Penularan
Sebut saja namanya Tom. Ia dilahirkan, dibesarkan, dan hingga dewasa tinggal di salah satu negara Eropa. Bisnis butiknya berkembang pesat ketika usianya masih 20-an. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, pemasarannya menjangkau hampir seluruh benua Eropa.
Terilhami oleh pameran batik di sebuah kota mode terbesar di Eropa, Tom berminat untuk melengkapi koleksi butiknya dengan busana batik. Pada suatu musim panas, ia memutuskan untuk berlibur ke salah satu pusat kerajinan batik tulis: Yogyakarta. Di Kota Gudeg ia mengunjungi sejumlah rumah produksi batik.
Di salah satu sanggar batik, Tom bertemu dengan Tin, salah seorang pembatik. Perempuan muda itu tampak menonjol dibandingkan dengan teman-teman seprofesinya. Remaja sederhana yang sekilas tampak lugu itu fasih berbahasa Inggris. Tom merasa menemukan calon mitra bisnis baru.
Kecakapan komunikasi—bahasa dan etika—Tin menumbuhkan harapan lebih. Tidak sekadar menjadikannya mitra bisnis, Tom bahkan ingin mempersunting Tin. Kebetulan, keduanya sama-sama lajang dan belum punya calon pasangan.
Singkat cerita, di sela-sela perburuan batik dalam liburan musim panasnya, Tom menikahi Tin. Akad nikah berlangsung sederhana—tanpa pesta—di kampung halaman Tin, pelosok selatan Wonogiri. Selain keluarga Tin, hanya kerabat dan tetangga dekat yang hadir menyaksikan momen sakral dan istimewa itu.
Upacara ijab kabul dilangsungkan secara lesehan. Kedua mempelai, wali, kedua saksi, dan penghulu duduk melingkari meja bundar di atas tikar mendong. Tom tampak tidak nyaman dengan posisi duduknya. Sebentar-sebentar ia mengubah posisi: bersila meniru calon ayah mertuanya dan tetamu laki-laki, bertimpuh meniru calon istri dan ibu mertuanya serta para tamu perempuan, dan kadang jegang.
Setelah akad nikah usai dan penghulu berpamitan, meja bundar disingkirkan. Acara dilanjutkan dengan kenduri. Sebuah tampah besar berisi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam, gudangan, dan beberapa telur rebus dibelah dua disajikan di tengah-tengah kalangan. Piring-piring berisi nasi dan lauk-pauk—bertudung daun pisang berbentuk kerucut tumpul—dihidangkan di depan hadirin.
Pak Modin mulai memimpin doa. Semua yang hadir mengangkat kedua tangan dan mengaminkan setiap penggal doa yang dilafazkan Pak Modin. Setelah sempat celingukan, Tom akhirnya ikut mengangkat tangannya. “Amin”-nya sering tertinggal, menunggu “kor” dimulai. Posisi duduknya masih belum stabil: bersila, bertimpuh, jegang.
Tiba saatnya makan bersama. Tom tidak segera mengambil piring di depannya. Pandangannya berkeliling menyapu seantero kalangan. Ia perhatikan secara saksama bagaimana orang-orang menikmati hidangan selamatan pernikahannya.
Setelah dijawil Tin—yang belum genap satu jam resmi menjadi istrinya—Tom mulai beraksi. Tudung daun pisang diambil lalu ditaruh di sebelah piring. Piring dipegang dan diangkat dengan tangan kanan. Tangan kirinya memegang sendok. Sebelum makanan di sendok Tom dimasukkan ke mulutnya, Tin bersicepat menahannya. Tom kembali memperhatikan orang-orang. Lalu, dengan canggung ia tukar tugas kedua tangannya. Tangan kiri menyangga piring, tangan kanan memegang sendok.
Tom memperoleh pendidikan karakter melalui penularan.
Pengajaran
Setelah semua tamu undangan pulang, Tom dan Tin masuk ke kamar. Tidak seperti lazimnya pengantin baru, Tom dan Tin mengisi hari perdananya dengan “les privat”. Tom menjadi muridnya, Tin gurunya. “Mata pelajarannya” adab kenduri ala desa pelosok selatan Wonogiri.
Tom mengejar penjelasan seputar pengalaman yang diperoleh dalam satu jam pertamanya bersama keluarga Tin dan warga desa setempat. Satu per satu ditanyakan. Sebagaimana kebanyakan orang Eropa, Tom cukup kritis. Jawaban Tin sering tidak mampu memuaskan kemelitan suaminya. Maklum, Tin sudah tergolong generasi tanggung—tidak tahu banyak tentang falsafah etika Jawa.
Untuk menuntaskan “pelajarannya”, Tin mengajak suaminya kembali ke ruang tengah—ruang utama, paling besar di antara semua ruang yang ada di rumah, berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Pertanyaan-pertanyaan kritis Tom dirujuk kepada ayah dan ibu mertuanya. Tin cukup menjadi penerjemah. Suaminya bertanya dalam bahasa Inggris, Tin menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa krama desa. Ayah dan ibunya menjawab dalam bahasa Jawa ngoko, Tin menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Tom menjadi paham. Menengadahkan kedua tangan menandakan keseriusan, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa. “Amin” berarti permohonan agar Tuhan mengabulkan permintaan sebagaimana termaktub dalam kalimat doa yang dilafazkan. Laki-laki bersila dan perempuan bertimpuh ketika duduk lesehan mencerminkan sikap hormat: menghormati orang lain dan menjaga kehormatan diri sendiri.
Makan dan minum dengan tangan kanan mengejawantahkan disiplin dalam pembagian tugas. Dalam pandangan Jawa, kanan identik dengan baik, mulia, suci; kiri identik dengan buruk, hina, kotor. Tangan kanan menjalankan tugas-tugas yang baik, mulia, atau suci. Tangan kiri menangani tugas-tugas yang buruk, hina, atau kotor.
Kemuliaan makanan akan tercemar bila disentuh dan diantarkan ke mulut dengan tangan kiri, yang sering bertugas membersihkan organ tubuh yang kotor. Ketika makan, tangan kiri menyangga piring agar tidak turut campur dalam mengambil makanan.
Tin menambahkan penjelasan: “Makanan itu sesuatu yang mulia, berharga bagi kesehatan tubuh kita. Maka, makan itu the right of our right hands. Ketika makan, our left hands must be left.” Tom manggut-manggut. Tin cerdas memanipulasi kata-kata right dan left untuk memudahkan pemahaman suaminya. Dengan passwords “right-left”, konsep etika makan dan minum dengan tangan kanan langsung menancap di otak Tom.
Ini betul-betul pelajaran baru bagi Tom. Sebagai orang asli Eropa, ia selama ini menggebyah-uyah tugas tangan kanan dan kiri. Ketika makan, biasanya tangan kanannya memegang pisau untuk mengiris daging, roti, atau buah. Tangan kirinya memegang garpu untuk mengambil irisan makanan itu dan memasukkannya ke mulut.
Tom memperoleh pendidikan karakter melalui pengajaran.
Pendadaran
Sorenya—masih pada hari yang sama—Tom makan bersama keluarga barunya. Tin dan adik-adiknya menata nasi, sayur, lauk, piring, dan sendok di meja besar di yang terletak ruang dapur. Di salah satu sisinya terdapat dua kursi. Tin bermaksud menyilakan suaminya makan sambil duduk di kursi. Piringnya ditaruh di meja agar Tom tidak perlu menyangga dengan tangannya. Bahkan, Tin juga menyiapkan dua pasang sendok dan garpu, yang ditata di atas dua piring.
Tin ingin ayahnya menemani Tom makan di meja. Sementara, Tin, adik-adiknya, dan ibunya akan makan setelah Tom dan ayah mertuanya selesai makan. Setelah semuanya siap di meja, Tin memanggil suaminya untuk makan. Dia juga ngaturi ayahnya untuk menemani Tom makan di meja.
Rupanya Tom tidak tahu maksud istrinya. Sesampainya di “meja makan”, ia bengong. “Kenapa hanya ada dua kursi?” batinnya, “Apakah kursi-kursi ini untuk panjatan naik ke meja lalu makannya duduk di atas meja?” Setelah disilakan duduk di kursi, barulah Tom paham bahwa hanya ia dan ayah mertuanya yang disuruh makan bersama di situ. Yang lain menyusul belakangan.
Tom protes. Ia menolak diistimewakan. Ia sudah mahir makan di meja. Ia ingin berlatih membiasakan kecakapan barunya: makan sambil duduk lesehan. Istri, ayah dan ibu mertua, serta adik-adiknya mendukung niat baik Tom. Mereka beramai-ramai memboyong semua yang sudah tertata di meja ke tikar yang sudah digelar di lantai ruang tengah.
Dengan susah payah Tom berhasil mempraktikkan pelajaran “les privat”-nya. Passwords “right-left” benar-benar sudah terpatri. Tangan kiri memegang piring, tangan kanan mengambil nasi, sayur, lauk dan menuangkannya ke piring. Tangan kiri menyangga piring yang sudah terisi makanan, tangan kanan memegang sendok. Lulus.
Masih ada satu pelajaran yang Tom belum lulus: duduk bersila. Ia sudah bisa, tetapi belum betah bersila lama. Sesekali ia mengangkat lututnya. Tin sempat berinisiatif mengambilkan dingklik untuk suaminya. Tom menolak. “It’s impolite, you said,” katanya. Istrinya mengacungkan jempol kedua tangannya.
Dua hari berikutnya, ayah Tin berpamitan untuk menghadiri selamatan puput puser di rumah tetangga. Tin menjelaskan kepada Tom: ayahnya akan ke mana, apa keperluannya. Tom bertanya, “May I come with dad?” Istrinya mengangguk, lalu memohon ayahnya untuk menunggu.
Tom hendak langsung berangkat dengan bercelana pendek. Tin menahannya, lalu bergegas mengambilkan celana panjang. Dia khawatir, suaminya akan kedodoran kalau memakai sarung seperti ayahnya.
Meski tidak berkomunikasi dengan kata-kata, Tom menikmati keramahtamahan para tetangga barunya. Tidak hanya melatih ketahanan kakinya duduk bersila, ia juga belajar bagaimana bahasa tubuh orang Jawa tradisional ketika bertamu dan menyambut tamu, menyilakan makan dan menerima atau menolak tawaran, berpamitan dan nguntapake tamu yang hendak pulang.
Tom makin ketagihan ikut ayah mertuanya ke berbagai hajatan tetangga. Bahkan, Tom mulai berani berangkat sendiri ke hajatan tetangga ketika ayah mertuanya berhalangan hadir. Ia tidak sungkan minta koreksi mertuanya kalau-kalau ada tindak tanduknya di persamuhan yang menyalahi unggah-ungguh Jawa. Ia juga rajin menanyakan hal-hal baru yang dialaminya dalam pergaulan bersama keluarga dan masyarakat setempat.
Tom memperoleh pendidikan karakter melalui pendadaran. Hasil belajarnya melalui proses penularan dan pengajaran diuji-praktikkan di lapangan riil.
***
Begitulah, pendidikan karakter berlangsung melalui tiga modus: penularan, pengajaran, dan pendadaran (3 “-aran”). Ini terjemahan bebas dari kredo “Character is caught, taught, and sought.”
Tak usah ditanyakan: kapan Tin diajak terbang untuk dikenalkan kepada kedua mertuanya dan berbulan madu di kampung halaman Tom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar