Seorang sejawat menyebut nama saya dalam tulisannya. Demi
memenuhi kewajiban, pagi itu (15/05/2023) dia menyetorkan sebuah tulisan ke
institusinya. Panjangnya sepuluh kalimat. Isinya curhat. Dia bingung hendak
menulis apa. Di situlah dia ingat pesan saya suatu ketika: pengalaman kesulitan
menulis pun bisa menjadi cerita yang layak untuk ditulis.
Sayangnya, dia berhenti di pengakuan bingung itu saja. Seandainya dia mengelaborasi kegundahannya, pasti panjang tulisannya akan berlipat ganda. Perasaan yang meliputinya menjelang tiba gilirannya menyetor tulisan adalah cerita menggelitik. Usahanya menggali ide dan menuangkannya dalam tulisan adalah cerita heroik. Suasana—lahir dan batin—yang mengiringi proses menulisnya adalah cerita epik.
Kalau serangkaian pengalaman itu dikisahkan secara apa
adanya, dengan balutan bahasa yang renyah, tak ayal akan menjelma cerita yang
mengharu biru.
Takut mengecewakan pembaca? Atau dibilang lebai? Atau dianggap tulisan remeh-temeh? Atau … dihantui seribu ketakutan yang lain? Itulah induk masalahnya: intensitas kekhawatiran mencerminkan intensitas harapan. Untuk memupus ketakutan-ketakutan seperti itu, ada satu jurus sakti: ekspektasi 0.
Jadi, kendalanya bukan pada penemuan ide. Pesan Prof. Imam Suprayogo, mantan rektor tiga zaman UIN Maliki Malang, ide tulisan itu tidak perlu dicari. Ide itu datang setiap saat. Dari mana datangnya? Dari pengalaman. Pintu masuknya beragam: penglihatan, pendengaran, atau pengalaman indrawi lainnya. Bisa juga lewat perasaan dan intuisi. Pernahkah kita melewati hari, yang 24 jam itu, tanpa pengalaman?
Kalau menilik artikel-artikel Prof. Imam, kita akan mendapati, banyak ide tulisan beliau yang berasal dari pengalaman remeh. Pertemuan dengan siapa pun—orang penting hingga orang biasa, pejabat hingga mahasiswanya—menjadi pengalaman yang cukup berharga untuk diangkat sebagai ide tulisan. Jadi, fokus beliau adalah menghargai pengalaman, bukan mencari-cari pengalaman berharga.
Berbekal kerendahhatiannya dalam menghargai setiap pengalaman, Prof. Imam setia menulis artikel setiap hari setiap bakda subuh. Pada 2009 MURI menganugerahkan penghargaan kepada beliau atas capaiannya menulis artikel tiap hari tanpa jeda selama tiga tahun. Saya tidak tahu, apakah setelah itu beliau sempat memecahkan rekornya sendiri terdahulu itu. Yang saya tahu, saat ini blog pribadi beliau—ruang pajang artikel harian selama bertahun-tahun itu—sudah tidak dapat diakses lagi.
Selain Prof. Imam Suprayogo, Dahlan Iskan juga rutin menulis catatan harian setiap hari. Sebelum subuh, tulisannya sudah menyapa pembaca. Sebagai mantan jurnalis yang “serbatahu” dan “serbabisa”, Abah DI—sebutan akrabnya—menulis tentang banyak hal. Spektrum temanya teramat luas bagi ukuran saya yang cubluk. Segala isu—lokal, nasional, regional, dan internasional—ia tulis. Namun, tidak jarang tulisannya mengangkat pengalaman pribadinya yang biasa-biasa saja.
Ekspektasi 0 sangat kentara pada sikap Abah DI. Ia sengaja membuka ruang komentar seluas-luasnya untuk setiap tulisannya. Semua komentar dimuat tanpa seleksi. Tanggapan berisi koreksi data atau bahasa, ada. Pendapat pro dan kontra, ramai. Komentar keluar dari tema dan konteks tulisan, banyak. Saking liarnya isi komentar yang dilayangkan, para komentator Catatan Harian Dahlan menjuluki diri mereka “perusuh”.
Andai mengharap respons tertentu dari pembacanya, tentu Abah DI tidak akan sederas itu menggelontorkan catatan hariannya. Ia akan memilih isu-isu yang relatif aman dari kontroversi. Ia akan mengulik setumpuk referensi untuk memastikan data dan informasi yang ditulisnya sahih. Ia akan menyewa editor untuk memastikan bahasa tulisannya nircela.
Kenyataannya, justru Abah DI memanfaatkan “kesantaian” dalam menulis itu sebagai trigger untuk memancing komentar yang memperkaya wawasan, meluruskan informasi, atau mengoreksi bahasa. Seperti tersihir, pembaca secara sukarela menjadi proofreader (pembaca penguji [?]) tulisannya.
Ketika mendapati berita penganugerahan rekor MURI kepada Prof. Imam Suprayogo—terlambat beberapa tahun sesudahnya—saya sempat bermimpi untuk mengikuti jejak beliau: menulis setiap hari. Untuk mewujudkannya, saya tak enggan belajar membuat blog. Platform gratisan, tentu menjadi pilihan. Namun, sayangnya, hingga hari ini mimpi itu belum terwujud.
Pada masa-masa awal punya blog, saya mengalami penyakit yang lazim menjangkiti penulis pemula: buntu ide. Hari demi hari saya hanya sibuk mencari ide. Karena dicari-cari, wajar saja bila ide-ide itu justru rapat-rapat menyembunyikan diri. Alhasil, laman blog saya sering tidur berhari-hari, pingsan berminggu-minggu, atau bahkan koma berbulan-bulan.
Belenggunya hanya satu: ekspektasi berlebihan. Saya selalu dan terlalu berharap memperoleh sesuatu dari tulisan saya. Sesuatu itu bisa berupa reaksi pembaca: jempol, pujian, atau reaksi dan komentar positif lainnya. Setidaknya, jumlah pembaca menjadi penentu tingkat kepuasan saya.
Pencerahan datang ketika saya bertemu dengan jurnalis multitalenta: Mas Edhie Prayitno Ige. Dari beliaulah saya mendapat pelajaran tentang keikhlasan dalam menulis. “Tidak usah berharap bahwa tulisan kita akan dibaca orang. Menulis, ya menulis saja,” katanya kepada saya. Ekstrem!
Apakah pencerahan Mas Edhie serta-merta menggugah saya untuk
segera mengubah mimpi menjadi kenyataan? Setiap hari menulis? Tak! Seribu
alasan bisa saya ajukan, dan sah-sah saja. Namun, di balik seribu alasan yang
tidak saya ungkapkan itu ada musabab yang pasti: belum berhasil menge-0-kan
ekspektasi.
Hampir setengah tahun belakangan, guru saya yang lain juga
membuat iri: Uda Ivan
Lanin. Sarjana teknik kimia ITB dan magister teknologi informasi UI yang
menggandrungi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia itu menjelang akhir
tahun lalu berjanji untuk menulis setiap hari. Lalu ia menepati janjinya. Sejak
26 Desember 2022 hingga hari ini ia saban hari menulis di platform Medium.
Untuk mewujudkan mimpi panjang itu, haruskah saya berjanji
seperti Ivan Lanin? O, tidak! Terlalu berisiko. Saya paham betul, saya ini
bukan tipe orang yang suka berjanji. Sebelum berjanji, selalu saya dihantui
ketakutan ini: gagal menepati janji.
Jadi, kapan akan mulai merealisasikan mimpi “satu hari satu
tulisan”? Kapan-kapan, kalau Tuhan menghendaki. Tidakkah malu kepada segelintir
korban provokasi saya, yang sudah 3+ semester istikamah masing-masing
menetaskan satu tulisan per pekan dan sudah sembilan bulan rutin
menghiasi situs
web institusi mereka? Tak juga! Kalau malu, berarti saya belum berhasil
belajar menge-0-kan ekspektasi.
Ya, apa pun situasinya, ngeles is the best.
Dasar!
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar