“Bata.”
“Semen.”
“Pasir.”
“Besi.”
“Apa lagi?”
“Batu.”
“Apa lagi?”
“Kapur.”
“Apa lagi?”
Semua diam. Mencoba berpikir. Mengingat-ingat. Atau membayangkan. Dan ... berakhir buntu. Zonk.
catatan ringan hasil pengindraan jagat pendidikan
“Bata.”
“Semen.”
“Pasir.”
“Besi.”
“Apa lagi?”
“Batu.”
“Apa lagi?”
“Kapur.”
“Apa lagi?”
Semua diam. Mencoba berpikir. Mengingat-ingat. Atau membayangkan. Dan ... berakhir buntu. Zonk.
“Bawa saja ke barak militer.”
“Fatwa” itu saya sampaikan sebagai jawaban spontan atas curhatan seorang kepala sekolah. Ia risau. Institusinya mendambakan sekolah-sekolah yang diselenggarakannya tampil sebagai sekolah unggul. Untuk mewujudkannya, sumber daya manusia pelaksana sekolah tentu memegang peranan kunci. Tidak bisa ditawar, keunggulan guru dan tenaga kependidikan menjadi kontributor utama dan pertama.
“Sampean itu sudah wali tenan, Pak.”
Sagino melontarkan celetukan itu ketika bertemu saya di teras masjid. Beberapa detik sesudah azan Magrib tuntas mengumandang. Kami sama-sama baru tiba. Saya dari arah utara, naik WinAir. Sagino—kerabat saya dari jalur Bapak—berjalan kaki dari arah selatan.
Sekitar 3 jam sebelumnya, ratusan pasang mata terbelalak menyambut kedatangan saya. Saya tidak menghiraukan pikiran yang berkecamuk di kepala mereka. Setelah memarkir WinAir, saya melangkah cepat menuju rumah. Saya salami orang-orang yang berdiri atau duduk di sepanjang rute yang saya lewati. Yang tidak terjangkau oleh tangan saya hanya kebagian isyarat lambaian tangan, anggukan kepala, atau tatapan mata.