2 Jan 2023

Menuju Sekolah Karakter: Mengapa Karakter? (1/5)

Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) pernah menyampaikan, “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” Maka, lebih lanjut ia mengingatkan, “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.”

Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, mungkin akan mengutil suatu barang dari sebuah gerbong kereta; tetapi ketika sudah menggenggam ijazah perguruan tinggi, ia bisa merampok semua harta di seluruh rangkaian kereta. Mendidik otak seseorang tanpa mendidik moralnya, ibarat menyemai benih ancaman bagi masyarakat.

Dokter Ismed, psikiater dari Kota Semarang, dalam gelar wicara di sebuah sekolah memberikan ilustrasi apik. “Seorang pemulung yang berbakat mencuri, paling-paling hanya menggasak panci atau ember yang tergeletak di teras rumah yang tampak sepi. Sementara, pejabat yang bermental bejat, tega menggarong triliunan dana sosial jatah rakyat miskin yang menjadi tanggung jawab jabatannya.”

Bukan Menu Baru

Character education is not something new added to the plate; it is the plate itself. Pendidikan karakter bukan menu baru yang ditambahkan ke piring, melainkan piringnya itu sendiri. Kredo ini sangat populer di kalangan penggerak pendidikan karakter di sekolah.

Sejak awal kemunculannya, sekolah sejatinya hadir sebagai ajang untuk menempa karakter anak-anak muda. Aneka disiplin ilmu pengetahuan, berbagai cabang seni, olahraga, dan keterampilan dihidangkan sekadar sebagai alat bantu untuk menumbuhkan dan menyuburkan karakter siswa.

Dalam jamuan makan di sebuah pesta, tidak semua tamu bisa dipaksa untuk melahap seluruh makanan yang terhidang. Masing-masing hanya menyantap makanan yang sesuai dengan selera dan tidak mengganggu sistem pencernaan dan metabolismenya. Mengambil makanannya boleh suka-suka, asal bermanfaat bagi kesehatan dan kebugarannya.

Demikian pula sekolah, mustahil semua siswa mahir dalam seluruh mata pelajaran. Kegagalan siswa pada sebagian atau seluruh mata pelajaran sekolah hanya akan membatasi kesempatannya untuk memiliki keahlian dan memilih mata pencaharian kelak. Kegagalan itu sama sekali tidak mengunci mati peluang baginya untuk meraih sukses dan kebahagiaan.

Sebaliknya, siswa yang gagal menginternalisasi nilai-nilai luhur dan mematrikannya dalam pola tingkah laku, kelak akan menjadi biang kekacauan yang membahayakan dirinya sendiri dan lingkungannya. Kepintaran, profesi, dan kedudukannya tidak mengantarkannya menjadi problem solver dan menghadirkan kemaslahatan, tetapi justru menjadikannya problem maker dan memicu kerusakan.

Kesadaran Kolektif

Jika pendidikan diibaratkan proses pembuatan batik tulis, sekolah semestinya mengambil peran sebagai kolam celupan. Nilai-nilai luhur adalah “wenter” untuk mewarnai “mori” kepribadian siswa. Kepribadian yang sudah “diwarnai” dengan “wenter” nilai-nilai luhur itulah karakter.

Bakat dan minat siswa adalah “motif teraan malam” yang terbentuk oleh “goresan canting” kodrat alam. Kemelekatan “malam” kodrati pada “mori” potensi kognitif dan psikomotorik siswa itu sedemikian kuat sehingga menyulitkan penetrasi “wenter” pendidikan. Artinya, pendidikan tidak bisa memaksakan obsesi dan ambisi ala Kadariah hingga menyeragamkan standar capaian akademik seluruh siswa.

Celupan “wenter” karakter “hanya” memberikan “warna” afektif dalam proses memfasilitasi setiap siswa untuk mengembangkan potensi sesuai dengan “motif” bakat dan minat yang diterakan oleh “Sang Canting”. Dengan celupan nilai-nilai luhur, kodrat alam—yang mesti diterima dan diyakini sebagai mahakarya nircela (aḥsani taqwīm)—yang dibawa oleh setiap anak akan berkembang menjadi “batik” pribadi yang memesona. Karakter itulah yang bisa diseragamkan standarnya.

Siswa yang jago dan yang loyo dalam matematika, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang jujur dan ulet. Siswa yang berbakat dan yang sekarat dalam sepak bola, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang sportif dan kesatria. Siswa yang berobsesi menjadi pemusik dan yang mengharamkan musik, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang santun dan tabah.

Seberapa banyak karakter yang diinginkan untuk mewarnai kepribadian siswa-siswinya, sebanyak itu pula sekolah harus menyediakan “kolam wenter”. Teknik celup (dyeing, ṣibgah) memang tidak efisien, memakan waktu yang panjang dan menuntut ketelatenan tingkat dewa.

Karut-marut etika sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menerpa bangsa kita—juga hampir semua bangsa di dunia—tidak terlepas dari lemahnya kapasitas sekolah dalam menjalankan fungsi utamanya itu. Keprihatinan atas kekacauan massal itu semestinya memicu kesadaran segenap pemangku kepentingan untuk mendorong dan membantu sekolah-sekolah kembali ke khitahnya: institusi pendidikan karakter.

Energi pendidikan mesti dikerahkan untuk menguatkan kapasitas sekolah sebagai “kolam celupan” karakter generasi muda. Selera untuk sebentar-sebentar memodifikasi kurikulum adalah pemubaziran energi, selama rekonstruksi peran sekolah sebagai pendidik karakter dianaktirikan—apalagi diabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer