pidato sambutan mewakili orang tua teman-teman anaknya. Rabu (21/06/2023) pagi itu, sekolah anaknya menggelar Ekshibisi Kreativitas Siswa. Menu acaranya—seperti terpampang pada layar panggung—terdiri dari gelar karya, pentas, dan peluncuran buku. Kegiatan ini digelar untuk menandai akhir tahun ajaran. Dua hari berikutnya, anak-anak akan menerima buku laporan hasil belajar. Laporan itu sekaligus menentukan status anak-anak: naik ke kelas 2 atau mengulang belajar di kelas 1. Ruang kelas disulap menjadi panggung jadi-jadian. Meja-kursi dikeluarkan. Beberapa lembar karpet dihamparkan menutup permukaan lantai. Sehelai layar panggung terbentang di dinding sisi timur, m

Wisuda-wisudaan

an di laman-laman media online. Ujung-ujungnya, ditegaskan bahwa anak-anak yang baru lulus dari jenjang PAUD-Dasmen itu belum layak untuk diwisuda. Lebih jauh dikatakan, wisuda-wisudaan itu justru melecehkan makna wisuda beneran yang berlaku di perguruan tinggi. Kegaduhan itu terdengar oleh pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merespons dengan menerbitkan surat edaran yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal. Surat edaran yang ditujukan kepada para kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta kepala satuan pendidikan itu berisi tiga butir imbauan. Hanya butir ke-1 yang secara eksplisit menyebut kata wisuda. Begini bunyinya: "memastikan satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar, dan satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah di wilayah kerja Saudara tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan yang bersifat wajib dan pelaksanaan kegiatan wisuda tidak boleh membebani ora

Kumakaruh

Karanggeneng, 19/06/2023 " Panjenengan Praci-nya mana?" tanya seseorang, menyambut kedatangan saya. "Nokerto," jawab saya. "Saudaranya Pak Paser?" tanyanya lagi. " Prunan [anak adiknya]." Selepas magrib saya memacu WinAir-100 ke Karanggeneng, Gunungpati. Kalau lancar, sepuluh menit perjalanan dari markas saya. Saya harus menyambangi Kak Yato, kawan saya yang tengah mengikuti kegiatan Pramuka tingkat Provinsi . Kak Yato utusan dari Kwarcab (Kwartir Cabang, organisasi Pramuka di tingkat kabupaten/kota) Wonogiri. Ia dilahirkan dan dibesarkan di sana. Sama seperti saya, beda kecamatan. Kami dipertemukan di SPG—sekolah pendidikan guru setingkat SMA, menemui ajalnya pada 1991—di ibu kota kabupaten. Setelah lulus, kami tidak pernah berkomunikasi. Apalagi berjumpa. Mulai terjalin komunikasi jarak jauh setelah musim WhatsApp. Tepatnya, setelah saya punya akun WhatsApp. Gara-gara dipaksa sejumlah orang baik untuk memegang ponsel pintar. Setiap menunaikan

Menjual Kenestapaan

Tetiba saya mendapat kenalan baru. Semalam ada pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya. Pukul 20.06. Dari nomor yang saya tidak kenal. Hanya sepenggal kalimat salam. Tidak saya balas. Sengaja. Saya menunggu pesan berikutnya. Sampai pagi saya sudah dan masih melupakan salam yang belum saya jawab itu. Simpulan sementara, salam salah alamat. Atau ulah iseng belaka. Atau ... salah seorang mantan lagi kumat kangennya? Saya berangkat seperti biasanya. Pukul 06.15 sidik jari saya sudah teridentifikasi oleh mesin presensi. Pukul 06.36 ada notifikasi pesan masuk. Harus segera saya buka dan balas. Istri saya mengabarkan, dia sudah sampai di tempat kerja. Usai membalas pesan istri, saya tutup lagi layar ponsel. Selang lima menit kemudian ada pesan masuk lagi. Dari nomor yang belum saya simpan dengan nama. Ini sebagian isinya. Ups, dari nomor yang semalam berkirim salam. Yayasan pengelola panti asuhan rupanya. Membuka ladang amal saleh. Tersanjung saya demi mendapat undangan untuk turut "bercoco

Telanjur Beku

Tepat sebulan yang lalu saya menerima titah: merealisasikan obsesi tuan-tuan. Sudah berbulan-bulan impian itu mengemuka ke perbincangan, formal maupun nonformal. Pemicunya, hadiah dari lembaga mitra. Dalam kunjungannya ke lembaga kami, sekitar satu tahun yang lalu, rombongan lembaga mitra dari provinsi tetangga membawa hadiah istimewa: beberapa eksemplar buku. Kemasannya luks. Sampulnya hard cover. Isinya memakai kertas HVS supertebal. Perkiraan saya, itu HVS 120 gsm. Ukuran kuarto. Full color. Keseluruhan isinya 156 halaman. Dua halaman awal dan tiga halaman akhir kosong. Ketika ganti berkunjung ke sana, empat bulan yang lalu, kami kembali diberi buku yang sama. Beberapa eksemplar lagi. Kali ini saya merasa berhak untuk ikut membacanya. Saya pinjam satu. Hingga hari ini belum saya kembalikan. Saya masih menimbang-nimbang, mana yang lebih bermanfaat: saya kembalikan (ke sekretariat lembaga kami) atau saya tahan di laci saya buku itu. Saya tuntaskan membacanya dalam sekali duduk. Mome

Pak Tom

Pak Tom menyiapkan pupuk Maksud hati hendak periksa di klinik keluarga. Pagi-pagi saya sudah berkirim pesan tertulis ke nomor WhatsApp klinik. Saya menanyakan apakah klinik buka atau libur. Hari itu, Jumat (02/06/2023) adalah hari cuti bersama. Semestinya saya periksa Kamis, sehari sebelumnya, tetapi bertepatan dengan hari libur nasional. Dapat dipastikan pelayanan klinik pun libur. Obat yang diberikan oleh klinik pada pemeriksaan pertama, Senin (29/05) sudah habis pada Rabu malam. Sementara, keluhan yang sempat mereda selama tiga hari pengobatan itu mulai kambuh lagi sejak Kamis sore. Hingga menjelang pukul sepuluh, pesan saya tidak terbalas. Mungkin juga belum dibuka. Centangnya sudah dua, tetapi belum biru. Saya tidak bisa memastikan apakah centang biru diaktifkan atau tidak. Yang jelas, hingga saya menulis kalimat ini, centang dua di jendela percakapan itu tak kunjung biru juga. Kalah cacak menang cacak saya berangkat. Bertemu dokter atau tidak, setelah dari klinik sekali

Koalisi tanpa Kompensasi

"Kok enggak ada yang jualan pisang?" tanya saya setengah bergumam. Sebenarnya pertanyaan itu sekadar celetukan kepada diri sendiri. Namun, istri saya rupanya mendengar juga. Berarti, istri saya cukup perhatian kepada suaminya, kan? Atau terbalik: kata-kata saya selalu menarik perhatian istri saya? Halhah, apa pula pengaruhnya? "Belum pada datang, paling," sahutnya. Mengantar istri berbelanja sayur menjadi ritual wajib setiap hari libur. Memang hanya di hari libur, istri saya sempat berbelanja sayur pagi-pagi. Di hari kerja, pukul 06.00 menjadi batas akhir istri saya berangkat. Lebih dari jam itu, dia akan panik berkendara di jalanan yang padat arus lalu lintasnya. Karena belanja untuk kebutuhan seminggu, biasanya volume belanjaannya seperti untuk persiapan jamuan kenduri. Tak pelak, saya sering ditanya orang yang melihat ketika saya menaikkan tas-tas belanja ke motor, "Kok belanjanya banyak amat, Pak?" Pagi kemarin (04/06) ketika saya dan istri t