Twibbon Harkitnas dengan foto Bung Tomo (kok bukan dr. Soetomo?) |
Apa kabar, bangsa Indonesia?
Beberapa hari yang lalu saya mendapati Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 Tahun 2023. Lengkap dengan naskah pidato sambutan Menteri yang—dugaan saya—bertindak selaku Ketua Panitia Pusat. Di situs resmi Kementerian Kominfo.
Pagi ini saya kembali menyambangi situs yang bersangkutan. Lenyap. Berkas dalam format PDF itu sudah tidak terlacak. Ketika saya ketik "Pedoman Peringatan Harkitnas PDF" di bilah pencarian, yang ditampilkan pedoman tahun 2022.
Ke mana gerangan pedoman itu? Apakah ia turut ditahan oleh Kejaksaan Agung?
Di dalam Pedoman disebutkan, upacara bendera peringatan Harkitnas dilaksanakan pada Senin, 22 Mei 2023. Semula, ketika membuka dan membacanya, saya sempat bertanya-tanya: kenapa tanggal 22, bukan 20? Apakah karena tanggal 20 bertepatan dengan hari Sabtu? Para narapraja tidak boleh terganggu liburannya sekadar untuk berupacara?
Ah, para pendiri Boedi Oetama—organisasi yang hari kelahirannya kelak diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional—pasti tidak mengenal hari libur dalam memperjuangkan kesadaran nasionalisme. Seandainya dokter Wahidin, dokter Soetomo, dan kawan-kawan bisa hidup kembali, barangkali mereka akan bertanya sinis, "Enak zamanmu, to?"
Dugaan saya meleset. Upacara peringatan Harkitnas tidak diselenggarakan hari ini, 20 Mei 2023, karena—mungkin, lo, ya—hari ini dipersiapkan untuk dicanangkan sebagai Hari Kebangkrutan Nasional (Harkrutnas).
Menurut kabar yang ramai di berbagai kanal berita, menteri penanggung jawab peringatan Harkitnas dua hari yang lalu ditahan Kejaksaan Agung. Yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Jadi, pejabat yang menggelorakan semangat untuk bangkit itu kini tengah bangkrut.
Bagi Tuan Menteri, kebangkrutan memang baru menimpa dalam tiga hari ini. Namun, bagi bangsa kita, kebangkrutan itu sudah berlangsung cukup lama. Tuan Menteri bangkrut karena harus kehilangan jabatannya, menyusul penetapan dirinya sebagai tersangka. Bangsa kita bangkrut sejak korupsi membudaya di kalangan pejabat negara.
Sebenarnya saya mencari-cari peta korupsi di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Masih adakah pulau bermarkah hijau, simbol nihil kasus korupsi? Masih banyak, mungkin: pulau-pulau yang belum terjamah keturunan Adam. Masih adakah provinsi hijau? Kabupaten/kota hijau? Masih tersisa berapa lembaga negara—eksekutif, legislatif, yudikatif—yang belum pernah ternoda oleh kasus korupsi?
Korupsi tidak hanya mengakibatkan kebangkrutan material. Kebangkrutan moral yang diderita bangsa ini jauh lebih parah. Status bekas narapidana korupsi tidak membuat yang bersangkutan malu untuk melanjutkan karier politiknya. Keluar dari penjara, mereka dengan gagah dan percaya diri menyandang jabatan petinggi partai politik—tetap di partai lama atau pindah ke partai baru. Menjelang pemilu, mereka ikut meramaikan bursa calon anggota legislatif atau mengadu peruntungan dalam kontestasi pilkada.
Luar biasa! Korupsi tidak dipandang sebagai tindak pidana yang memalukan. Korupsi hanyalah kecerobohan kecil, tidak lebih berat dibandingkan dengan pengendara motor yang menerobos lampu merah di jalan raya. Atau, barangkali korupsi itu hanya setara dengan offside dalam permainan sepak bola?
Ups, saya yang berlebihan memberikan label. Mereka belum tentu benar-benar menjadi pelaku korupsi alias koruptor. Mulanya mereka hanya terduga terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi. Lalu dinaikkan statusnya menjadi tersangka. Kalau di akhir persidangan pengadilan mereka divonis bersalah, statusnya naik lagi menjadi terpidana. Ya, maksimal terpidana korupsi. Bukan pelaku korupsi, Bukan koruptor.
Jadi, mari, hari ini kita rayakan sebagai Harkrutnas. Siapa tahu, yang hari ini sedang bangkrut atau yang hari-hari sebelumnya sudah turut membangkrutkan negeri, dengan semangat untuk bangkit, lusa bisa ikut berupacara memperingati Harkitnas.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar