Langsung ke konten utama

Kumakaruh

Karanggeneng, 19/06/2023

"Panjenengan Praci-nya mana?" tanya seseorang, menyambut kedatangan saya.

"Nokerto," jawab saya.

"Saudaranya Pak Paser?" tanyanya lagi.

"Prunan [anak adiknya]."

Selepas magrib saya memacu WinAir-100 ke Karanggeneng, Gunungpati. Kalau lancar, sepuluh menit perjalanan dari markas saya. Saya harus menyambangi Kak Yato, kawan saya yang tengah mengikuti kegiatan Pramuka tingkat Provinsi.

Kak Yato utusan dari Kwarcab (Kwartir Cabang, organisasi Pramuka di tingkat kabupaten/kota) Wonogiri. Ia dilahirkan dan dibesarkan di sana. Sama seperti saya, beda kecamatan. Kami dipertemukan di SPG—sekolah pendidikan guru setingkat SMA, menemui ajalnya pada 1991—di ibu kota kabupaten. Setelah lulus, kami tidak pernah berkomunikasi. Apalagi berjumpa. Mulai terjalin komunikasi jarak jauh setelah musim WhatsApp. Tepatnya, setelah saya punya akun WhatsApp. Gara-gara dipaksa sejumlah orang baik untuk memegang ponsel pintar.

Setiap menunaikan tugas di Semarang, Kak Yato selalu mengabari saya. Beberapa kali saya sempat menemuinya di tempat kegiatan. Sayangnya, persentase tidak sempatnya lebih banyak. Ups, bukan tidak sempat. Yang benar, tidak punya sangu.

Kak Yato ada di antara mereka.

Saya sempat bimbang. Sampai di depan gerbang timur, samping SMPN 24 Semarang, saya menengok ke kanan. Ada banyak tenda berdiri di kawasan II Pusat Kegiatan Kepramukaan (Puskepram) Candrabirawa milik Kwarda (Kwartir Daerah, organisasi Pramuka tingkat provinsi) Jawa Tengah itu. Saya berbelok. WinAir-100 saya parkir di tepi gerbang.

Saya tanya seorang pria paruh baya yang duduk di gardu gerbang. Tampaknya ia bukan warga Kwarda. Tidak tampak "tanda-tanda pengenal" Pramuka. Bajunya kaus oblong putih yang sudah tidak begitu putih. Celananya gelap—mungkin aslinya hitam—setinggi lutut. Dari gaya komunikasinya dapat disimpulkan, ia bukan pula petugas jaga gerbang masuk kawasan II itu. Beruntung, saya masih bisa memperoleh keterangan darinya bahwa dari kawasan II ke kawasan I tidak ada jalan tembus yang bisa diterabas WinAir-100.

Saya kembali menstarter WinAir-100, melanjutkan perjalanan ke kawasan I. Masih harus maju beberapa ratus meter lagi untuk sampai di gerbangnya. Ada anak muda membuntuti saya. Sama-sama sempat berhenti di gerbang kawasan II. Sama-sama hendak menemui seseorang di kawasan I. Bedanya, ia belum paham wilayah Karanggeneng. Ia tidak tahu di mana gerbang lama (kawasan I) berada. Jadi, ia butuh pemandu jalan. Jadi, tenang saja, saya dalam status aman meski dibuntuti orang tak dikenal (mungkin juga tidak terkenal).

Sampai di lokasi, saya mengabari Kak Yato. Ternyata WinAir-100 mendarat di "bandara" yang salah. Terlalu jauh dari "hotel parasut" tempat Kak Yato menginap selama tiga harmal. Kak Yato memandu saya lewat telepon. WinAir-100 "take off" lagi, menuju lokasi kemah Kak Yato.

"Hop ... hop ... hop ...!" teriak Kak Yato, menyetop WinAir-100.

Saya menepi lalu berhenti. Kak Yato mencarikan tempat parkir yang lebih nyaman. Ketemu. Ada gundukan pasir di antara dua mobil yang sudah lebih dahulu terparkir. Jeda antara kaki "bukit" dan garis tepi badan jalan cukup untuk memarkir WinAir-100. Kehadiran "pesawat tempur" itu tidak mengganggu mobil-mobil yang diparkir maupun yang lewat di jalan sempit itu.

Kami berjalan menuju tenda. Kak Yato bilang, ada kawan dari Giriwoyo (salah satu kecamatan di sisi selatan Kabupaten Wonogiri, berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur) yang bersamanya dalam kegiatan "di sini senang, di sana senang" itu. Yang menyapa dengan menanyakan dusun asal-usul saya itulah kawan yang dimaksud. Pak Wirawan, namanya.

"Sudah saya tebak. Kalau [orang dari] Praci, nama [menyebut nama saya] itu sepertinya [orang dari] Nokerto," lanjut Pak Wirawan setelah kami berkumpul di teras tenda.

Setelah saya memastikan akan datang, Kak Yato bercerita kepada Pak Wirawan bahwa kawannya, berasal dari Pracimantoro, akan datang. Pracimantoro—orang-orang sekitar biasa menyebutnya "Praci"—itu kecamatan kelahiran saya. Letaknya di sebelah barat Giriwoyo, "tanah air" Pak Wirawan. Kami bertetangga, berselang satu kecamatan. Pak Wirawan menyelesaikan pendidikan SPG di Praci. Wajar kalau beliau hafal wilayah sana.

Rupanya saya sempat menjadi objek rerasan antara Pak Wirawan dan Kak Yato. Pak Wirawan yakin dengan tebakannya.

"Saudaranya Pala (kepala desa, kades) Sambiroto yang [menjabat] sekarang itu," kata Pak Wirawan kepada Kak Yato, sebagaimana ditirukan ketika bercerita kepada saya.

Tebakan Pak Wirawan 100% benar. Mas Katmo, kades di desa kelahiran saya, adalah kakak sepupu saya. Ibunya adalah kakak dan satu-satunya saudara kandung ibu saya. Ayahnya, almarhum Pakde Paser, semasa hidupnya menjadi dalang wayang kulit yang juga lama menjabat kepala dusun.

Pak Wirawan (kanan) dan saya di teras tenda.

Saya merogoh ponsel di tas pinggang. Cekrik. Jadilah foto saya bersebelahan dengan Pak Irawan. Meski buram, foto itu tetap saya kirim kepada Mas Katmo.

"Ini siapa, Dhe?" tulis saya, sebagai takarir foto yang saya kirim.

"Weh, kok ketemu Pak Wirawan? Lha di mana itu?" balas Mas Katmo, lebih satu jam kemudian.

Sambil bersiap-siap untuk upacara api unggun, Pak Wirawan terus menceritakan kedekatannya dengan keluarga Pakde Paser. Fasih sekali. Termasuk kenangan nggaplek (memanen ketela pohon) bersama saya. Tidak ketinggalan, pengabdiannya sebagai "pawang" ketika Pakde sakit di akhir masa sugeng-nya.

Pak Wirawan memotret saya, lalu mengirimkan foto hasil jepretannya ke nomor WhatsApp istrinya. Entah disertai keterangan apa.

"Adiknya Mbak Giyati?" tanya istrinya, sebagaimana dibacakan Pak Wirawan untuk saya.

Duh. Serasa tertampar muka saya. Pak Wirawan dan istrinya tidak hanya dekat dengan keluarga Pakde. Kami (keluarga Simbok) pun masih lekat menempel di ingatan keduanya. Sebaliknya, saya tidak menyisakan secuil pun kenangan tentang mereka. Saya masih meraba-raba, tahun berapa Pak Wirawan tinggal di dusun kami.

Sebelum berangkat ke plaza api unggun, Pak Wirawan menyerahkan sesuatu kepada saya. Saya mengambil satu dan menikmatinya di teras tenda. Ketika hendak pulang, saya ragu: sisanya saya bawa atau saya tinggal. Pak Wirawan tidak menjelaskan, itu dihibahkan semuanya atau hanya untuk dicicipi. Menurut nasihat yang pernah saya dengar, yang meragukan hendaknya ditinggalkan. Karena statusnya meragukan, sisa itu saya tinggalkan.

Baru sekitar satu jam saya bertamu. Pak Wirawan sudah lebih dahulu meninggalkan tenda. Tiga anak muda (kawan seregu?) menyusul. Kak Yato mulai berganti busana. Baju santai dilepas. Baju tradisional bermotif lurik ganti dikenakan. Rasanya kurang elok kalau saya menobatkan diri menjadi satpam penjaga tenda. Saya pun segera pamit, bersamaan ketika Kak Yato berangkat menyusul kawan-kawannya.

Kak Yato dan saya

Saya pulang membawa dendam: melacak tilas sesrawungan keluarga kami dengan keluarga Pak Wirawan. Ketika tilik Simbok nanti, semoga ada kesempatan untuk melunasinya. Ya, sikap kumakaruh (ramah, hangat, akrab) Pak Wirawan kepada saya—juniornya dengan selisih usia sekitar satu windu—menjadi utang saya yang mesti dilunasi.

Kak Yato menjadi lantaran terjalinnya kembali silaturahmi saya dengan Pak Wirawan, kerabat yang—setelah puluhan tahun tidak pernah bertemu—ketlingsut dari kenangan saya. Kalau yang menyambung silaturahmi berhak atas pahala, tentunya yang menjadi musabab juga layak mendapat ganjaran serupa. Bahkan, diberi yang lebih baik dan lebih besar pun pantas.


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da