Pukul 22.52, sepenggal pesan masuk: “Mohon sarannya, Pak.”
Permintaan itu tertulis sebagai takarir, menyertai sebuah dokumen bertajuk “Tidak Ada Alasan” yang dikirimkan ke beranda Klinik. Saya langsung menyambarnya. Fail dalam format Word itu saya buka, lalu saya konversi ke PDF.
Baru menginjak paragraf kedua penjelajahan mata saya, sudah muncul notifikasi pesan baru masuk ke beranda yang sama. Tepat berselang 5 menit dari kiriman sebelumnya. “Gelisah”, judul dokumennya. Saya buka dan konversi dokumen kedua menjadi PDF juga.
“Wah, sudah pada berburu Lailatulqadar, ya?” canda saya mengomentari kiriman dua dokumen itu.
Saya tuntaskan membaca “Tidak Ada Alasan”. Tentu, sambil membubuhkan coret-coretan sesuka saya. Lalu saya kirimkan balik hasil operasi tangan genit saya itu. Mata saya sudah gatal ingin beralih ke “Gelisah”, tetapi saya tahan. Saya perlu variasi kegiatan.
Ada syukur yang layak untuk saya kabarkan. Kehadiran dua tulisan itu sungguh menjadi penawar kejenuhan. Saya sendiri yang menciptakan kejenuhan itu. Dalam sebulan terakhir, saya selalu menghabiskan malam Minggu di luar kota. Dua kali yang pertama bersama istri, selebihnya saya sendiri.
Penjaga malam. Itu barangkali sebutan yang pas untuk peran yang saya lakoni. Benar-benar hanya malamnya yang saya jaga. Bukan keamanannya. Rumah tempat saya menginap ini selalu aman-aman saja. Sejak saya mulai mengenalnya 28 tahun silam, rumah ini tidak pernah mengalami gangguan keamanan. Kalau ancaman keselamatan jiwa, pernah. Itu terjadi ketika dilanda gempa bumi dahsyat pada 27 Mei 2006.
Sejak setahun sebelum gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter dan berpusat di Sungai Opak itu, rumah ini dihuni dua kakak ipar saya. Laki-laki dan perempuan. Kondisi kangmas istri saya itu yang sebulan terakhir membuat saya berkhidmat sebagai penjaga malam. Beliau sakit. Untuk memenuhi segala keperluannya membutuhkan bantuan orang lain. Mbakyu, adiknya yang tinggal serumah, tidak mungkin mengambil peran “perawat” itu. Melayani dirinya sendiri saja, dia kurang cakap.
Apa boleh buat, istri saya—sebagai adik bungsu—mesti mengambil alih peran itu. Sayangnya, domisili kami berjarak 105 kilometer dari tempat tinggal dua kakak itu. Apa boleh buat—lagi—hanya pada hari-hari libur kami dapat menunaikan peran itu. Sayangnya lagi, bukan perkara mudah bagi istri saya untuk membonceng sepeda motor sejauh 2 x 105 km dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Apalagi kalau berkendara sendiri! Apa boleh buat—lagi dan lagi—kiranya cukuplah saya mewakilinya.
Guyuran hujan sepanjang hampir 90% perjalanan semestinya cukup untuk membuat saya cepat-cepat merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Namun, seperti malam-malam “piket” sebelumnya, saya mengalami anomali ritme tidur. Bedanya, kali ini saya membawa laptop. Biasanya saya hanya bersanding ponsel. Mata saya tidak begitu betah berselancar di layar ukuran 5,5" x 3" itu.
Berkat kehadiran laptop, bergadang saya jadi tidak menganggur. Tulisan teman-teman yang mendarat di beranda Klinik itulah yang menjaga saya tetap terjaga dalam menjalani piket jaga malam ini. Nikmat ini tidak layak untuk tidak saya syukuri. Dan syukur ini kiranya layak untuk saya wartakan. Tentu, tulisan-tulisan itu tidak kuasa menjadi teman bergadang tanpa kehadiran laptop bersama saya. Sudah sepantasnya ganjaran-Nya mengalir ke jiwa-raga orang(-orang) baik yang menghadirkan laptop di hari-hari saya.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar