2 Jun 2025

Sambil Ngopi

Seperti sering saya katakan, ilmu penilaian itu ilmu wajib yang sering diabaikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Seorang guru—kalau setia pada profesinya sejak lulus sarjana hingga memasuki usia pensiun—akan mengemban amanah untuk menilai hasil belajar murid-muridnya selama sekitar 30 tahun. Akan tetapi, pembekalannya hanya 2 atau 3 SKS. Itu pun cenderung bekal teoretis tanpa verifikasi keterampilan praktis.

Kritik tersebut saya sampaikan dalam sebuah forum rerasan virtual di penghujung bulan Mei 2025. Mitra jagongan saya guru-guru—mayoritas baru dan muda—di sebuah sekolah yang juga baru alias muda. Masih konsisten. Lebih dari 6 tahun sebelumnya, saya menyebut kelalaian LPTK terhadap kewajibannya itu sebagai utang. Jejak dakwaan saya itu dapat dilacak di sini.

Kritik saya selanjutnya menyasar pengguna lulusan LPTK. “Di dunia kerja, ilmu penilaian yang fardu ain itu berubah menjadi fardu kifayah. Soal dibuat oleh satu tim kecil untuk dipakai bersama-sama oleh sekian ratus sekolah,” celoteh saya.

Cuplikan naskah soal pada gambar di atas menjadi bukti kesahihan dua tuduhan saya sekaligus. Label pada header naskah menjadi petunjuk bahwa soal tersebut dipakai oleh semua SD—kecuali yang berani nakal—di satu kabupaten. (Semoga inisial nama kabupatennya tidak terdeteksi oleh Pembaca.) Berarti, soal ini dibuat oleh tim kepercayaan dinas yang berwenang. Di dalam tim itu ada penyusun kisi-kisi soal, penyusun naskah soal, dan penyelia (editor) naskah. Tentu masih ada pasukan pengetik, pengganda, pengepak, dan pendistribusi. Masih ada unsur lain lagi: jajaran elite yang mengerahkan dan ngereh para operator lapangan. Semuanya mendapat bagian peran dan imbalan.

Sudah cukup lama regulasi mengamputasi kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan penilaian hasil belajar murid-murid di semua jenjang pendidikan. Asesmen, kecuali yang berskala nasional, menjadi kewenangan guru di satuan pendidikan masing-masing. Namun, hingga hari ini amputasi itu masih saja terasa berat untuk direalisasikan. Alasan klasik yang selalu mengemuka, tidak semua guru terampil merancang dan membuat alat penilaian (baca: soal) yang sahih/valid dan andal/reliabel. Alasan yang mengebelakang (tabu jika mengemuka), Pembaca lebih paham.

Memilih atau menunjuk beberapa gelintir guru untuk dikerahkan sebagai tukang bikin soal, tentu lebih efisien daripada melatih semua guru agar mahir meramu dan merakit soal yang sahih dan andal. Menggandakan lalu mendistribusikan soal bikinan tim tukang, tentu lebih efektif daripada menyerahkan lahan basah itu kepada semua guru di semua sekolah. 

Alhasil, seluruh guru bahasa Inggris kelas 4 SD sekabupaten tinggal membagikan soal terpotret di atas kepada murid-muridnya. Setelah soal dikerjakan, para guru tinggal memeriksa lembar jawaban murid-muridnya. Jawaban murid yang sama dengan kunci jawaban, dinyatakan benar. Jawaban yang berbeda dari kuncinya, salah. Tentu kunci jawaban dan pedoman penskorannya juga sudah disediakan oleh tim andalan pemerintah.

Saya tidak mendapatkan kunci jawaban soal ini. Namun, saya boleh berkhayal menjadi guru pemeriksa jawaban murid. Berikut saya kabarkan sejumlah khayalan saya.

Soal nomor 21: We sit on the ....

Dugaan saya, kunci jawabannya chair. Ada murid menjawab floor. Ada juga yang menjawab bed, table, bench, dan seat. Saya bingung. Kalau jawaban-jawaban selain chair itu saya anggap betul, nanti saya berdosa kepada si tukang soal yang tepercaya. Sebaliknya, kalau jawaban-jawaban itu saya anggap salah, saya berdosa kepada Yang Maha Benar.

Soal nomor 22: Write the correct number in words! 51 = ....

Dugaan saya, kunci jawabannya fifty-one. Lalu bagaimana nasib murid saya yang menulis lima puluh satu, sèkêt siji, atau sèkêt sêtunggal?

Soal nomor 23: Fill in the blank with the correct preposition! The dog is sleeping ... the sofa.

Mungkin kunci jawabannya on. Namun, sebagian murid saya menulis under. Sebagian yang lain menulis behind. Ada juga yang menulis beside. Saya jadi bingung: jawaban mereka benar atau salah. 

Soal nomor 24: Twenty-five (maaf, saya tambahkan tanda hubung) plus eleven is ....

Pasti kunci jawabannya thirty-six (atau mungkin diberi alternatif: 36). Ternyata jawaban murid-murid saya beragam dan kreatif: difficult, easy, simple, plenty, the same as eleven plus twenty-five. Saya jadi pusing: apa alasan saya untuk menyalahkan jawaban mereka.

Soal-soal nomor 25, 26, 28, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 38, dan 39 berpeluang menemukan takdir serupa. Anak-anak yang pintar bahasa Inggris dan berani menguji gurunya, saya khayalkan menjawab secara kreatif.

Apa yang dialami oleh si tukang soal? Beliau lupa salah satu kaidah soal isian singkat: pokok soal tidak mengandung ambiguitas yang membuka peluang bagi keberagaman jawaban benar. Soal-soal nomor 21, 23, 26, 28, 30, 31, 32, 38, dan 39 akan memenuhi kaidah tersebut andai disertai gambar. Kalau malas menyematkan gambar, pembuat soal bisa mengonversi tipe soalnya menjadi pilihan ganda.

Soal-soal nomor 24, 25, dan 37 juga langsung beres kalau dibuat menjadi soal pilihan ganda. Soal nomor 22 dapat dibereskan dengan menyisipkan kata English di antara in dan words. Saran ini mungkin mengundang protes: Lah, bukankah ini soal bahasa Inggris? Otomatis jawabannya juga harus berbahasa Inggris, dong!” Saya, sih, tidak menganggap ada keharusan demikian. Buktinya, petunjuk mengerjakan soalnya juga tidak berbahasa Inggris. Jadi, tetap saja sisipan kata English di situ jauh lebih berfungsi daripada tambahan kata correct di antara the dan number pada kalimat itu. Kata correct itu justru mubazir sehingga wajib dicoret.

Mata saya lalu menatap nomor 42 dan 43. Konstruksi soal dan jawabannya sama dengan nomor 24, 25, dan 37. Akan tetapi, mengapa pengelompokannya berbeda? Nomor 24, 25, dan 37 masuk kelompok soal isian singkat. Nomor 42 dan 43 digolongkan soal esai. Hampir dapat dipastikan, kedua golongan soal tersebut diperlakukan berbeda dalam penskorannya. Bagaimana bisa konstruksi soal dan jawabannya sama, tetapi diskor secara berbeda?

Ternyata tukang soal yang sudah terpilih dan tepercaya menjadi pemasok soal untuk teman-teman sejawatnya sekabupaten pun belum dijamin memahami kaidah penyusunan soal. Artinya, ada dua implikasi yang dapat ditarik. Pertama, beliau belum lulus mata kuliah asesmen pembelajaran. Ini utang yang belum dilunasi oleh LPTK yang meluluskannya. Kedua, penunjukannya sebagai anggota tim tukang bikin soal tidak melalui seleksi autentik. Mungkin ada metode seleksi lain yang lebih efisien.

Lebih parah lagi, sebenarnya layak untuk diragukan profisiensi bahasa Inggrisnya. Soal nomor 20: What is a common tool to clean the floor in the homeTampaknya beliau masih perlu menuntaskan perbedaan antara definite dan indefeinite article serta antara house dan home. Soal nomor 29 dan 33 (Arrange this word!—lalu masing-masing diikuti enam dan lima kata) menuntut beliau untuk lebih serius belajar menggunakan single/plural forms. Lebih mendasar lagi, beliau harus kembali membuka kamus untuk memahami arti kata word. Perintahnya, “Arrange this word!” Lalu, ini yang harus disusun: O-W-L-B (nomor 39) dan L-L-O-W-P-I (nomor 40). Lah, kalau dua gugusan huruf itu sudah berupa word, lalu mesti disusun jadi apa lagi? Masa, jadi excel?!

Duh, hampir saja saya lupa untuk menyebut siapa yang berjasa atas lahirnya tulisan emosional ini. Baiklah, saya ceritakan riwayat perjumpaan saya dengan selembar (dua halaman bolak-balik) naskah soal itu.

Ahad (01/06/2025) pagi, sehari setelah saya berceloteh di forum jagongan virtual itu, saya mampir di sebuah warung angkringan. Di sekitar Pasar Wedi, Klaten. Setelah memesan kopi hitam, saya tergoda oleh sehelai kertas yang dipakai untuk melindungi jajanan dari terpaan debu. Label pada header tulisan itu yang serta-merta menggugah emosi primordialisme saya.

Sambil menikmati seruputan demi seruputan kopi hitam manis—seperti yang minum—saya baca tulisan di kertas itu. Baris demi baris. Kata demi kata. Tidak peduli apakah tuan pemilik angkringan memperhatikan kelakuan saya dan memandangi penuh curiga. Saya baca terus dan terus hingga tamat seluruh soal di halaman 3. Saya tidak berani membalik kertas itu untuk melihat halaman sebaliknya. Nanti disangka saya hendak mengambil penganan di bawahnya. Siapa tahu, di “kafe kerakyatan” itu berlaku aturan tak tertulis: membuka tudung berarti membeli! Saya hanya menebar ancaman dalam hati: nanti akan saya beli kertas itu!

Kopi tinggal menyisakan ampasnya di dasar gelas kecil. Sambil merogoh dompet di saku celana, saya berkata kepada mas tuan angkringan, “Mas, kertas sing niku kula tumbas, pareng?” Setengah berbisik, saya mengucapkan pertanyaan itu. Takut terdengar oleh dua anak muda yang belum menuntaskan kopinya. Semula saya duduk sebangku dengan mereka.

“Halah, diasta mawon, Pak. Namung kertas, kok,” jawab si tuan angkringan.

Saya membujuk untuk tetap membelinya. Saya yakin, ia mendapatkan kertas bekas itu juga lantaran membeli. Ia bersikeras menolak. Saya ulurkan selembar uang. Ia serahkan uang kembalian. Saya hitung. Ia hanya mengambil bayaran seharga kopi. Saya kembalikan sebagian uang kembaliannya. Ia kembalikan balik. Saya menyerah.

Saya menyesal karena tidak menggembol ponsel. Seandainya membawa ponsel, saya bisa memindai soal dua halaman itu. Tanpa perlu berdebat dengan pemilik warung. Pun gambar hasil pindaiannya tidak sekusut yang tampak pada gambar di atas. Kertas itu harus saya lipat sampai kecil. Agar bisa masuk ke saku celana. Di dalam saku masih harus tertekuk-tekuk. Akibat dari gerakan kaki saya ketika berjalan, menstarter, mengendarai, dan turun dari motor.

Alhasil, saya hanya bisa membeli kertas berlepotan minyak jelantah itu dengan ucapan terima kasih. Plus doa untuk keberkahan bisnis kuliner angkringannya.

Tidak ternyana, sambil ngopi bisa menjala bahan tulisan.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer