Senin, 8 April 2024. Hari kedua terakhir puasa. Sidang isbat memang belum digelar. Namun, saya sudah memastikan diri untuk berlebaran pada Rabu, 10 April 2024. Sekira pukul 10 pagi saya berangkat dari rumah, Semarang. Tepatnya, kami berangkat bareng . Cuma, saya terpisah dari rombongan. Istri, anak ragil kami, dan Mamak diantar tetangga—satu keluarga—naik mobil. Saya naik WinAir seorang diri. Sejak baru sampai Ungaran saya sudah merasakan kantuk. Saya coba mengusirnya dengan bermonolog. Bahasa Koreanya, ngomyang. Atau, bahasa Inggrisnya, ndleming. Saya lafazkan selawat berulang-ulang. Masih mengantuk. Saya ganti melafazkan serangkaian surah yang saya hafal. Serangan kantuk tak kunjung pudar. Saya berteriak-teriak. Cukup kencang. Alhamdulillah, kantuk mereda. Sampai di kawasan Bawen, kantuk kambuh. Kian parah. Beberapa kali saya mengalami microsleep . Beberapa kali di antara beberapa kali microsleep itu saya menyelonong ke tengah, atau bahkan ke sisi kanan jalan. Tentu bersama WinAir-
Sumber gambar: artikula.id/pixabay.com Kamis (22/02/2024) malam saya mengikuti rapat takmir masjid di lingkungan tempat tinggal kami. Agendanya pembahasan rencana kegiatan Ramadan. Kudapannya kacang rebus, onde-onde, dan molen pisang. Minumannya air putih dalam kemasan botol plastik. Andaikan ketahuan siapa itu, barangkali panitia akan di- bully: tidak ramah lingkungan. Sahabat saya, salah seorang peserta rapat, usul: penceramah yang isi ceramahnya berpotensi memicu perpecahan perlu ditegur. Ramai mengemuka tanggapan dengan sudut pandang beragam. Tafsir saya, isi ceramah yang dimaksud adalah pandangan atau pendapat yang berbeda dari ajaran yang sudah diyakini dan diamalkan oleh sebagian jemaah. Maka, saya melontarkan tip: menyimak ceramah agama itu seperti menonton kampanye. Kalau telanjur hadir di kampanye regu A, ya, kita simak saja isi kampanyenya. Kalau visi, misi, dan programnya tidak sesuai dengan isi kepala kita, ya, tinggal kita putuskan di bilik suara: tidak mencoblos