25 Nov 2023

Guru Mengejar Hakim

"Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar". Demikian tema peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Pokoknya, "merdeka" menjadi mantra paling sakti di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan selama 4 tahun terakhir.

Merdeka itu bebas. Bebas itu ya bebas saja. Di alam merdeka belajar ini publik sering disuguhi berita tentang berbagai manifestasi kebebasan di dunia pendidikan. Aneka perilaku ekspresi kebebasan itu sepertinya bisa dihimpun menjadi satu kata: perundungan.

Ada pendidik—dengan segala sebutan spesifiknya—merundung peserta didik—juga dengan segala julukan spesifiknya. Ada perundungan antarpeserta didik. Ada peserta didik merundung pendidik. Ada perundungan oleh orang tua peserta didik kepada pendidik. Barangkali ada juga perundungan antarpendidik, antarorang tua peserta didik, atau antara pendidik dan pemangku kuasa bidang pendidikan. 

Yang tidak boleh dilupakan, swaperundungan (self-bullying): bunuh diri. Beberapa bulan belakangan muncul tren baru: mahasiswi bunuh diri. Polisi, psikolog, psikiater, wartawan, dan masyarakat awam boleh menerka-nerka motifnya. Namun, hanya pelaku sekaligus korban bunuh diri itu sendirilah—tentu bersama malaikat dan Tuhan—yang tahu pasti. 

Tanpa pemeriksaan forensik, saya berani menyimpulkan motif di balik setiap tindakan bunuh diri: ingin merdeka. Ya, dapat dipastikan, seseorang bunuh diri karena sudah tidak kuat mengalami penjajahan di atas dunia. Cara paling praktis dan mujarab menghapuskan penjajahan di atas dunia ialah bunuh diri. Kalau ditanyakan kepada kaum pembela HAM, pasti juga dikonfirmasi bahwa bunuh diri adalah hak asasi manusia.

Apa pun bentuk perundungannya serta siapa pun pelaku dan korbannya, guru "patut" didakwa sebagai pihak pertama yang bertanggung jawab. Ketika pendidik merundung peserta didik, berarti guru gagal mengendalikan dirinya sendiri. Ketika terjadi perundungan antarpeserta didik, berarti guru gagal mendidik peserta didiknya. 

Ketika pendidik dirundung peserta didik, berarti guru gagal membangun kewibawaan dirinya. Ketika pendidik dirundung orang tua peserta didik, berarti guru gagal memuaskan tuntutan orang tua peserta didiknya. Ketika perundungan terjadi antarpendidik, berarti guru gagal menjadi teladan bagi peserta didiknya. 

Ketika peserta didik merundung dirinya sendiri—bunuh diri—berarti guru gagal menyelamatkan nyawa peserta didiknya.

Pokoknya, rumusnya selalu ajek. Kalau rapor pendidikan—pada level individu ataupun institusi—merah, gurulah yang bertanggung jawab. Sebaliknya, jika prestasi peserta didik melejit, peserta didik dan orang tuanyalah faktor penentunya. Pun bila institusi pendidikan meraih predikat prestisius, atasan gurulah penyumbang utama keberhasilannya.

Bila segala bentuk dan modus perundungan di dunia pendidikan itu dibawa ke pengadilan, terserah hakimlah untuk memutus perkaranya. Kalau putusan hakim dirasa kurang memuaskan rasa keadilan, itu akibat hakimnya kurang sejahtera. Kesejahteraan hakim adalah kunci penegakan hukum yang berkeadilan.

Setidaknya, begitulah menurut salah satu kandidat presiden, dalam orasinya yang berapi-api sehari sebelum Hari Guru Nasional diperingati tahun ini. Beliau menyampaikan pandangannya itu ketika menjawab pertanyaan panelis dalam dialog terbuka di salah satu universitas swasta di Jawa Timur.

Dengan lantang beliau menyebut beberapa negara—yang dianggapnya berhasil membangun sistem hukum yang tegak lurus—menggaji hakim agungnya lebih tinggi daripada gaji perdana menterinya.

Nah, bagaimana kalau gaji guru mengejar gaji hakim—yang rendah-rendah saja, tidak usah yang agung? Bukankah tanggung jawab guru, setidaknya, tidak lebih ringan daripada tanggung jawab hakim? 

Hakim hanya mengurus perkara hukum yang sudah telanjur terjadi, sedangkan guru mengurus agar peserta didiknya dan dirinya sendiri terhindar dari perkara hukum. Dalam satu waktu, beberapa hakim menyidangkan satu perkara dengan satu terdakwa. Sementara, guru dalam satu waktu "menyidangkan" sekian banyak "perkara" dengan sekian banyak "terdakwa".

Jadi, selamat bergerak bersama merayakan merdeka belajar!


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer