Langsung ke konten utama

Bisnis Kompetisi, Obral Sertifikat

 

Gambar 1. Profil salah satu penyelenggara kompetisi akademik
Gila sertifikat. Demam kompetisi. Itu barangkali yang menjadi pemicunya. Sertifikat menjadi tolok ukur harga diri. Sertifikat menjadi alat untuk menaikkan reputasi.

Dahulu, ketika sertifikasi guru dapat ditempuh melalui jalur portofolio, banyak kaum pendidik sibuk berburu sertifikat. Salah satu yang tergolong mudah didapat adalah sertifikat kepesertaan dalam forum ilmiah: lokakarya (workshop), pelatihan, hingga seminar. Dengan mencantumkan nama kegiatan, tempat, waktu, materi, dan narasumber, sertifikat diterima sebagai bukti sah keikutsertaan seseorang dalam sebuah kegiatan pengembangan diri.

Kebutuhan akan sertifikat itu memicu berahi bisnis. Ada (jangan-jangan banyak?) organisasi profesi yang mendadak bermutasi menjadi event organiser (EO): menggelar pelatihan di mana-mana, dari satu kota ke kota lain. Saya pernah terpancing untuk mencicipi pelatihan yang ditawarkan. Bendahara sekolah yang mendesak saya untuk ikut. Tidak tanggung-tanggung, EO-nya organisasi berskala nasional yang mewadahi para pengawas sekolah/madrasah. 

Saya datang ke tempat kegiatan sekira sepuluh menit sebelum acara dimulai menurut jadwal. Ternyata saya harus menunggu hampir dua jam, tanpa penjelasan apa alasan untuk menunda acara. Ketua organisasi tersebut hadir langsung dan membuka sendiri acara pelatihan. Narasumbernya seorang doktor, pengajar di sebuah universitas penyelenggara pendidikan calon guru.

Sekitar satu setengah jam sang doktor menyampaikan kuliah satu arah sambil menayangkan salindia yang tidak dibuka dalam mode slide show. Usai kuliah, acara selesai. Tidak sampai dua jam. Hanya kuliah tunggal. Tanpa umpan balik dari peserta, apalagi latihan. Sertifikatnya berbunyi "Pendidikan dan Pelatihan". Durasinya tertulis "8 jam". Gila!

Setiba kembali di sekolah, saya sobek-sobek sertifikat di depan bendahara, yang membayarkan ongkos pelatihan dengan uang sekolah. Begitu cara saya mempertanggungjawabkan kesadaran saya, bahwa saya tertipu. Saya masih lebih beruntung, masih bisa melihat wajah pucuk pimpinan EO dan narasumber pelatihan. Ketika beranjak meninggalkan gedung perhelatan, saya menyaksikan beberapa orang baru datang. Tentu mereka tidak kebagian materi pelatihan yang "super dahsyat" itu. Mereka "hanya" kebagian nasi kotak dan sertifikat. Di tangan mereka, sertifikat-sertifikat itu pasti tidak mengalami nasib tragis seperti yang di tangan saya.

***

Bagi pelajar, sertifikat prestasi dalam kompetisi bisa membuka jalan lempang untuk melenggang ke jenjang pendidikan berikutnya. Konon ada jalur prestasi dalam penerimaan peserta didik baru, mulai jenjang SMP hingga perguruan tinggi. Wajar jika para pelajar menjadi antusias mengejar sertifikat.

Wabah Covid-19 memang menjadi "berkah" bagi sebagian pihak. Dunia pendidikan menjadi salah satu pihak yang kecipratan berkah. Kalangan pendidik dan peserta didik, dari kota sampai pelosok desa, mendadak akrab dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 

Pemanfaatan TIK merambah ke moda kompetisi juga. Selama masa pandemi, kompetisi akademik yang melibatkan peserta didik dan pendidik justru makin masif. Bidang ilmu yang dilombakan bervariasi. Organisasi penyelenggaranya bermacam-macam. Semua berskala nasional. Semua berlangsung secara daring (online). Semua menyediakan medali emas, perak, dan perunggu. Mirip olimpiade-olimpiade sains resmi tingkat nasional dan internasional.

Hampir setiap hari lahir pemenang bidang ini dan itu. Sekolah-sekolah kewalahan membuat dan memajang poster ucapan selamat untuk murid atau gurunya yang meraih medali. Makin banyak medali yang dikoleksi, makin baik reputasi sekolah. Begitu barangkali persepsi yang dibangun.

Penyakit buruk sangka saya kumat. Saya lacak profil organisasi-organisasi penyelenggara kompetisi yang tercantum di poster tahniah. Gambar di atas adalah salah satu hasil operasi saya. Amat sedikit yang punya situs web atau blog seperti itu. Mayoritas hanya punya akun media sosial. Lewat berbagai platform media sosial—Instagram, yang paling banyak—itulah mereka memublikasikan jadwal dan hasil kompetisi yang diselenggarakan.

Saya penasaran: berapa cuan yang dapat mereka raup dari setiap kompetisi. Saya simulasikan: satu kompetisi diikuti sekian peserta, dikali sekian rupiah yang dibayarkan per peserta, dikali sekian kompetisi dalam sebulan, hasilnya dikurangi sekian rupiah untuk membayar langganan internet per bulan. Fantastis. Tak ayal, mereka tetap dan makin bergairah untuk melanjutkan bisnis dengan profit jumbo itu hingga setelah pandemi berakhir. 

Berikut saya tunjukkan sebagian kecil produk yang dijual oleh salah satu penyelenggara kompetisi semacam itu. Silakan kalkulasi sendiri peluang profitnya.

Gambar 2. Ragam komoditas salah satu penyelenggara kompetisi akademik

Produk-produk ini ditawarkan oleh penyelenggara yang profilnya "sebonafide" yang ditampilkan di blognya (Gambar 1) itu. Di Instagramnya, lembaga ini mencantumkan nomor registrasi badan usahanya: AHU-xxx. Saya kejar ke portal Ditjen AHU Online. Nihil! Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, tidak memiliki data nomor tersebut. Dilacak berdasarkan nama badan usahanya juga zonk

Bagaimana menurut Anda? Menarik, eh, menggiurkan, bukan?


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da