Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw |
"Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya.
Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho."
"Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan di Sam Poo Kong, nih."
Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan.
Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto. Saya tanyakan ke Google, waktu tempuh Mojokerto—Semarang 6 jam 39 menit. Itu belum menghitung waktu untuk pipis di rest area.
Saya segera berkabar kepada tiga mantan yang tinggal sekota: Mas Paryanto, Mas Triyono, dan Mbak SulistyaNINGsih. Siapa tahu, mereka juga kangen ziarah ke kelenteng peninggalan Laksamana Cheng Ho itu. Yang jelas, ketiganya bisa saya berdayakan kalau dua pelancong dari jauh—Mas Jack dari Jakarta, Om Yo dari Jember—itu tiba-tiba kena serangan lapha (lapar dan haus).
Patung Laksamana Cheng Ho di depan kelenteng |
Menurut estimasi Google, Om Yo tiba di Semarang sekitar pukul 16.51. Itu kalau tanpa istirahat. Belum lagi perjalanan ke Griya Paseban, yang agak nylempit itu. Sementara, Mas Jack juga harus menyesuaikan dengan jadwal kegiatan rombongan.
Sempat muncul alternatif: ketemu di penginapan Mas Jack dan rombongan. Hotel Aston Inn, Jalan Pandanaran. Malam.
"Bisa. Siap. Di atas jam 5 saya bebas," terang Mas Jack.
"Malamnya saya ada opening party," balas Om Yo.
Duh, ... jadi EO dadakan ternyata repot juga. Apa boleh buat. Saya mesti merapal mantra andalan: "Kalau Sang Pengatur waktu berfirman 'Jadilah!' maka jadilah pula pertemuan kami." Saya ambil keputusan: menemui Mas Jack di Sam Poo Kong. Saya kabarkan putusan MK (manut karepku) itu kepada ketiga teman di Semarang.
Kalau Om Yo bisa bergabung, itu bonus. Kalau gagal, tak perlu mengundang sesal. Apalagi bikin kesal plus sebal.
Pukul 15.16 Om Yo sudah sampai di Banyumanik. Sip! Selambat-lambatnya, 1 jam lagi sampai di penginapan. Peluang untuk bisa reuni tiga kota cukup terbuka.
"Aku sudah sampai di Sam Poo Kong, Mas," kabar Mas Jack, pukul 15.44.
Saya langsung lepas baju. Ganti memakai kaus oblong. Memang, saya menyimpan beberapa potong kaus oblong di loker. Jaga-jaga kalau ada keperluan pergi mendadak. Pakaian dinas saya pada hari-hari tertentu kurang nyaman untuk bepergian. Seperti pakaian dinas naib zaman dahulu.
Ngeeengngng ...! WinAir-100 melaju dari Srondol Wetan. Seperti biasanya, jam segitu lalu lintas Gombel cukup padat. Kaliwiru juga. Akpol, Kagok, Elisabet, terus ... sampai Kariadi. Puncak kemacetan terjadi di simpang empat Kaligarang.
Alhamdulillah. Pukul 16—entah lebih berapa menit—saya sampai di Sam Poo Kong. Entah dari arah mana, seseorang mencegat WinAir saya di belakang loket parkir. Orang asing. Bukan bule. Bukan Negro. Bukan albino. Asing yang saya maksud ialah tidak saya kenali. Stranger. Bukan foreigner.
Tetapi ia mengenali saya, tampaknya. Ia langsung menyapa saya, memuji WinAir saya. Mau tak mau, saya pun harus pura-pura sudah mengenalnya. Mas Jack, pasti.
Saya memarkir WinAir. Lalu kami duduk bersebelahan. Di pagar area parkir. Di tepi parit pembatas antara jalan dan kompleks Sam Poo Kong.
"Klik!"
Wajah Mas Jack dan saya tertangkap oleh kamera ponsel saya. Pukul 16.15, foto saya kirim ke WhatsApp Om Yo. Saya sematkan takarir, "Sudah kumpul. Menyusullah."
Om Yo baru tiba di penginapan 4 menit sebelumnya.
Membalas undangan saya, ia menulis pesan, "Sebentar, saya mandi dulu."
Demi mewujudkan pertemuan langka, Mas Jack rela ditinggal rombongannya. Bus meninggalkan kelenteng. Mas Jack bergeming. Seorang kawan berkenan menemaninya.
Berselang entah berapa menit, Om Yo datang. Kami segera berfoto bertiga. Perhatikan fotonya. Perhatikan secara saksama: ada tanda-tanda ia benar-benar sudah mandi atau tidak.
Mbak NING (duh!) datang belakangan. Dia bertelepon, bingung mencari kami. Tidak terendus keberadaan kami. Ternyata dia telanjur masuk ke area wisata. Tentu juga membayar tiket masuk. Rupanya dia lupa kalau acaranya reuni, bukan tamasya. Ha-ha.
Lengkaplah kami berempat mewakili empat entitas. Mbak Guru NING, eh, Lis mengabdi di sekolah negeri. Mas Guru Jack berbakti di sekolah Kristen. Om Guru Yo menjadi pelayan di sekolah Katolik. Saya berkhidmat di sekolah Islam.
Sesore kami saling "mem-bully" dengan bahan baku kisah asam-pedas-asin-manis masa sekolah dahulu. Tanpa terganggu oleh perbedaan keyakinan kami masing-masing. Gojek (bukan nama aplikasi ojek daring) kami begitu renyah. Canda tawa kami begitu gurih.
Saya kenal Om Yo sejak tinggal sekamar di asrama, 34—35 tahun yang lalu. Bersama empat teman sekamar, saya pernah dijamu makan-minum buka dan sahur komplet oleh keluarga Om Yo. Juga diantar ke masjid di dekat rumahnya, untuk menunaikan salat Tarawih.
Mbak Ning (ejaannya normal, sudah agak tenang) baru saya kenal 6 tahun belakangan. Padahal, sebelumnya saya pernah rajin ke sekolah tempat dinasnya.
Mas Jack, ... boleh jadi, kemarin sore itulah kali pertama kami bercakap. Selama 3 tahun bersama-sama menimba ilmu di "pedepokan" Sendang Lanang dahulu, seingat saya, kami belum pernah bertatap muka. Apalagi bertatap mulut, eh, kata.
Pertemuan yang teramat singkat tetapi tidak nir-pesan. Kami mantan anak-anak muda yang pernah menjalani nasib relatif sama dan (jangan diganti dengan "tetapi") sekarang menikmati takdir yang berbeda-beda. Namun, kami tetap Indonesia, yang tak canggung merawat kebinekaan. Tidak pernah menjadi mantan Indonesia.
Ups, sampai kembali berpisah, kami lupa menanyakan capres-cawapres pilihan kami nanti.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar