Langsung ke konten utama

Pendendam, Pengiri, Clemer

“Hari gini nggak bisa Excel?”

Kalimat sarkastis itu terucap oleh anak buah saya, 14 atau 15 tahun silam. Saya memerlukan pengolahan data. Dengan Excel dari Microsoft itu—saya yakin—prosesnya menjadi mudah dan cepat. Sayangnya, saya belum pernah bekerja dengan perangkat pengolah angka itu. Mengeklik ikon pintasannya pun belum pernah saya lakukan. Ketika kepepet kebutuhan itu, saya pun pilih mengambil jalan pintas: memerintah anak buah.

Kalimat sarkastis itu memantik dendam saya. Kiranya wajar kalau saya marah. Semestinya bawahan saya itu menjawab, “Sendika dhawuh, Ndara.” Saya pun betul-betul marah. Bergegas saya tinggalkan ruang kerja para bawahan saya. Kembali saya ke kantor. Saya marahi habis-habisan mesin pengendali minat saya. Kenapa sejak zaman DOS hingga era Windows saya tak pernah berminat untuk menjajal program pengolah angka!

Pertengahan dekade 1990-an saya diutangi komputer oleh seorang teman. Sampai detik itu saya belum pernah dolanan komputer. Demi mensyukuri kemurahan hati (atau kemurahhatian?) teman, saya terpaksa mencuri tiga buku tutorial: Word Star (WS), Word Perfect (WP), dan Lotus. Untunglah kasir sempat mencegat saya sebelum meninggalkan toko.

Sambil memegang buku WS, saya selundupkan disket DOS ke slotnya (saya lupa, yang atas atau bawah). Lalu saya pencet tombol power. Sekira pembakaran mencapai setengah batang, slot satunya siap dimasuki disket WS. Bersamaan dengan tuntasnya ritual pembakaran, disket WS siap menerima komando. Rangkaian dot command pun saya lancarkan.

Sekian pekan berikutnya, seluruh mantra WS dan WP yang ada di kedua buku tutorial itu sudah bermigrasi ke kepala saya. Keduanya sama-sama program pengolah kata, cuma beda aliran. Sementara, Lotus adalah program pengolah angka, cikal bakal Excel. Buku tutorialnya tidak pernah tersentuh oleh tangan saya. Hingga era DOS berakhir dan digantikan Windows, buku Lotus itu tetap mulus. Tidak ada jejak penyingkapan lembaran-lembaran isinya.

Hingga 10-an tahun mengenal Windows, saya masih belum tertarik untuk menjajal Excel. Padahal pada 2005—dua atau tiga tahun sebelum terbentur kebutuhan itu—saya juga mendapat hadiah buku tutorial Excel. Sekadar membuka sampulnya saja, saya tidak berminat.

Kalimat sarkastis itulah mantra sakti yang mampu membangkitkan minat saya. Seketika saya merasa butuh Excel. Microsoft Word tidak cukup lagi untuk menyelesaikan semua pekerjaan saya. Urusan saya tidak lagi terbatas pada ritual pembuatan naskah soal. Perasaan butuh itulah yang mendorong saya untuk segera mengeklik ikon pintasan Excel. Begitu lembar kerjanya tampil di layar, saya sudah tidak sabar untuk mengopreknya. Pointer berloncatan liar menjelajah seantero papan perintah di sisi atas lembar kerja.

Sekira dua jam kemudian, saya kembali ke ruang kerja anak buah. Saya pamerkan cetakan tabel data hasil belajar perdana saya kepada anak buah yang sebelumnya “menolak” perintah saya. Sama sekali tidak menampakkan ekspresi kaget, dia malah tersenyum. Barangkali puas dia berhasil “mengerjai” bosnya. Dia memang pantas untuk merasa puas. Seandainya perintah itu saya ulang sekali saja, saya yakin dia akan patuh mengerjakannya. Atau, seandainya “asbabulwurud” perintah saya itu bukan ketidakbisaan saya, dapat dipastikan dia tidak menjawab dengan sindiran seperti itu.

Bukannya merayu agar dia membatalkan penolakannya, saya justru memilih tafsir lain. Pertama, sejatinya dia bukan menolak perintah, melainkan menggugah kesadaran saya bahwa keberadaan anak buah tidak sepatutnya menjadikan atasan manja. Status atasan dan bawahan itu sementara belaka. Pada saatnya, ketika sudah tidak menyandang status atasan, orang akan kembali tidak punya bawahan. Kedua, dia hendak mengingatkan saya akan khotbah saya sendiri bahwa kewajiban belajar tidak pernah pilih-pilih usia—apalagi kedudukan.

“Drama” itu kemarin (31/1) saya ceritakan di sebuah forum kecil. Penyimaknya, para penggawa yang hendak menjalankan tugas baru. Di forum itu mereka disuruh belajar bagaimana tugas baru itu dikerjakan. Kebetulan alat kerjanya Excel. Saya katakan kepada mereka, “Kalau sekadar cara mengisi lembar kerja Excelnya, itu urusan remeh. Dan semestinya bukan saya yang didaulat untuk menyampaikan.” Lalu, sekonyong-konyong, meluncurlah cerita tadi dari sela sepasang bibir saya.

Pagi kemarin itu, selama 60 menit lebih saya justru membedah bagaimana mengonstruksi gagasan untuk mengisi kolom-kolom di lembar kerja itu. O, ya, tugas itu bertajuk verifikasi. Jadi, audiens saya itu para (calon) verifikatur. Penunjukan saya sebagai “juru tala” itu pun tidak luput dari gugatan saya. “Yang pertama-tama harus diverifikasi itu saya sendiri,” kata saya mengawali forum.

Pekerjaan yang akan diverifikasi itu implementasi sebuah sistem yang mulai dibangun lima tahun yang lalu. Saya terlibat dalam lokakarya pembuka. Usai kegiatan dua hari itu saya kumat nakal hingga pecah huru-hara. Akibatnya (baca: sanksinya), saya harus dikarantina. Efeknya (agar tidak mengulang akibatnya), saya tidak terlibat (baca: dilibatkan) dalam lokakarya lanjutan: coaching praktik implementasi sistem. Jadi, sayalah semestinya yang perlu diverifikasi. Jangan-jangan “mazhab” yang saya kembangkan itu hasil pengawuran belaka, tidak cocok dengan sistem yang dikembangkan dalam coaching.

“Cuma, saya ini mudah dendam, mudah iri, dan clemer,” aku saya kepada para penyimak yang saya harapkan segera menguras habis kepercayaannya kepada saya. Karantina itu memicu dendam saya. Biarpun badan dikarantina, jiwa tak boleh berhenti mengembara. Dendam itu kemudian menumbuhkan iri. Kalau yang tidak dikarantina mendapat kesempatan untuk memperoleh kecakapan tertentu, saya juga harus memperoleh kecakapan serupa. Untuk melampiaskan dendam dan mengeksekusi keirian itu, saya harus mencuri.

“Ilmu itu halal untuk dicuri,” fatwa saya seketika. “Hanya di kuil-kuil Shaolin, kitab jurus-jurus mereka disimpan primpen di tempat-tempat keramat,” lanjut saya. Jadilah semua yang saya ‘pamerkan’ kemarin itu hanya hasil praktik tiga sifat utama yang melekat pada saya itu: pendendam, pengiri, dan clemer.

Dilalah, salah satu contoh verifikasi yang saya suguhkan justru diterima secara aklamasi sebagai koreksi atas kekeliruan hasil coaching. Mendengar respons itu saya kontan menyergap, “Nah, itu. Gara-gara nggak dapat jatah kucing, saya berburu sendiri. Dan ternyata malah singa, hasil buruan saya.”

Orang-orang tersenyum. Ada juga yang terkekeh. Saya gagal menafsirkan maknanya: sekadar terhibur atau sampai tersindir.

Tabik.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da