Langsung ke konten utama

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #2 (5/5)

 Kepemimpinan, Pelibatan, dan Keberlanjutan

Sebagaimana layaknya sebuah gerakan, pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan dengan multiperan. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan sosok panutan, maka pimpinan sekolah harus hadir sebagai kampiun karakter. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan petarung tangguh, maka pimpinan sekolah harus tampil sebagai pendekar karakter. Gerakan pendidikan membutuhkan arsitek strategi, maka pimpinan sekolah harus berperan sebagai senapati pasukan karakter.

Sebagai gerakan pembudayaan, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan segenap pemangku kepentingan. Rancang bangun pendidikan karakter yang mati-matian ditata oleh guru kelas akan berantakan bila tidak dibarengi pranata serupa di lapangan olahraga, perpustakaan, kantin, dan tempat-tempat lainnya di sekolah. Sebab itu, pimpinan mesti melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam gerakan karakter.

Keterlibatan unsur-unsur komunitas sekolah akan mencapai totalitas hanya jika masing-masing merasa diberi peran sebagai subjek (diuwongake), bukan sekadar objek penyelenggaraan program. Jadi, pelibatan itu harus dimaknai sebagai distribusi peran kepemimpinan, pembagian tanggung jawab dan wewenang. Kepercayaan dan apresiasi menjadi sepasang kunci pembuka keran partisipasi proaktif mereka.

Tidak hanya GTK, murid pun perlu diberi kesempatan untuk mengambil peran kepemimpinan dalam gerakan karakter. Rotasi kepemimpinan di kalangan murid dapat dilakukan sesering mungkin. Peran kepemimpinan murid bisa dimulai dari skala kecil. Memimpin kerja kelompok dan rutinitas kelas dapat dipergilirkan kepada semua murid. Dari pengalaman mereka dalam peran kepemimpinan skala kecil itu dapat diidentifikasi kapasitas per individu. Murid yang menunjukkan kapasitas menonjol kelak diberi kesempatan untuk menjalankan peran kepemimpinan dengan skala lebih besar.

Dalam konteks gerakan pendidikan karakter, harus dihindari pemaknaan suksesi kepemimpinan sebagai kontestasi politik dan perebutan kekuasaan. Tiap-tiap individu perlu sesekali maju ing ngarsa untuk belajar memikul tanggung jawab sung tuladha, kali lain membaur ing madya untuk belajar gotong royong mangun karsa, dan kali lain lagi mundur untuk belajar legawa tut wuri seraya handayani tim agar tetap berdiri tegak dan melangkah tegap.

Pelibatan secara total itu membuat semua anggota komunitas sekolah merasa handarbeni. Kontribusi mereka terhadap gerakan karakter bukan sekadar berorientasi unjuk kepatuhan, melainkan lebih dirasakan sebagai panggung aktualisasi diri. Motivasi intrinsik ini menjadi sumbu dukungan yang loyal dan awet. Guru-guru tidak merasa sungkan untuk menawarkan ide-ide kreatif demi menyegarkan pendekatan pendidikan karakter atau saling berbagi praktik baik di kelas mereka. Dengan demikian, terbangun kolaborasi sinergis: yang kuat berdaya guna untuk memberdayakan yang lemah.

Distribusi peran kepemimpinan juga bermakna kaderisasi. Jalan menuju alih generasi pimpinan sekolah menjadi lapang dan mulus. Suksesi antargenerasi yang sevisi dan sudah biasa bersinergi itu menyumbangkan separuh jaminan keberlanjutan gerakan pendidikan karakter.

Bagi anggota komunitas, rotasi peran kepemimpinan memberikan pelajaran berharga. Pengalaman melakoni peran bervariasi itu akan meluaskan sudut pandangnya terhadap jabatan dan status seseorang dalam sebuah organisasi—formal maupun informal. Dengan persepsi bahwa peran dan kontribusi lebih bernilai daripada jabatan dan status, mereka tidak silau ketika melihat ke atas dan tidak rabun ketika memandang ke bawah. Jabatan apa pun yang dipangku orang lain dipandang dengan kacamata kewajaran dan status apa pun yang disandangnya sendiri diterima dengan lapang dada.

Iklim kepemimpinan yang kondusif menjadi modal penting untuk mempererat keterlibatan proaktif dan menggalang dukungan autentik. Iklim kepemimpinan juga berdampak terhadap keberlanjutan ikhtiar pembudayaan karakter di sekolah. Last but nor least, iklim kepemimpinan yang dibangun di atas fondasi kepercayaan dan dinaungi atap apresiasi adalah pilar pendidikan karakter itu sendiri.

Asesmen Berkala dan Perbaikan Kontinu

Sebaik apa pun desainnya, tidak pernah ada program yang bebas dari ancaman cacat dan usang. Demikian pula yang berlaku bagi program pendidikan karakter di sekolah. Ia memerlukan penyesuaian dan pembaharuan sepanjang masa. Sekali dianggap sempurna dan disakralkan, program pendidikan karakter akan kehilangan kompatibilitasnya terhadap dinamika ruang dan waktu.

Nilai-nilai kesalehan berlaku universal (melintasi sekat-sekat ruang) dan abadi (melintasi batas-batas zaman). Namun, pendekatan yang dipakai dalam penanaman dan penumbuhan nilai-nilai tersebut memerlukan adaptasi dan modifikasi dari waktu ke waktu dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Dulu kala, untuk menjaga kelestarian sumber air, orang tua cukup mengatakan kepada anak-anaknya bahwa di pohon besar di dekat mata air di kampung mereka ada penunggunya. Lalu diutuslah seorang juru kunci untuk menaruh benda-benda “sesaji” di bawah pohon tersebut pada momen-momen tertentu. Jadilah anak-anak takut mengganggu “si penunggu” pohon. Alhasil, pohon “keramat” itu selamat dari perusakan dan desa mereka terhindar dari bencana kekeringan.

Anak-anak generasi milenial dan berikutnya, mana bisa percaya kepada mitos takhayul seabsurd itu? Mereka menuntut penjelasan logis: mengapa pohon-pohon di sekitar mata air itu harus dilestarikan. Mereka perlu dibimbing untuk menalar: apa hubungan antara keberadaan pepohonan dan masa depan kehidupan masyarakat, apa akibat yang akan diderita anak cucu mereka kelak jika pepohonan musnah dari desa mereka, apa yang harus mereka lakukan terhadap pohon-pohon itu untuk menyelamatkan masa depan mereka.

Asesmen berkala menjadi keniscayaan demi keberlanjutan ikhtiar pendidikan karakter. Data diperlukan untuk mengukur keberhasilan program, efektivitas pendekatan, dan kompatibilitas teknik. Beragam instrumen pengumpulan data memiliki peran penting: catatan anekdot hasil pengamatan guru, survei pengalaman murid, survei kepuasan orang tua murid, dan—kalau perlu—survei pandangan masyarakat sekitar.

Data yang terkumpul menjadi pijakan untuk mengambil langkah-langkah perbaikan. Kegagalan dan keberhasilan dipetakan. Ada peluang, pembudayaan nilai tertentu gagal di salah satu kelas tetapi sukses di kelas yang lain. Boleh jadi, pembangunan karakter tertentu gagal di tangan salah seorang guru tetapi gemilang di tangan guru yang lain. Ada kemungkinan, implementasi sebuah pendekatan berantakan di seluruh sekolah. Bisa jadi, penerapan teknik tertentu berjalan mulus di semua kelas.

Kegagalan dan keberhasilan sama-sama layak untuk dipetik sebagai pelajaran. Keberhasilan yang dicapai oleh sebuah kelas atau seorang guru diakui sebagai praktik baik dan ditularkan ke kelas atau guru lain. Kegagalan yang merata di seantero sekolah diakui sebagai area kritis dan membutuhkan curah gagasan dari segenap pemangku kepentingan.

Dalam evaluasi keberhasilan dan kegagalan, iklim kepemimpinan kembali memegang peran kunci. Keberhasilan di salah satu kelas—yang tidak terjadi di kelas lain—bisa jadi merupakan buah dari keberanian “berijtihad”, mencoba pendekatan atau teknik yang berbeda dari desain sekolah. Keberanian berbeda semacam itu tumbuh hanya dalam iklim kepemimpinan yang demokratis. Pengakuan atas keberhasilan ijtihad nyeleneh semacam itu akan menyulut keberanian teman-teman sejawat untuk mengambil inisiatif. Sewaktu-waktu mendeteksi gejala kegagalan metode yang diresepkan sekolah, mereka berani banting setir.

Curah gagasan dalam rangka revisi program juga akan subur dengan ide-ide segar dan kreatif hanya dalam iklim kepemimpinan yang akomodatif. Fondasi kepemimpinan yang demokratis dan akomodatif adalah kultur egaliter dalam organisasi. Egalitarianisme itu akan menjelma menjadi pola kepemimpinan kolektif-kolegial. (TAMAT)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da