Langsung ke konten utama

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #1 (4/5)

 Mimpi Bersama, Kontribusi Semua

Segenap pemangku kepentingan sekolah diajak merajut mimpi yang sama: sekolahku surgaku. Masing-masing diberi kesempatan untuk mengidentifikasi karakter yang selayaknya dimiliki oleh setiap penghuni sekolah yang diimpikan sebagai replika surga. Lalu semua diberdayakan dan didayagunakan untuk membangun replika surga itu.

Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, murid, orang tua murid, dan pengurus yayasan (untuk sekolah swasta) membuat daftar atribut surga yang mereka dambakan. Boleh jadi, daftar tersebut akan sarat dengan atribut ideal seperti bersih, sehat, rapi, indah, aman, tertib, lancar, asri, segar, dan mantra-mantra magis sejenis yang pernah populer dalam perlombaan memperebutkan anugerah Adipura.

Tiap-tiap fitur surga menuntut kontribusi amal saleh dari para penghuninya. Sekolah bersih akan terwujud hanya jika seluruh warganya cinta kebersihan. Sekolah aman akan tercipta hanya jika setiap penghuninya berperan aktif menjaga keamanan. Sekolah damai akan tercapai hanya jika segenap anggota komunitasnya gemar menebar kasih sayang.

Nilai-nilai kesalehan pembentuk fitur surgawi itu didefinisikan dalam perilaku aktual. Setiap nilai luhur didefinisikan dalam perilaku-perilaku spesifik sebagai respons atas berbagai situasi yang berbeda-beda. Definisi spesifik disusun mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks sesuai dengan tingkat usia, perkembangan jasmani dan rohani, serta pengalaman murid. Pengenalan definisi karakter tidak perlu nggege mangsa, tetapi juga tidak boleh kasep.

Holistik-Integratif

Karakter—dalam pengertian positif (mulia)—terbentuk sebagai hasil internalisasi nilai-nilai kesalehan yang mendarah daging hingga menjadi jati diri seseorang. Proses internalisasi nilai melibatkan tiga ranah: pemahaman, penghayatan, dan pengamalan. Pemerolehan ketiganya berlangsung secara holistik-integratif, tidak mengharuskan sekuens secara baku dan kaku. Walau demikian, modus pemerolehan salah satu ranah berdampak terhadap kualitas ranah yang lain.

Pemahaman suatu nilai akan melahirkan penghayatan dan pengamalan yang berkualitas jika diperoleh melalui penalaran, berpikir kritis. Penalaran kritis itu mesti mengantarkan seseorang menerima kebenaran suatu nilai secara bulat dan tulus atas dasar kesadaran nilai. Kebenaran yang diterima sebagai hasil penalaran akan mengakar kokoh, berbeda dari hasil indoktrinasi dogmatis yang cenderung rapuh.

Penghayatan nilai akan mentransformasikan pemahaman menjadi keyakinan dan memantik hasrat untuk mengamalkannya secara konsisten jika dipandu oleh keselarasan antara pemahaman (kebenaran logis) dan pengalaman (kebenaran empiris). Sebaliknya, penghayatan nilai akan memorak-porandakan pemahaman dan melumpuhkan niat untuk mengamalkan jika dikecoh oleh bias kebenaran—antara kebenaran logis dan kebenaran empiris tidak sejajar.

Pengamalan nilai akan makin mengokohkan keyakinan dan mempertajam kepekaan penghayatannya jika dilandasi motivasi intrinsik atas dasar cinta kebenaran dan kebajikan. Pengamalan autentik atas nilai-nilai kesalehan hanya bisa dilahirkan dari motivasi intrinsik: semata-mata ingin menjadi pribadi saleh. Pengamalan nilai mengeruhkan pemahaman dan membimbangkan penghayatan selama masih berorientasi pada motivasi eksternal, yakni kepatuhan demi menghindari hukuman dan mengejar penghargaan.

Karakter juga mesti berkembang secara holistik-integratif dalam segala dimensi. Sementara pakar pendidikan karakter mengelompokkan nilai-nilai kebajikan ke dalam empat dimensi kesalehan: intelektual, moral, kewarganegaraan, dan kinerja.

Kesalehan intelektual berkenaan dengan kearifan dalam mencari pengetahuan, kebenaran, dan pemahaman. Sekadar menyebut beberapa contoh, kesalehan intelektual tercermin pada karakter otonom, berpikir kritis, melit, bernalar logis, menilai secara jeli dan adil, reflektif, dan cerdik (banyak akal).

Kesalehan moral memandu jiwa untuk setia pada keluhuran budi ketika berhadapan dengan situasi yang menuntut respons etis. Kesalehan moral tercermin—antara lain—pada karakter jujur, berintegritas, welas asih, berani, adil, rendah hati, bersyukur, dan hormat.

Kesalehan kewarganegaraan memandu peran sebagai warga negara (dan warga dunia) yang bertanggung jawab dalam merawat harmoni dengan pranata sosial yang berlaku dalam konteks pergaulannya. Karakter penjelmaan kesalehan kewarganegaraan tercermin pada sikap beradab, rela berkorban, berjiwa pengabdian, kesadaran hidup berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan bertetangga.

Kesalehan kinerja merupakan nilai-nilai instrumental yang dengannya seseorang dapat mengejawantahkan tiga dimensi kesalehan yang disebut terdahulu: intelektual, moral, dan kewarganegaraan. Kesalehan kinerja mewujud—di antaranya—dalam kepercayaan diri, motivasi, ketekunan, keuletan, kepemimpinan, kerja sama, dan pendirian yang kuat.

Seseorang dikatakan berkarakter bila mampu memadukan nilai-nilai kesalehan pada semua dimensi dalam merespons suatu situasi tertentu. Ketekunan dan keuletannya dalam meluaskan pengembaraan intelektual, misalnya, seorang yang berkarakter tidak akan menanggalkan kesalehan moral atau mengabaikan kesalehan kewarganegaraan. Pun kekuatan motivasinya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tidak akan melunturkan kesalehan intelektual atau mengorbankan kesalehan moral.

Komprehensif

Dalam rangka membangun karakter murid secara holistik-integratif, pendidikan karakter mesti diimplementasikan secara komprehensif pada seluruh aspek kehidupan sekolah. Seluruh aktivitas sekolah adalah wahana pembangunan karakter. Setiap jengkal tanah dan sudut ruang sekolah adalah lahan pesemaian karakter. Seluruh staf sekolah adalah model (teladan) karakter bagi murid. Setiap murid adalah cermin pemeriksa kepantasan karakter murid yang lain.

Pimpinan sekolah, guru, dan tenaga kependidikan (GTK) memandang setiap aktivitas sekolah dan perilaku murid dengan kacamata karakter. Proses pemerolehan kompetensi dan unjuk prestasi murid—akademik maupun nonakademik—tidak pernah lepas dari kawalan karakter. Interaksi antara GTK dan murid, sesama GTK, dan sesama murid senantiasa berbingkai pembangunan karakter.

Sekolah didesain sebagai ekosistem bagi penumbuhan dan pertumbuhan karakter murid. Seluruh kegiatan terprogram direkayasa sebagai iklim yang kondusif untuk menyuburkan karakter murid. Semua rutinitas kelas dirumuskan prosedurnya untuk membiasakan karakter murid. Setiap aktivitas insidental merepresentasikan budaya (karakter) sekolah.

Makin intens terpapar praktik—melalui pemodelan dan pembiasaan—suatu karakter, murid menjadi makin mudah tertular karakter tersebut. Dalam hal ini, konsistensi GTK memegang peranan kunci. Yang tidak kalah penting adalah penciptaan komunitas peduli: saling asah, asih, dan asuh antarwarga sekolah. Inilah modus pemerolehan karakter melalui penularan.

Makin tandas dalam menalar kebenaran suatu nilai, murid akan makin meyakini urgensi nilai tersebut bagi kehidupannya kini dan kelak. Kreativitas guru dalam menggiring penalaran murid menjadi faktor penting. Untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sikap acuh (attentive), misalnya, guru dapat merancang sandiwara seperti berikut.

Dua orang murid—sebut saja X dan Y—diminta keluar kelas. Murid-murid lain, yang tinggal di dalam kelas, diskenario untuk merespons kedua temannya secara berbeda. Ketika X kembali masuk dan mengajak bercakap, mereka tidak acuh, melanjutkan obrolan dengan teman sebangkunya. Sementara, kepada Y—yang masuk kembali ke kelas belakangan—mereka menyambutnya dengan antusias. Kemudian X dan Y masing-masing ditanya, bagaimana perasaannya demi mendapati respons teman-temannya terhadap ajakannya untuk berbincang.

Pengalaman yang diperoleh X dari peran dadakannya dalam sandiwara diam-diam tadi menjadi bahan refleksi bagi seluruh murid. Pengalaman pahit yang menimpa X itu menumbuhkan empati. Kelak empati berkembang menjadi tenggang rasa, pangkal tolak perlakuan kepada orang lain. (Yang sempat mengalami masa kejayaan P4 pasti masih hafal, tenggang rasa—bersama pengendalian diri—dinobatkan sebagai pangkal tolak pengamalan Pancasila.)

Penalaran yang melibatkan emosi akan melekat dalam memori jangka panjang. Drama tersebut mengantarkan murid-murid ke pemahaman tentang apa (acuh atau attentive sebagai definisi nilai hormat dalam perilaku nyata), bagaimana (mengejawantahkan perilaku acuh kepada mitra komunikasi), dan mengapa (perilaku acuh dibutuhkan dalam pergaulan sehari-hari). Ini sekadar contoh modus pemerolehan karakter melalui pengajaran.

(Catatan: Sandiwara semacam itu tidak mustahil membuat X betul-betul terluka oleh perlakuan teman-temannya. Jika itu terjadi, menjadi tugas guru untuk membantu X menetralisasi emosinya dan merestorasi relasi dengan teman-temannya.)

Panggung aksi moral dibutuhkan untuk mengasah kepekaan murid-murid dalam memenuhi panggilan karakter. Aneka kegiatan sosial-budaya di luar konteks kelas menjadi ajang yang cukup efektif untuk mengasah kepekaan moral. Perlombaan berbagai cabang olahraga, pertunjukan seni, perkemahan dan jambore, bakti sosial dan pengabdian masyarakat sering memunculkan situasi baru dan tidak terstruktur.

Kehadiran situasi tak terduga itulah yang akan menguji daya spontanitas murid-murid dalam merespons panggilan moral. Perhelatan sepak bola, terutama yang berskala internasional, pun sering melahirkan bintang aksi moral. Liputan  seluk-beluk bintang nonteknis bahkan tidak jarang menjadi trending topic, melampaui rating berita mengenai pertandingan sepak bolanya sendiri.

Makin sering terlibat dalam kegiatan di luar konteks kelas yang menantang aksi moral secara spontan, makin terasah pula kepekaan murid-murid dalam merespons panggilan karakter pada situasi baru dan tak terduga. Demikianlah modus pemerolehan karakter melalui pendadaran.

“Virus” karakter ditularkan melalui pemodelan dan pembiasaan secara konsisten. Kesadaran karakter diajarkan melalui penalaran kritis dan penghayatan emosi (empati aditif). Kepekaan karakter ditatar (arkais: dibidik) dan didadar (Jawa: diuji; dipanen) di kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dapat memancing aksi moral spontan dalam merespons situasi baru dan tak terduga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da