5 Jun 2023

Koalisi tanpa Kompensasi

"Kok enggak ada yang jualan pisang?" tanya saya setengah bergumam.

Sebenarnya pertanyaan itu sekadar celetukan kepada diri sendiri. Namun, istri saya rupanya mendengar juga. Berarti, istri saya cukup perhatian kepada suaminya, kan? Atau terbalik: kata-kata saya selalu menarik perhatian istri saya? Halhah, apa pula pengaruhnya?

"Belum pada datang, paling," sahutnya.

Mengantar istri berbelanja sayur menjadi ritual wajib setiap hari libur. Memang hanya di hari libur, istri saya sempat berbelanja sayur pagi-pagi. Di hari kerja, pukul 06.00 menjadi batas akhir istri saya berangkat. Lebih dari jam itu, dia akan panik berkendara di jalanan yang padat arus lalu lintasnya. Karena belanja untuk kebutuhan seminggu, biasanya volume belanjaannya seperti untuk persiapan jamuan kenduri. Tak pelak, saya sering ditanya orang yang melihat ketika saya menaikkan tas-tas belanja ke motor, "Kok belanjanya banyak amat, Pak?"

Pagi kemarin (04/06) ketika saya dan istri tiba di pangkalan tukang sayur, tidak terlihat satu pun pedagang pisang. Biasanya ada tiga orang yang melapak di sebelah pangkalan sayur. Ketiga-tiganya perempuan. Semuanya sudah cukup berumur. Yang satu, saya kenal. Suaminya cukup kesohor di kompleks perumahan
kami. Mbah Mui. Begitu kami mengenal nama dan biasa memanggilnya.

Dahulu Mbah Mui memelihara beberapa ekor kerbau. Kandangnya berada di tepi kompleks sebelah barat laut. Pagi-pagi, kerbau-kerbaunya digembalakan di padang rumput sekitar kompleks. Sebenarnya, lahan itu tanah milik pengembang yang belum didirikan bangunan di atasnya. Beberapa penduduk boleh memanfaatkan lahan kosong itu untuk bercocok tanam atau menggembalakan ternak.

Anak sulung saya, semasa kecil, suka "bercengkerama" dengan segala macam hewan ternak. Kawanan kerbau yang setiap pagi merumput di sekitar kompleks menjadi objek rekreasi favoritnya. Sesekali saya didaulat menjadi guide-nya, terutama pada hari-hari libur. Dari situlah saya sempat mengenal Mbah Mui—selain Mbah Kaman, teman seprofesinya.

Di samping memelihara kerbau, Mbah Mui juga rajin bercocok tanam. Singkong, pisang, dan aneka tanaman sayuran tumbuh subur di sekitar kandang kerbaunya. Hasil berkebun itulah yang dibawa Mbah Mui putri ke "pasar". Sekarang Mbah Mui sudah tidak punya kerbau. Semua kerbaunya habis untuk membiayai operasi pengangkatan bola mata istrinya. Tak bersisa.

Yang saya saksikan belakangan, Mbah Mui putri hanya menjajakan pisang beraneka jenis. Kadang kala juga singkong atau rebung turut melengkapi komoditas perniagaannya. Ujung salah satu gang kompleks itulah pasarnya. Mbah Mui putri melapak di sana bersama dua perempuan lain. Mereka menggelar dagangan bersama di satu lapak. Beberapa lembar karung plastik dihamparkan di atas paving block. Beberapa sisir pisang berbagai jenis—terkadang ditambah hasil kebun yang lain—ditata di atasnya. Tidak ada sekat pembatas antara dagangan milik satu orang dan lainnya. 

Ketika ada calon pembeli datang, mereka silakan untuk memilih sesuka selera. Tidak pernah terjadi perebutan calon pembeli di antara ketiganya. Dagangan siapa pun yang terbeli, kedua pedagang selain si empunya dagangan merasa berhak untuk membantu melayani: merapikan bonggol sisir pisang, mengikatkan tali pengait, mengemasnya dalam kantong plastik, atau nyusuki dengan uang receh miliknya.

***

Selang beberapa saat, akhirnya datanglah salah seorang pedagang pisang. Nenek yang paling gesit di antara ketiga pahlawan (kenapa tidak ada sebutan "pahlawati", ya?) dapur keluarga. Posturnya memang mendukung: kecil-langsing dan pendek, tapi cukup bertenaga. Dia tak pernah tampak diam. Selalu ada yang dikerjakannya. Seperti yang terlihat pagi kemarin.

Turun dari boncengan motor pengantarnya, dia langsung membongkar isi bakul: tujuh sisir pisang, terdiri dari tiga jenis. Dia gelar dua lembar karung plastik, lalu menata ala kadarnya ketujuh sisir pisang dagangannya. Tidak tampak kerapian letaknya, apalagi estetika formasinya. Tampaknya dia tidak peduli dengan tampilan kemasan. Yang dia jual hanya "isi" dagangannya: rasa dan manfaatnya.

Usai menggelar dagangan, dia langsung menuju meja sayuran di sebelahnya. Dia keluarkan sayur-mayur yang masih terbungkus plastik, untuk memudahkan pembeli memilih dan mengambil sayur sesuai dengan kebutuhannya. Plastik-plastik bekas pembungkus sayur-mayur dikumpulkan di sebelah Mbak Roh, si pemilik lapak sayur. Lalu dia berkeliling meja sayur lagi. Kali ini dia punguti limbah—sisa-sisa sayuran yang terbuang karena tidak layak dikonsumsi.

Saya tidak tahu, apakah di antara pedagang pisang dan pedagang sayur itu ada ikatan kerja. Yang saya lihat setiap kali mengantar istri berbelanja di sana, dia selalu sibuk merapikan area lapak sayur itu di sela-sela mengurus dagangannya sendiri yang jauh dari predikat rapi. Kesibukannya itu yang membedakan dia dari kedua temannya. Dua selainnya hanya duduk diam menunggu pembeli. Mungkin tubuh mereka yang tambun membuat mereka malas bergerak. Atau ada faktor kesehatan yang memaksa mereka tidak banyak beraktivitas? Entahlah.

Yang penting, mereka bertiga saling akur. Mereka bertiga juga akur dengan tukang sayur, yang volume dagangan dan omzetnya berlipat jauh di atas mereka. Bahkan, mereka berempat—tiga pedagang pisang dan satu pedagang sayur—pun akur dengan pemilik toko, yang salah satu sisi terasnya dijadikan lapak.

Inikah koalisi sejati? Koalisi tanpa saling tuntut kompensasi.

Langka! Tapi masih ada! 

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer