Tepat sebulan yang lalu saya menerima titah: merealisasikan obsesi tuan-tuan. Sudah berbulan-bulan impian itu mengemuka ke perbincangan, formal maupun nonformal. Pemicunya, hadiah dari lembaga mitra.
Dalam kunjungannya ke lembaga kami, sekitar satu tahun yang lalu, rombongan lembaga mitra dari provinsi tetangga membawa hadiah istimewa: beberapa eksemplar buku. Kemasannya luks. Sampulnya hard cover. Isinya memakai kertas HVS supertebal. Perkiraan saya, itu HVS 120 gsm. Ukuran kuarto. Full color. Keseluruhan isinya 156 halaman. Dua halaman awal dan tiga halaman akhir kosong.
Ketika ganti berkunjung ke sana, empat bulan yang lalu, kami kembali diberi buku yang sama. Beberapa eksemplar lagi. Kali ini saya merasa berhak untuk ikut membacanya. Saya pinjam satu. Hingga hari ini belum saya kembalikan. Saya masih menimbang-nimbang, mana yang lebih bermanfaat: saya kembalikan (ke sekretariat lembaga kami) atau saya tahan di laci saya buku itu.
Saya tuntaskan membacanya dalam sekali duduk. Momen-momen penting sejak kelahirannya hingga usianya menginjak 30 tahun terekam dengan jernih. Visinya terbaca jelas. Langkah-langkah strategis dan taktis untuk mewujudkan visi terurai cukup mendetail. Proses yang ditempuh dan hasil yang diraih tergambar secara gamblang.
Saya mulai berpikir (tumben!). Kalau hendak "menyaingi" buku itu, apa yang mesti dan bisa kami suguhkan? Kami—lembaga kami dan lembaga mitra itu—lahir pada tahun yang sama. Dahulu, tampaknya, juga ada semangat untuk tumbuh bersama. Pada masa-masa awal saya bergabung, lembaga kami cukup intens menjalin kerja sama dengan mitra yang punya banyak kemiripan itu.
Tumbuh bersama, ternyata, tidak selalu identik dengan mengalami pertumbuhan yang sama. Setelah sama-sama tumbuh selama 35 tahun, kini postur keduanya berbeda cukup mencolok. Gaya lari di antara keduanya juga berbeda. Yang satu maraton: stabil, terukur. Yang lain sprint: sesekali mengentak, exhausted, tertatih-tatih bangkit, berlari membabi buta lagi, klenger lagi; terus berulang begitu.
Dalam pertemuan formal sebulan lalu itu, saya didaulat untuk menggodok penerbitan buku serupa. Tentang lembaga kami. Pagi rapat, sorenya proposal saya kirim.
"Nanti begitu klir, segera kita eksekusi langkah-langkah berikutnya," pesan saya menyertai pengiriman berkas proposal.
Ekspektasi saya, keesokan harinya saya sudah menerima balikan: apa yang perlu diperbaiki pada rancangan buku itu. Kenyataannya, nihil. Tidak ada kabar apa pun tentang proyek itu. Dua hari berikutnya—tiga hari setelah proposal terkirim—saya menyodorkan satu dokumen lagi: analisis bahan dan sumber tulisan.
"Inggih, ... senang sekali, besok saat jagongan kita sampaikan," respons si penerima kiriman berkas.
Satu hari, ... dua hari, ... tiga hari, ... satu minggu, ... tidak ada berita sampai ke saya. Lewat telinga ataupun mata. Jangan-jangan wartanya dikirim lewat hidung? Kalau ya, saya menyerah.
Hari ke-11 dari pengiriman proposal, atau hari ke-8 setelah pengiriman analisis kebutuhan bahan dan sumber, ada rapat. Saya didaulat memaparkan rencana penerbitan buku. Ladalah! Selama hampir dua pekan, proposal itu mengendon entah di mana. Rupanya, semua perkara harus dirapatkan. Hanya rapat yang berhak memutuskan segala urusan. Duh!
Mengawali paparan, saya mengamuk, "Tidak semua urusan harus dibawa ke rapat. Yang bisa diputuskan oleh satu atau dua orang, putuskan saja."
Lamban. Itu kesan saya. Di dalam proposal saya cantumkan, sehari sebelum rapat itu dijadwalkan mulai mengumpulkan bahan tulisan. Menyikapi hal itu, pemberi titah menawarkan penjadwalan ulang: mundur. Saya menolak. Alih-alih mengundurkan jadwal kerja, saya justru minta proses eksekusinya dipercepat. Saya usulkan langkah kuda.
Bimbang. Tuan-tuan khawatir, langkah tidak biasa itu akan berujung jadi bunuh diri. Ups, saya lupa kalau sedang bersama komunitas kaum biasa yang tidak biasa keluar dari kebiasaan untuk menempuh jalan tidak biasa. Mesin pikiran tentang buku itu saya matikan. Tombol saya swicth ke proyek lain yang sudah siap berpacu. Lintasannya sudah jelas. Penerbitan buku juga.
Delapan hari berselang setelah rapat, keluar kabar: rencana pembuatan buka disetujui. Lalu diagendakan rapat tim. Tiga hari berikutnya. Satu jam. Mesin saya sudah dingin. Maka, kabar persetujuan proposal dan undangan rapat itu hanya saya baca. Saya tidak menanggapinya, kecuali dengan satu kata saja: insyaallah. Mesin saya telanjur dingin.
Hari rapat tiba. Ada sedikit pidato pengantar. Lalu disusul pidato pengarahan. Lalu, tiba-tiba, saya lagi-lagi didaulat untuk menyampaikan paparan. Waktu tersisa sekitar 30 menit.
"Saya kira enggak jadi," seloroh saya membuka paparan.
Mesin saya sudah dan masih dingin. Kali ini bertambah dingin. Kebetulan dua malam terakhir saya harus berjuang melawan demam. Saya berbicara ngalor ngidul.
Sejatinya saya berharap, pertemuan yang riilnya kurang dari 60 menit itu tidak perlu menampilkan saya. Agendanya cukup pidato motivasi. Orang-orang yang terlibat dalam kerja penyusunan buku perlu dibombong. Besar atau kecil, tugas ini menambah beban kerja mereka. Urgensi buku bagi masa depan organisasi perlu dikupas. Arti kontribusi tim perlu disyarahkan. Emosi mereka perlu diikat dengan (bakal) buku yang akan mereka kerjakan. Mereka mesti dibuat merasa dibutuhkan. Mereka mesti dibuat menyadari arti peran mereka. Mereka mesti dibuat merasa diakui. Mereka mesti dibuat bangga dengan tugas tambahan itu.
Beberapa hari setelah timnas sepak bola kita memboyong medali emas Sea Games 2023, saya mendapatkan potongan video rekaman pertemuan Ketua PSSI, Erick Thohir, bersama para pemain, pelatih, dan ofisial skuad timnas. Pertemuan itu dilangsungkan menjelang anak-anak asuhan Indra Sjafri bertolak ke Kamboja. Video itu menunjukkan kepiawaian Erick membangkitkan motivasi dan membangun mental timnas. Saya menduga, komunikasi Erick itu menjadi salah satu faktor utama yang menyuplai energi kemenangan timnas.
Erick Thohir bukan siapa-siapa dalam ensiklopedia hidup saya. Ketika terdengar pidatonya di mesin-mesin ATM pun, saya tidak pernah merasa perlu untuk menggubrisnya. Ketika ia tampil menghebohkan acara akbar sebuah ormas di sebuah stadion di Jawa Timur beberapa waktu yang lalu pun, saya tidak tertarik untuk menyimak beritanya. Namun, betapa pun asing sosok Erick bagi saya, kehadiran dan model komunikasinya di tengah-tengah timnas yang akan berlaga di kompetisi tingkat kawasan Asia Tenggara itu tidak tabu untuk saya petik sebagai guru.
Pertemuan kurang dari satu jam itu telah mengubah keadaan mesin saya: dari dingin menjadi beku. Tiga hari setelah pertemuan, sebuah tagihan dilayangkan ke saya: daftar pertanyaan untuk wawancara dengan narasumber.
"Gantian saya yang latihan berlambat-lambat, dong," jawab saya.
Telanjur beku, mesin saya. Pun hingga hari ini, hari ke-9 setelah pertemuan itu. Musababnya sikap awal saya sendiri: terlalu memaksakan harapan. Saya gagal meng-0-kan ekspektasi.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar