Langsung ke konten utama

Menuju Sekolah Karakter: Mengapa Karakter? (1/5)

Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) menyampaikan, “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” Maka, lebih lanjut ia mengingatkan, “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.”

Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, mungkin akan mengutil suatu barang dari sebuah gerbong kereta; tetapi ketika sudah menggenggam ijazah perguruan tinggi, ia bisa merampok semua harta di seluruh rangkaian kereta. Mendidik otak seseorang tanpa mendidik moralnya, ibarat menyemai benih ancaman bagi masyarakat.

Dokter Ismed, psikiater dari Kota Semarang, dalam gelar wicara di sebuah sekolah memberikan ilustrasi apik. “Seorang pemulung yang berbakat mencuri, paling-paling hanya menggasak panci atau ember yang tergeletak di teras rumah yang tampak sepi. Sementara, pejabat yang bermental bejat, tega menggarong triliunan dana sosial jatah rakyat miskin yang menjadi tanggung jawab jabatannya.”

Bukan Menu Baru

Character education is not something new added to the plate; it is the plate itself. Pendidikan karakter bukan menu baru yang ditambahkan ke piring, melainkan piringnya itu sendiri. Kredo ini sangat populer di kalangan penggerak pendidikan karakter di sekolah.

Sejak awal kemunculannya, sekolah sejatinya hadir sebagai ajang untuk menempa karakter anak-anak muda. Aneka disiplin ilmu pengetahuan, berbagai cabang seni, olahraga, dan keterampilan dihidangkan sekadar sebagai alat bantu untuk menumbuhkan dan menyuburkan karakter siswa.

Dalam jamuan makan di sebuah pesta, tidak semua tamu bisa dipaksa untuk melahap seluruh makanan yang terhidang. Masing-masing hanya menyantap makanan yang sesuai dengan selera dan tidak mengganggu sistem pencernaan dan metabolismenya. Mengambil makanannya boleh suka-suka, asal bermanfaat bagi kesehatan dan kebugarannya.

Demikian pula sekolah, mustahil semua siswa mahir dalam seluruh mata pelajaran. Kegagalan siswa pada sebagian atau seluruh mata pelajaran sekolah hanya akan membatasi kesempatannya untuk memiliki keahlian dan memilih mata pencaharian kelak. Kegagalan itu sama sekali tidak mengunci mati peluang baginya untuk meraih sukses dan kebahagiaan.

Sebaliknya, siswa yang gagal menginternalisasi nilai-nilai luhur dan mematrikannya dalam pola tingkah laku, kelak akan menjadi biang kekacauan yang membahayakan dirinya sendiri dan lingkungannya. Kepintaran, profesi, dan kedudukannya tidak mengantarkannya menjadi problem solver dan menghadirkan kemaslahatan, tetapi justru menjadikannya problem maker dan memicu kerusakan.

Kesadaran Kolektif

Jika pendidikan diibaratkan proses pembuatan batik tulis, sekolah semestinya mengambil peran sebagai kolam celupan. Nilai-nilai luhur adalah “wenter” untuk mewarnai “mori” kepribadian siswa. Kepribadian yang sudah “diwarnai” dengan “wenter” nilai-nilai luhur itulah karakter.

Bakat dan minat siswa adalah “motif teraan malam” yang terbentuk oleh “goresan canting” kodrat alam. Kemelekatan “malam” kodrati pada “mori” potensi kognitif dan psikomotorik siswa itu sedemikian kuat sehingga menyulitkan penetrasi “wenter” pendidikan. Artinya, pendidikan tidak bisa memaksakan obsesi dan ambisi ala Kadariah hingga menyeragamkan standar capaian akademik seluruh siswa.

Celupan “wenter” karakter “hanya” memberikan “warna” afektif dalam proses memfasilitasi setiap siswa untuk mengembangkan potensi sesuai dengan “motif” bakat dan minat yang diterakan oleh “Sang Canting”. Dengan celupan nilai-nilai luhur, kodrat alam—yang mesti diterima dan diyakini sebagai mahakarya nircela (aḥsani taqwīm)—yang dibawa oleh setiap anak akan berkembang menjadi “batik” pribadi yang memesona. Karakter itulah yang bisa diseragamkan standarnya.

Siswa yang jago dan yang loyo dalam matematika, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang jujur dan ulet. Siswa yang berbakat dan yang sekarat dalam sepak bola, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang sportif dan kesatria. Siswa yang berobsesi menjadi pemusik dan yang mengharamkan musik, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang santun dan tabah.

Seberapa banyak karakter yang diinginkan untuk mewarnai kepribadian siswa-siswinya, sebanyak itu pula sekolah harus menyediakan “kolam wenter”. Teknik celup (dyeing, ṣibgah) memang tidak efisien, memakan waktu yang panjang dan menuntut ketelatenan tingkat dewa.

Karut-marut etika sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menerpa bangsa kita—juga hampir semua bangsa di dunia—tidak terlepas dari lemahnya kapasitas sekolah dalam menjalankan fungsi utamanya itu. Keprihatinan atas kekacauan massal itu semestinya memicu kesadaran segenap pemangku kepentingan untuk mendorong dan membantu sekolah-sekolah kembali ke khitahnya: institusi pendidikan karakter.

Energi pendidikan mesti dikerahkan untuk menguatkan kapasitas sekolah sebagai “kolam celupan” karakter generasi muda. Selera untuk sebentar-sebentar memodifikasi kurikulum adalah pemubaziran energi, selama rekonstruksi peran sekolah sebagai pendidik karakter dianaktirikan—apalagi diabaikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da