Langsung ke konten utama

Guru Mengejar Hakim

 

"Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar". Demikian tema peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Pokoknya, "merdeka" menjadi mantra paling sakti di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan selama 4 tahun terakhir.

Merdeka itu bebas. Bebas itu ya bebas saja. Di alam merdeka belajar ini publik sering disuguhi berita tentang berbagai manifestasi kebebasan di dunia pendidikan. Aneka perilaku ekspresi kebebasan itu sepertinya bisa dihimpun menjadi satu kata: perundungan.

Ada pendidik—dengan segala sebutan spesifiknya—merundung peserta didik—juga dengan segala julukan spesifiknya. Ada perundungan antarpeserta didik. Ada peserta didik merundung pendidik. Ada perundungan oleh orang tua peserta didik kepada pendidik. Barangkali ada juga perundungan antarpendidik, antarorang tua peserta didik, atau antara pendidik dan pemangku kuasa bidang pendidikan. 

Yang tidak boleh dilupakan, swaperundungan (self-bullying): bunuh diri. Beberapa bulan belakangan muncul tren baru: mahasiswi bunuh diri. Polisi, psikolog, psikiater, wartawan, dan masyarakat awam boleh menerka-nerka motifnya. Namun, hanya pelaku sekaligus korban bunuh diri itu sendirilah—tentu bersama malaikat dan Tuhan—yang tahu pasti. 

Tanpa pemeriksaan forensik, saya berani menyimpulkan motif di balik setiap tindakan bunuh diri: ingin merdeka. Ya, dapat dipastikan, seseorang bunuh diri karena sudah tidak kuat mengalami penjajahan di atas dunia. Cara paling praktis dan mujarab menghapuskan penjajahan di atas dunia ialah bunuh diri. Kalau ditanyakan kepada kaum pembela HAM, pasti juga dikonfirmasi bahwa bunuh diri adalah hak asasi manusia.

Apa pun bentuk perundungannya serta siapa pun pelaku dan korbannya, guru "patut" didakwa sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab. Ketika pendidik merundung peserta didik, berarti guru gagal mengendalikan dirinya sendiri. Ketika terjadi perundungan antarpeserta didik, berarti guru gagal mendidik peserta didiknya. 

Ketika pendidik dirundung peserta didik, berarti guru gagal membangun kewibawaan dirinya. Ketika pendidik dirundung orang tua peserta didik, berarti guru gagal memuaskan tuntutan orang tua peserta didiknya. Ketika perundungan terjadi antarpendidik, berarti guru gagal menjadi teladan bagi peserta didiknya. 

Ketika peserta didik merundung dirinya sendiri—bunuh diri—berarti guru gagal menyelamatkan nyawa peserta didiknya.

Pokoknya, rumusnya selalu ajek. Kalau rapor pendidikan—pada level individu ataupun institusi—merah, gurulah yang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika prestasi peserta didik melejit, peserta didik dan orang tuanyalah faktor penentunya. Pun bila institusi pendidikan meraih predikat prestisius, atasan gurulah penyumbang utama keberhasilannya.

Bila segala bentuk dan modus perundungan di dunia pendidikan itu dibawa ke pengadilan, terserah hakimlah untuk memutus perkaranya. Kalau putusan hakim dirasa kurang memuaskan rasa keadilan, itu akibat hakimnya kurang sejahtera. Kesejahteraan hakim adalah kunci penegakan hukum yang berkeadilan.

Setidaknya, begitulah menurut salah satu kandidat presiden, dalam orasinya yang berapi-api sehari sebelum Hari Guru Nasional diperingati tahun ini. Beliau menyampaikan pandangannya itu ketika menjawab pertanyaan panelis dalam dialog terbuka di salah satu universitas swasta di Jawa Timur.

Dengan lantang beliau menyebut beberapa negara—yang dianggapnya berhasil membangun sistem hukum yang tegak lurus—menggaji hakim agungnya lebih tinggi daripada gaji perdana menterinya.

Nah, bagaimana kalau gaji guru mengejar gaji hakim—yang rendah-rendah saja, tidak usah yang agung? Bukankah tanggung jawab guru, setidaknya, tidak lebih ringan daripada tanggung jawab hakim? 

Hakim hanya mengurus perkara hukum yang sudah telanjur terjadi, sedangkan guru mengurus agar peserta didiknya dan dirinya sendiri terhindar dari perkara hukum. Dalam satu waktu, beberapa hakim menyidangkan satu perkara dengan satu terdakwa. Sementara, guru dalam satu waktu "menyidangkan" sekian banyak "perkara" dengan sekian banyak "terdakwa".

Jadi, selamat bergerak bersama merayakan merdeka belajar!


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da