30 Jan 2023

Membaca Imajinasi Nono

Nono. Bocah kelahiran 2 April 2015 itu bernama lengkap Archangels Hendrik Meo Tnunay. Ayahnya, Raflim Meo Tnunai, bekerja sebagai tukang bangunan. Sementara, ibunya, Nuryati Ussanak Seran, dipekerjakan (saya sengaja memilih kata ini, bukan bekerja) sebagai guru kontrak di SD Inpres Buraen II, Kecamatan Amasari Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sekolah ini pula Nono saat ini duduk sebagai pelajar kelas II.

Baru-baru ini Nono menghebohkan jagat pendidikan Nusantara. (Nama ini juga sengaja saya pilih demi mengembalikan ingatan bahwa Nusantara sudah ada sejak lama, lebih tua dan lebih luas daripada Indonesia—apalagi dibandingkan dengan calon penjiplak namanya, yang baru berkecambah dan hanya sepetak tanah di salah satu dari 38 provinsi di Indonesia.)

Adalah sempoa, “kendaraan” yang mengantarkan Nono meroket dan meraih bintang. Selama setahun penuh, Januari—Desember 2022, Nono mengikuti kompetisi matematika berbasis sempoa: Abacus Brain Gym (ABG) International Mathematics Competition. Akumulasi nilai yang dikumpulkan mengantarkan Nono menjadi juara I. Konon ia berhasil menyingkirkan 7.000-an peserta lain dari berbagai negara. Sementara, kompetitornya dari Qatar dan Amerika Serikat (AS) berturutan menguntit di peringkat II dan III.

Berkat prestasi yang dicapainya itu Nono menerima sertifikat, piala, dan hadiah uang tunai 200 dolar AS. Penghargaan diserahkan langsung oleh pendiri ABG, yang berpusat di AS, Juli Agustar Djonli di Kantor Gubernur NTT pada Selasa, 10/1/2023. Sejumlah pejabat pemda Kabupaten Kupang dan Provinsi NTT, bahkan Gubernur, turut hadir mengapresiasi torehan prestasi salah seorang putra daerah mereka.

Nono bukan pelajar Indonesia pertama yang berhasil mengukir prestasi membanggakan di tingkat internasional. Sebelumnya sudah tidak berbilang anak-anak Indonesia yang namanya berkibar di berbagai ajang lomba: sains, teknologi, olahraga, atau seni budaya. Hanya saja, saya tidak tahu di mana mereka kini berlabuh.

Ada sejumlah berita seputar Nono yang lebih menarik perhatian saya ketimbang predikat juara yang diraihnya. Pertama, ia mengidolakan Elon Musk, tetapi bercita-cita untuk menjadi tentara. Dilansir dari Kompas.com, Nono menyatakan, “Saya ingin seperti Elon Musk, tapi saya bercita-cita ingin menjadi seorang tentara.” Terinspirasi oleh sang tokoh idola, yang dikenalnya lewat tayangan YouTube, Nono ingin menciptakan mobil, pesawat terbang, kereta, dan kapal untuk membantu masyarakat.

Terobsesi menjadi pereka cipta aneka alat transportasi—darat, laut, udara—tetapi ingin menjadi tentara. Sekilas, pernyataannya itu rancu. Namun, justru di situlah saya membaca kecerdasan Nono dalam memahami historiografi politik negerinya. Seakan-akan ia tahu mengapa putra bangsa segenius B.J. Habibie gagal mengaktualisasikan kepiawaiannya dalam rancang bangun pesawat terbang.

Barangkali ada yang sempat berharap, dengan menjadi presiden, Habibie bisa mengeksekusi mimpinya untuk menjadikan negerinya produsen pesawat yang disegani dunia internasional. Namun, apa yang terjadi? Mr. Crack berkuasa di kursi RI-1 hanya dalam hitungan bulan. Lebih ironis, setelah kehilangan segenap atribut kenegaraannya, Habibie harus menelan pil pahit: IPTN—yang susah payah dibangunnya—serta merta berubah menjadi Industri Panci Tanpa Nama.

Boleh jadi, IPTN akan menemui nasib berbeda seandainya Habibie seorang jenderal. Atau, tetap orang sipil tetapi menguasai tentara. Atau, setidaknya berkarib dengan tentara yang kentara daya cengkeramnya.

Kedua, Nono menolak hadiah laptop yang ditawarkan Mas Menteri Nadiem. Ia lebih memilih beasiswa dan bola. Ia paham—dalam penerawangan saya—bahwa laptop adalah kebutuhannya pada masa mendatang. Saat ini, laptop bukan kebutuhan mendesak baginya. Bola, dan tentu juga sempoa, lebih kompatibel dengan taraf perkembangan sistem sarafnya untuk mengembangkan kebugaran raga dan otaknya. Seandainya Mas Menteri memberinya hadiah laptop tercanggih saat ini, sekian tahun ke depan—ketika Nono benar-benar membutuhkan laptop—komputer jinjing penuh kenangan itu akan sudah out of date.

Ketiga, ia menolak tawaran hadiah mobil dari Astra. Dalam kunjungannya di kantor pusat Astra, Nono diminta memilih mobil sebagai hadiah. Namun, ia menolaknya. “Tapi Nono tolak dan Nono bilang mau menciptakan kereta api cepat dan pesawat tercepat saja,” ungkap ibunya, dikutip dari Kompas.com.

Nono di mobil terbaru keluaran Astra (sumber: Kompas.com)

Kalimat penolakan Nono itu terdengar jelas di telinga saya begini:

“Wahai, Astra! 
Mobil terbaru bikinanmu ini hanya akan membawaku mondar-mandir Buraen—Kupang atau berputar-putar di NTT. 
Berilah aku ‘mobil’ yang bisa mengantarku ke kampus bonafide, di belahan bumi mana pun, yang dapat memupuk talenta kreativitasku.
Biarkan aku tumbuh menjadi inventor alat transportasi tercanggih dan futuristik.
Lalu panggillah aku kembali ke pangkuanmu.
Bersiaplah memainkan peran baru: pabrikan otomotif hasil reka cipta anak bangsamu sendiri.
Mari, kita buat sejuta kereta cepat penghubung kota-kota sepulau di seluruh daratan Nusantara (yang asli warisan Majapahit).
Mari, kita buat kapal-kapal raksasa yang cepat dan perkasa untuk mengangkut orang dan barang antarpulau di seluruh perairan Nusantara (yang asli warisan Sriwijaya).
Mari, kita buat pesawat-pesawat ultrasonik yang sanggup menjelajah segala penjuru udara di atas planet Bumi.
Tapi jangan lupa! Untuk mewujudkan mimpi ini, kau mesti bisiki Tuan Panglima agar berkenan menyematkan bintang jenderal tituler di pundakku.”

“Kukuruyuuuk …!”

Semoga kokok ayam Nusantara (bukan Bangkok) pagi ini tidak hanya membangunkan saya dari mimpi malam yang panjang. Sudah saatnya bangsa sebesar negeri Nono bangun dari tidur siangnya untuk membangun Ibu Pertiwi dengan memberdayakan talenta-talenta luar biasa yang disemai Tuhan di tanah air tercinta.

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer