Langsung ke konten utama

Koalisi tanpa Kompensasi

"Kok enggak ada yang jualan pisang?" tanya saya setengah bergumam.

Sebenarnya pertanyaan itu sekadar celetukan kepada diri sendiri. Namun, istri saya rupanya mendengar juga. Berarti, istri saya cukup perhatian kepada suaminya, kan? Atau terbalik: kata-kata saya selalu menarik perhatian istri saya? Halhah, apa pula pengaruhnya?

"Belum pada datang, paling," sahutnya.

Mengantar istri berbelanja sayur menjadi ritual wajib setiap hari libur. Memang hanya di hari libur, istri saya sempat berbelanja sayur pagi-pagi. Di hari kerja, pukul 06.00 menjadi batas akhir istri saya berangkat. Lebih dari jam itu, dia akan panik berkendara di jalanan yang padat arus lalu lintasnya. Karena belanja untuk kebutuhan seminggu, biasanya volume belanjaannya seperti untuk persiapan jamuan kenduri. Tak pelak, saya sering ditanya orang yang melihat ketika saya menaikkan tas-tas belanja ke motor, "Kok belanjanya banyak amat, Pak?"

Pagi kemarin (04/06) ketika saya dan istri tiba di pangkalan tukang sayur, tidak terlihat satu pun pedagang pisang. Biasanya ada tiga orang yang melapak di sebelah pangkalan sayur. Ketiga-tiganya perempuan. Semuanya sudah cukup berumur. Yang satu, saya kenal. Suaminya cukup kesohor di kompleks perumahan
kami. Mbah Mui. Begitu kami mengenal nama dan biasa memanggilnya.

Dahulu Mbah Mui memelihara beberapa ekor kerbau. Kandangnya berada di tepi kompleks sebelah barat laut. Pagi-pagi, kerbau-kerbaunya digembalakan di padang rumput sekitar kompleks. Sebenarnya, lahan itu tanah milik pengembang yang belum didirikan bangunan di atasnya. Beberapa penduduk boleh memanfaatkan lahan kosong itu untuk bercocok tanam atau menggembalakan ternak.

Anak sulung saya, semasa kecil, suka "bercengkerama" dengan segala macam hewan ternak. Kawanan kerbau yang setiap pagi merumput di sekitar kompleks menjadi objek rekreasi favoritnya. Sesekali saya didaulat menjadi guide-nya, terutama pada hari-hari libur. Dari situlah saya sempat mengenal Mbah Mui—selain Mbah Kaman, teman seprofesinya.

Di samping memelihara kerbau, Mbah Mui juga rajin bercocok tanam. Singkong, pisang, dan aneka tanaman sayuran tumbuh subur di sekitar kandang kerbaunya. Hasil berkebun itulah yang dibawa Mbah Mui putri ke "pasar". Sekarang Mbah Mui sudah tidak punya kerbau. Semua kerbaunya habis untuk membiayai operasi pengangkatan bola mata istrinya. Tak bersisa.

Yang saya saksikan belakangan, Mbah Mui putri hanya menjajakan pisang beraneka jenis. Kadang kala juga singkong atau rebung turut melengkapi komoditas perniagaannya. Ujung salah satu gang kompleks itulah pasarnya. Mbah Mui putri melapak di sana bersama dua perempuan lain. Mereka menggelar dagangan bersama di satu lapak. Beberapa lembar karung plastik dihamparkan di atas paving block. Beberapa sisir pisang berbagai jenis—terkadang ditambah hasil kebun yang lain—ditata di atasnya. Tidak ada sekat pembatas antara dagangan milik satu orang dan lainnya. 

Ketika ada calon pembeli datang, mereka silakan untuk memilih sesuka selera. Tidak pernah terjadi perebutan calon pembeli di antara ketiganya. Dagangan siapa pun yang terbeli, kedua pedagang selain si empunya dagangan merasa berhak untuk membantu melayani: merapikan bonggol sisir pisang, mengikatkan tali pengait, mengemasnya dalam kantong plastik, atau nyusuki dengan uang receh miliknya.

***

Selang beberapa saat, akhirnya datanglah salah seorang pedagang pisang. Nenek yang paling gesit di antara ketiga pahlawan (kenapa tidak ada sebutan "pahlawati", ya?) dapur keluarga. Posturnya memang mendukung: kecil-langsing dan pendek, tapi cukup bertenaga. Dia tak pernah tampak diam. Selalu ada yang dikerjakannya. Seperti yang terlihat pagi kemarin.

Turun dari boncengan motor pengantarnya, dia langsung membongkar isi bakul: tujuh sisir pisang, terdiri dari tiga jenis. Dia gelar dua lembar karung plastik, lalu menata ala kadarnya ketujuh sisir pisang dagangannya. Tidak tampak kerapian letaknya, apalagi estetika formasinya. Tampaknya dia tidak peduli dengan tampilan kemasan. Yang dia jual hanya "isi" dagangannya: rasa dan manfaatnya.

Usai menggelar dagangan, dia langsung menuju meja sayuran di sebelahnya. Dia keluarkan sayur-mayur yang masih terbungkus plastik, untuk memudahkan pembeli memilih dan mengambil sayur sesuai dengan kebutuhannya. Plastik-plastik bekas pembungkus sayur-mayur dikumpulkan di sebelah Mbak Roh, si pemilik lapak sayur. Lalu dia berkeliling meja sayur lagi. Kali ini dia punguti limbah—sisa-sisa sayuran yang terbuang karena tidak layak dikonsumsi.

Saya tidak tahu, apakah di antara pedagang pisang dan pedagang sayur itu ada ikatan kerja. Yang saya lihat setiap kali mengantar istri berbelanja di sana, dia selalu sibuk merapikan area lapak sayur itu di sela-sela mengurus dagangannya sendiri yang jauh dari predikat rapi. Kesibukannya itu yang membedakan dia dari kedua temannya. Dua selainnya hanya duduk diam menunggu pembeli. Mungkin tubuh mereka yang tambun membuat mereka malas bergerak. Atau ada faktor kesehatan yang memaksa mereka tidak banyak beraktivitas? Entahlah.

Yang penting, mereka bertiga saling akur. Mereka bertiga juga akur dengan tukang sayur, yang volume dagangan dan omzetnya berlipat jauh di atas mereka. Bahkan, mereka berempat—tiga pedagang pisang dan satu pedagang sayur—pun akur dengan pemilik toko, yang salah satu sisi terasnya dijadikan lapak.

Inikah koalisi sejati? Koalisi tanpa saling tuntut kompensasi.

Langka! Tapi masih ada! 

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da