Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2023

Membaca Imajinasi Nono

Nono. Bocah kelahiran 2 April 2015 itu bernama lengkap Archangels Hendrik Meo Tnunay. Ayahnya, Raflim Meo Tnunai, bekerja sebagai tukang bangunan. Sementara, ibunya, Nuryati Ussanak Seran, dipekerjakan (saya sengaja memilih kata ini, bukan  bekerja ) sebagai guru kontrak di SD Inpres Buraen II, Kecamatan Amasari Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sekolah ini pula Nono saat ini duduk sebagai pelajar kelas II. Baru-baru ini Nono menghebohkan jagat pendidikan Nusantara. (Nama ini juga sengaja saya pilih demi mengembalikan ingatan bahwa   Nusantara   sudah ada sejak lama, lebih tua dan lebih luas daripada Indonesia—apalagi dibandingkan dengan calon penjiplak namanya, yang baru berkecambah dan hanya sepetak tanah di salah satu dari 38 provinsi di Indonesia.) Adalah sempoa, “kendaraan” yang mengantarkan Nono meroket dan meraih bintang. Selama setahun penuh, Januari—Desember 2022, Nono mengikuti kompetisi matematika berbasis sempoa: Abacus Brain Gym (ABG) International M

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #2 (5/5)

  Kepemimpinan, Pelibatan, dan Keberlanjutan Sebagaimana layaknya sebuah gerakan, pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan dengan multiperan. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan sosok panutan, maka pimpinan sekolah harus hadir sebagai kampiun karakter. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan petarung tangguh, maka pimpinan sekolah harus tampil sebagai pendekar karakter. Gerakan pendidikan membutuhkan arsitek strategi, maka pimpinan sekolah harus berperan sebagai senapati pasukan karakter. Sebagai gerakan pembudayaan, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan segenap pemangku kepentingan. Rancang bangun pendidikan karakter yang mati-matian ditata oleh guru kelas akan berantakan bila tidak dibarengi pranata serupa di lapangan olahraga, perpustakaan, kantin, dan tempat-tempat lainnya di sekolah. Sebab itu, pimpinan mesti melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam gerakan karakter. Keterlibatan unsur-unsur komunitas sekolah akan mencapai totalitas hanya jika masing-m

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #1 (4/5)

  Mimpi Bersama, Kontribusi Semua Segenap pemangku kepentingan sekolah diajak merajut mimpi yang sama:  sekolahku surgaku.  Masing-masing diberi kesempatan untuk mengidentifikasi karakter yang selayaknya dimiliki oleh setiap penghuni sekolah yang diimpikan sebagai replika surga. Lalu semua diberdayakan dan didayagunakan untuk membangun replika surga itu. Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, murid, orang tua murid, dan pengurus yayasan (untuk sekolah swasta) membuat daftar atribut surga yang mereka dambakan. Boleh jadi, daftar tersebut akan sarat dengan atribut ideal seperti bersih, sehat, rapi, indah, aman, tertib, lancar, asri, segar, dan mantra-mantra magis sejenis yang pernah populer dalam perlombaan memperebutkan anugerah Adipura. Tiap-tiap fitur surga menuntut kontribusi amal saleh dari para penghuninya. Sekolah bersih akan terwujud hanya jika seluruh warganya cinta kebersihan. Sekolah aman akan tercipta hanya jika setiap penghuninya berperan aktif menjaga keama

Menuju Sekolah Karakter: Modus Pendidikan Karakter (3/5)

Penularan Sebut saja namanya Tom. Ia dilahirkan, dibesarkan, dan hingga dewasa tinggal di salah satu negara Eropa. Bisnis butiknya berkembang pesat ketika usianya masih 20-an. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, pemasarannya menjangkau hampir seluruh benua Eropa. Terilhami oleh pameran batik di sebuah kota mode terbesar di Eropa, Tom berminat untuk melengkapi koleksi butiknya dengan busana batik. Pada suatu musim panas, ia memutuskan untuk berlibur ke salah satu pusat kerajinan batik tulis: Yogyakarta. Di Kota Gudeg ia mengunjungi sejumlah rumah produksi batik. Di salah satu sanggar batik, Tom bertemu dengan Tin, salah seorang pembatik. Perempuan muda itu tampak menonjol dibandingkan dengan teman-teman seprofesinya. Remaja sederhana yang sekilas tampak lugu itu fasih berbahasa Inggris. Tom merasa menemukan calon mitra bisnis baru. Kecakapan komunikasi—bahasa dan etika—Tin menumbuhkan harapan lebih. Tidak sekadar menjadikannya mitra bisnis, Tom bahkan ingin

Menuju Sekolah Karakter: Definisi Karakter (2/5)

Thomas Lickona, psikolog dan begawan pendidikan karakter dari SUNY Cortland, mendefinisikan karakter sebagai  “… you do the right thing even when no one seeing.”  Kita melakukan kebenaran meskipun tidak seorang pun melihat. Jauh sebelumnya, Rasulullah Muhammad ﷺ—ketika ditanya oleh Malaikat Jibril  `alaihi as-salām:  “Apakah ihsan?”—menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihatnya, sungguh Allah pasti melihatmu.” (H.R. Bukhari: 48) Dua definisi yang berbeda secara harfiah, tetapi senada secara maknawi. Perilaku baik baru bisa disebut sebagai karakter jika telah menjadi perilaku konstan. Terhadap stimulus yang sama—apa pun situasinya—responsnya konsisten. Orang yang berkarakter jujur, misalnya, tidak akan pernah mengambil atau menerima pemberian apa pun yang bukan haknya. Selain konsistensi, pengejawantahan karakter juga ditandai dengan spontanitas. Respons seketika, seperti refleks, itulah cerminan karakter. Seseorang yang

Menuju Sekolah Karakter: Mengapa Karakter? (1/5)

Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) menyampaikan,  “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.”  Maka, lebih lanjut ia mengingatkan,  “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.” Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, mungkin akan mengutil suatu barang dari sebuah gerbong kereta; tetapi ketika sudah menggenggam ijazah perguruan tinggi, ia bisa merampok semua harta di seluruh rangkaian kereta. Mendidik otak seseorang tanpa mendidik moralnya, ibarat menyemai benih ancaman bagi masyarakat. Dokter Ismed, psikiater dari Kota Semarang, dalam gelar wicara di sebuah sekolah memberikan ilustrasi apik.  “Seorang pemulung yang berbakat mencuri, paling-paling hanya menggasak panci atau ember yang tergeletak di teras rumah yang tampak sepi. Sementara, pejabat yang bermental bejat, tega menggarong triliunan dana sosial ja