16 Jun 2025

Alpukat atau Semen?

Patung sepasang dewa-dewi di tengah-tengah kolam ikan
(Sumber foto: Anggara Wikan Prasetya/travel.kompas.com)
 

“Pyenengan daleme Sumur, Bu (rumah Anda di Dusun Sumur, Bu)?” tanya saya kepada wanita yang sedang memetik daun kemangi di sebelah gazebo tempat kami rehat.

Yang saya tanya mengiakan. Kemudian saya menanyakan tahun kelahirannya. Enam tahun lebih muda daripada saya. Saya kecewa. Dengan selisih 6 tahun, dijamin kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Lebih mengecewakan lagi, ternyata dia bukan pribumi. Daerah asalnya Sragen. Suaminya, yang asli Sumur.

Sayang, saya tidak menanyakan nama suaminya. Bisa jadi, kami saling mengenal. Atau, setidaknya saya mengenalnya. Atau sebaliknya, ia yang masih ingat saya. Anak-anak dusun Sumur pasti se-SD dengan saya: SD Negeri Suci I (sekarang SD Negeri 1 Suci). Kalau tahun masuknya selisih (-3) hingga (+3) tahun, biasanya saya masih ingat—setidaknya namanya.

Meski bernama Sumur, dusun ini tergolong kering. Mungkin malah tidak ada satu pun sumur air di sana. Tanahnya tandus. Pertaniannya didominasi budi daya palawija. Kalaupun ada yang menanam padi, hanya gaga rancah. Sebagian besar lahannya berupa lereng pergunungan kapur. Pada musim hujan, petak-petak tanah sempit di sela-sela gugusan batu kapur itu ditumbuhi kacang tanah, kedelai, jagung, sorgum atau cantel, atau singkong.

Di puncak musim kemarau, yang tersisa tinggal pohon-pohon keras yang berdiri kaku tanpa daun. Jati, mahoni, dan akasia kompak meranggas demi menampakkan gugusan batu berpori, material pembentuk bentangan “candi alami”. Panorama khas di sepanjang Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu.

Kondisi alam yang gersang itu membuat saya sangsi ketika tersiar kabar adanya perkebunan alpukat di Sumur, sekitar 3 tahun lalu. Lebih mengejutkan lagi, kebun di perbukitan kapur itu mendadak viral sebagai destinasi wisata. Saya jadi penasaran, yang dikembangkan itu kebun buah atau taman rekreasi? Atau dua-duanya, agrowisata? Penasaran berikutnya, siapa bosnya: “sultan” lokal atau konglomerat asing?

Setelah tertunda sekian lama, akhirnya kesampaian juga keinginan saya untuk menengok “keajaiban” di tetangga desa kelahiran saya itu. Dalam perjalanan kembali dari Pantai Srau, Ahad, 8 Juni 2025, saya dan rombongan mampir sejenak di Gunung Dewa Dewi (GD2). Bagi saya, kunjungan ini kelewat telat. Letaknya hanya 2—3 km di sebelah timur dusun kelahiran saya. Tiap-tiap 1—2 bulan saya pulang kampung. Eh, mudik. Belum pulang kampung—menurut definisi siapa itu. Hanya 1 atau 2 malam. Sekadar mengempeng Simbok.

Setahun silam hampir kesampaian. Mumpung ada nunutan mobil. Tetangga di Semarang—satu keluarga—mengantar keluarga saya (minus saya) mudik. Mereka menginap semalam di rumah suwung kami. Paginya kami piknik, tanpa bekal makanan karena 1 hari lagi baru Lebaran. Anak gadis tetangga saya itu mengajak ke pantai. Saya tawarkan sekalian mampir di kebun alpukat. Mantunya Simbok tidak tertarik. Ya, sudah. Kali lain saja, pas mudik tanpa anaknya mertua.

Ternyata dendam saya baru terlampiaskan setahun lebih berikutnya. Semula saya menjadwalkan kunjungan ke GD2 sebagai destinasi pertama, Sabtu pagi. Kepada teman-teman, saya menjanjikan suasana matahari terbit di puncak bukit alpukat. Gagal! Selepas subuh, Mbakyu pembarap telanjur menyeduh kopi untuk kami. Kami tidak tega untuk menyia-nyiakan. Takut kualat.

Sesampai di parkiran, saya berpesan kepada teman-teman, “Di sini, tujuan utamanya bukan menikmati pemandangannya. Melainkan, mempelajari manajemen perubahannya.”

Bagi saya, kehadiran kebun alpukat di perbukitan kapur Sumur-Nujo itu cukup memantik perhatian. Ya, perbukitan yang menjadi lahan perkebunan itu irisan dua dusun: Sumur (Desa Suci) dan Nujo (Desa Gambirmanis). Saya—mungkin juga kebanyakan masyarakat sekitar lokasi GD2—tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pohon alpukat mau hidup di sana. Faktanya, bisa. Tanaman buah itu sekarang rata-rata sudah mencapai ketinggian lebih dari 2 meter. Sebagian sudah mulai berbuah.

Tanaman yang setahu saya menyukai hawa sejuk itu dibudidayakan langsung dalam skala besar. Konon tahap pertama disiapkan lahan 47 hektare. Kalau gagal, pasti investornya menanggung kerugian cukup besar. Harga tanahnya barangkali tidak seberapa. Masyarakat di sana belum melek bisnis tanah. Namun, modifikasi lahannya tentu menguras modal. Semua galengan tampak baru. Berarti, galengan lama—alami maupun buatan—dibongkar. Tanah di petak-petak lahan penanaman alpukat diratakan. Setahu dan seingat saya, lazimnya petani tradisional setempat membiarkan lahan bercocok tanam di lereng perbukitan seperti itu tetap miring.

Pemodal itu tentu tidak sedang berspekulasi. Konversi lahan itu pasti sudah melalui riset. Teknologi pertanian dilibatkan. Rekayasa cuaca, bahkan, mungkin juga dilakukan. Sejauh ini, pertumbuhan pohon-pohon alpukat itu cukup menggembirakan. Dari kejauhan tampak hijau merata. Dari dekat tampak subur segar. Apalagi, beberapa sudah berbuah. Harapan panen layak untuk dikantongi.

Bahkan, sebelum panen buah alpukat, panen wisatawan sudah dapat dinikmati. Sejak Lebaran yang lalu pengelola mulai menerapkan tarif tiket masuk. Sebelumnya, pengunjung hanya dikenai ongkos parkir. Kabarnya, parkir kendaraan itu dikelola oleh karang taruna setempat.

Pelibatan penduduk lokal itu menjadi nilai plus. Ketika bersambang ke sana tempo hari, saya tidak menemukan wajah asing. Semua petugas saya kenali sebagai warga setempat. Para penjaga loket tiket masuk dan portal jalan keluar—walaupun berkostum ala orang kota—saya pastikan muda-mudi setempat. Logat Praci pegunungan masih kental pada bahasa mereka. Karakter “ndesa” juga masih kentara pada orang-orang yang terlibat dalam operasionalisasi GD2. Ongkos naik jip keliling area perkebunan hanya dibanderol 150 ribu per trip. “Pak Ogah” yang memandu arah dan arus kendaraan pengunjung di dua pertigaan—masuk dan keluar area—tidak menodongkan ember ataupun besek kepada pengendara.

Pemberdayaan masyarakat lokal itu tercantum eksplisit di papan manifesto bisnis GD2. Ya, dalam perjalanan kembali ke tempat parkir, saya mendapati plang proyek. Papan yang sepasang tiangnya tertancap ke tanah bercampur batu putih kekuningan itu memuat sejumlah butir manifesto. Salah satunya, SDM-nya warga lokal. Wanita pemetik daun kemangi itu juga bekerja di resto yang berdiri di puncak salah satu bukit lahan perkebunan alpukat. Saya menduga, tenaga kerja resto itu—meski menunya kekinian—didominasi warga lokal. Barangkali hanya jajaran manajemen dan dietisien yang diisi orang luar.

Di manifesto juga tercantum bahwa modal usaha murni berasal dari pihak swasta. Sayang, saya belum berhasil melacak nama dan bentuk korporasinya. Di bagian akhir manifesto hanya tertulis: “Ketua // ttd // Tito Juniadi”. Ada ketua, berarti pemiliknya lebih dari satu orang. Namun, mengapa ketua? Bukan direktur atau manajer? Mungkinkah badan usahanya berbentuk koperasi? Atau, malah hanya semacam paguyuban? Profil Tito Juniadi pun masih sulit diulik. Segelintir media yang sempat menyebut namanya hanya memberikan atribusi “miliarder kelahiran Pacitan yang berdomisili di Sukoharjo”.

Saya juga belum mendapat penjelasan tentang dua atribut yang terpampang dengan huruf balok besar-besar: SATRIA ALAM dan PETANI HATI. Masing-masing terbentang di lokasi terpisah. Apakah keduanya serangkai dan merupakan nama badan usaha atau sekadar sepasang slogan yang mencerminkan ideologi usahanya?

Ah, di tengah kesibukan mereka-reka tafsir atas dua frasa itu, mata saya tergoda oleh label pada kertas HVS berlaminasi yang menempel pada tunggak pohon. Saya mendekatinya. Tertulis begini: “DIJUAL!!! // PULE PURBA // Rp. 4M (4.000 jt)”. Saya duduk di depannya—agak ke samping—lalu berswafoto dengan latar belakang tunggak termahal sedunia itu.

Tunggak pohon termahal sedunia

Saya terbengong: itu iklan serius atau bercanda? Hanya orang gila yang rela merogoh deposito 4 miliar demi memboyong seonggok tunggak pulai—yang oleh iklan itu diklaim sebagai pohon purba. Jangankan membeli, diberi gratis saja saya tidak mau. Oleh masyarakat di dusun saya, pohon bernama Latin Alstonia scholaris itu dipercaya sebagai hunian favorit bagi berbagai jenis makhluk halus. Hiii, ... merinding!

Sejenak kemudian saya mencoba menerka-nerka maksudnya. Dugaan saya, iklan itu sindiran belaka. Begini takwil saya atas iklan itu: mahar semahal-mahalnya mesti dikenakan kepada sesiapa yang rakus dan semena-mena terhadap alam! Alias, iklan bombastis itu menegaskan brand GD2 sebagai kesatria penjaga kelestarian alam.

Angan saya lantas melayang ke wacana pro-kontra pendirian pabrik semen di sekitar kampung halaman saya. Andai saja para pemangku kepentingan dan kebijakan—konon mengatasnamakan demi kesejahteraan masyarakat Wonogiri selatan—sudi membaca fenomena GD2, tentu tidak perlu mengacak-acak harmoni sosial-ekologis KBAK Gunung Sewu di Pracimantoro.

Pegunungan kapur di Sumur-Nujo terbukti bisa disulap menjadi kebun alpukat sekaligus taman tamasya yang memikat—tanpa merusak lingkungan alam dan sosial. Saya yakin, lanskap serupa di desa-desa sekitarnya yang menjadi target penambangan bahan baku semen dan pendirian pabrik pengolahannya itu pun bisa dikonversi menjadi area agrowisata yang produktif dan ramah lingkungan.

Di Praci sendiri, plus kecamatan-kecamatan tetangganya, tidak sulit untuk menemukan saudagar sekaliber Pak Tito Juniadi. Pemerintah tinggal mengambil peran sebagai fasilitator untuk mempertemukan kepentingan investor, masyarakat, dan alam. Yang masih menjadi taruhan, syahwat apa yang diperjuangkan: mendayagunakan dan memberdayakan atau memperdaya?!

 

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer