Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Ketika Sekolah (Tak) Tergoda Atribut Semu

"Kau ini bagaimana? Dipercaya jadi jago kecamatan, kok, enggak serius?" Pejabat pemegang otoritas bidang pendidikan tingkat kecamatan menegur saya. Sekitar tiga bulan sebelumnya, sekolah kami ditunjuk sebagai kontestan dalam lomba sekolah sehat (LSS) tingkat kota. Pada tahun yang sama, satu sekolah lain di kecamatan kami maju ke tingkat nasional pada ajang lomba serupa setelah menyabet gelar juara I tingkat provinsi pada tahun sebelumnya. Saya bertanya kepada kepala sekolah duta provinsi: berapa dana yang sudah dihabiskan untuk memoles wajah sekolahnya dan berapa dana yang sudah diterima sebagai hadiah juara tingkat kota dan provinsi. Jawabannya menciutkan nyali saya untuk berjibaku. Total nilai hadiah yang terkumpul tidak mencapai lima persen dari biaya permak yang sudah keluar. Saya mulai berhitung. Untuk memenuhi kriteria sekolah sehat, sekolah kami masih harus menambah sejumlah sarana dan prasarana. Kebutuhan itu tidak tercantum di dalam anggaran pendapatan

Jepang Guru Dunia

  Pergelaran Piala Dunia 2022 baru memasuki hari ke-6. Pertandingan final baru akan berlangsung pada 18 Desember. Penyisihan grup baru akan berakhir sepekan ke depan. Para pengamat dan penggila bola mulai ramai memprediksi tim negara mana yang akan keluar sebagai juara. Beragam pendekatan mereka gunakan: analisis ilmiah, fanatisme primordial, hingga ramalan mistis. Saya bukan pengamat persepakbolaan. Bukan pula penggila bola. Jangankan menonton langsung di stadion, menonton siaran pertandingan sepak bola sambil ngopi dan ngemil di depan TV pun kalau dirata-rata tidak sampai satu kali setahun. Andaikan ditanya tentang hasil pertandingan babak penyisihan grup Piala Dunia 2022 ini—yang sudah memainkan 16 laga—saya hanya bisa menyebut dua: Jepang menang atas Jerman dan Arab Saudi menang atas Argentina. Dua kemenangan itu pun tanpa saya ingat skornya. Meski buta bola, jika ditanya siapa juara Piala Dunia di Qatar kali ini, saya punya jawaban yang jauh lebih maju daripada para pengamat je

Sepeda (Lagi)

Sepeda lagi. Kendaraan tak bermesin ini belakangan kian populer. Fungsinya tak lagi sekadar alat transportasi. Selain untuk berolahraga, kini banyak orang bersepeda sebagai hobi. Tampaknya ada juga tren bersepeda sebagai medium sosialisasi—bersosialisasi atau menyosialisasikan. Sebagai kendaraan, sepeda mengemban tugas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain. Di dalam tugas tersebut terkandung dua fungsi: arah dan laju. Untuk mengendalikan arah dan laju itu, tiga komponen berperan secara langsung: setang, rangkaian pedal-gir-rantai, dan rem. Ketiganya menjadi penentu arah dan laju gerak putar roda. Untuk menunaikan misinya—menggerakkan roda sepeda dari titik keberangkatan ke titik tujuan—pengendara cukup mengoperasikan tiga komponen: setang, pedal, dan rem. Namun, terdapat demikian banyak komponen lain untuk menjamin ketiganya dapat beroperasi secara baik. Harus ada sumbu (as) yang menghubungkan lengan pedal kanan dan lengan pedal kiri. Diperlukan gotri-gotri sebagai bantalan untu

Melayani

Semarang, 11/10/2022 Menjelang zuhur saya bertandang ke sebuah sekolah. Saya terprovokasi oleh tawaran classroom visit yang diunggah di situs web sekolah itu. Lalu saya ingat salah satu kalimat yang ditulis Bu Muren Murdjoko di Instagram pada 10 Juli 2021. Saya menemukan kutipannya di  sebuah media daring . "Uniknya, walau bukan sekolah Islam, terlihat beberapa anak muslim salat bersama guru agama di sekolah tersebut." Begitu pengakuan ibunda Maudy Ayunda ketika mengintai sekolah yang kelak menjadi pilihan putri sulungnya itu. Yang membuka kesempatan classroom visit  ini adalah—sebagaimana eksplisit pada namanya—sekolah Islam. Saya penasaran: seperti apa aktivitas sekolah tersebut ketika tiba waktu salat? Maka saya putuskan untuk menyambanginya pada waktu zuhur. Sekolahnya punya banyak kemiripan dengan sekolah yang diceritakan Bu Muren Murdjoko. Sekolah baru. Belum banyak fasilitas fisik yang dimiliki. Bangunannya tampak sudah berumur, mungkin bekas gedung sekolah yang suda

Sepeda

  N = nama komponen; F = fungsi komponen; R = risiko bila komponen tidak ada Dalam tiga bulan terakhir, saya empat kali ditanggap untuk mementaskan cerita yang sama. Yang menanggap juga sama. Tempat pentasnya pun sama. Hanya penontonnya yang berganti pada setiap pentas. Karena ceritanya sama, empat pementasan itu juga menampilkan lakon yang sama: sepeda. Pada tiga kali pentas yang pertama, saya menampilkan 20 model sepeda unik. Ada sepeda konferensi dan sepeda pesta, yang dikendarai dan dikayuh beramai-ramai. Ada sepeda terbalik, yang berbelok ke kiri ketika setang diputar ke kanan dan sebaliknya. Ada sepeda burung pemangsa, yang dikendarai dengan posisi telungkup. Ada sepeda juggernow , yang roda depan dan setangnya ganda. Penasaran? Ah, lihatlah sendiri di sini https://www.youtube.com/watch?v=0LS41SiVEs4&t=312s . Yang tiga kali saya tampilkan itu pun hanya video di kanal YouTube Ilmuwan Top itu. Setelah menyaksikan pentas 20 sepeda unik hasil kreativitas gila itu, para pen

Dua Pusaka Abadi

  “There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.” Setiap yang hidup akan mati. Demikian pula manusia. Setelah mati, manusia—mau tidak mau—melepaskan kepemilikan atas segala perbendaharaan yang semula dikuasainya. Hak kepemilikan dan pemanfaatan harta material dan imaterial yang ditinggalkannya itu berpindah kepada ahli waris. Salah satu pihak yang—karena pertalian darah—otomatis menjadi ahli waris adalah anak. Harta warisan berpeluang menjadi senjata untuk melapangkan masa depan penerimanya. Bagi ahli waris yang belum punya penghasilan atau berpenghasilan kurang dari kebutuhannya, harta warisan dapat menjadi sumber penghasilan. Dalam hal demikian, warisan berfungsi sebagai bekal untuk menyambung hidup. Bagi ahli waris yang berkecukupan, harta warisan bisa dicadangkan untuk keperluan tak terduga. Ahli waris yang memiliki keterampilan bisnis dapat menjadikan harta warisan sebagai modal usaha sehingga mendatangkan keuntungan lebih. Apa pun fungsinya,

Merawat Human Capital

Sumber gambar:  https://www.jojonomic.com/blog/human-resource-development-2/ “The formula is simple: Happy employees equal happy customers. Similarly, an unhappy employee can ruin the brand experience for not just one, but numerous customers.” ( Sharon Swift, Founder of SETTLEto) Howard Schultz, CEO Starbucks, tampaknya menerapkan rumus serupa di perusahaan yang dipimpinnya. "Kami membangun brand Starbucks pertama-tama dengan para pegawai kami, bukan dengan pelanggan. Karena kami yakin bahwa cara terbaik untuk memenuhi dan melampaui ekspektasi pelanggan adalah dengan mempekerjakan dan melatih para pegawai yang hebat, kami berinvestasi di pemberdayaan pegawai," tegas Schultz. Kepuasan pelanggan tentu menjadi idaman setiap pelaku usaha, apa pun bisnisnya. Namun, siapa sejatinya yang menciptakan kepuasan pelanggan itu? Para pegawai. Pekerja. Karyawan. Performa merekalah yang menentukan apakah pelanggan puas atas produk bisnis kita atau tidak. Richard Branson, CEO Virgin Air be

Semai Peradaban di Negeri Awan

Ustaz Wasino (kiri) bersama Ki Gw  Menyambangi Ali dan Umi di Pucang, Bawang, Banjarnegara sebenarnya tidak diagendakan. Ketika Ali menawarkan mampir, Suko tampak ragu. Ia minta pendapat saya. Dapat dimaklumi, mengingat masih ada agenda sambang Wasino di Tretep, Temanggung. Saya serahkan hak memutuskan itu kepada Suko. “Manut,” jawab saya. “Saya kan senior, tidak kualat kalau menolak.” Terlalu dalam Suko menafsirkan jawaban saya. Kalau senior tidak kualat, sebagai junior Suko takut kualat. Ia mengiakan ajakan seniornya, Ali. Berhasil. Motif tersembunyi saya menemukan prangko. Kesanggupan Suko untuk mampir ke Pucang itu prangko untuk menyampaikan rindu saya pada sensasi keroyokan mi rebus. Sebenarnya Suko punya alasan untuk menolak. Dulu ia pernah mampir ke rumah Ali. Pukul 2 siang kami berpamitan. Ali, Umi, dan Kayla (?) mengantar sampai jalan raya. Begitu mobil berjalan, serangan kantuk mulai saya rasakan. Dua faktor patut dicurigai sebagai penyebab: memang sangat kurang tidur a

Rindu Tak Sampai, Dendam Tak Tunai

  Ina (paling kanan) dan suaminya, Tabah (tengah), urung menginap di Wanayasa Menit ke-17 dari pukul 24.00 alias 00.00. Regu Semarang meninggalkan Kajen menuju Wanayasa. Ternyata, jarak dua kecamatan berbeda kabupaten itu tidak begitu jauh. Menurut petunjuk Mohadi (duh, jadi kangen Pak Harmoko), dari Kajen lurus ke selatan melewati Paninggaran dan Kalibening, lalu sampailah di Wanayasa. Jalannya menanjak terus, tapi landai, katanya. (Entah mengapa Mohadi tidak mengabarkan, tanjakan-tanjakan itu berselang-seling dengan turunan curam juga?) Lepas kota Kajen, kami langsung menyusuri jalan mendaki membelah hutan. Awalnya memang landai. Namun, lama-kelamaan di beberapa ruas kemiringannya cukup efektif untuk meredam laju mobil. Ditambah sejumlah tikungan tajam di beberapa titik. Khas kontur jalan di perbukitan, tanjakan terjal segera dibalas dengan turunan curam. (Suko dan Diana tak perlu menyisipkan cerita di sini.) Biasanya saya cepat-cepat merapal mantra sakti ketika sudah duduk di jo