Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2023

Sudah Seperti Dukun?

Selepas magrib suatu hari. Hari dan tanggalnya, entah. Pun bulannya, saya lupa. Yang saya ingat hanya tahunnya: 2023. Saya sedang berkemas hendak pulang. Seorang lelaki muda menghampiri saya. Satpam kantor. Tampak sangat gugup. Tergopoh. Kalimat salam diucapkan. Tangan kanannya diulurkan ke arah saya. Segera saya jabat sepenuh erat, seperti biasanya. Ia menyeringai. "Lo, kenapa?" tanya saya, kaget. " Kejepit pintu gerbang, Pak," jawabnya cepat tapi dengan suara lemah. " Tulung, tangan saya ditambani, Pak," lanjutnya. Saya perhatikan tangannya, yang baru lepas dari jabatan saya. Lebam. Dua jari: tengah dan telunjuk. Jari tengah lebih parah. "Enggak berani, Mas. Saya enggak tahu pijat-memijat. Nanti bisa-bisa malah merusak posisi tulang atau ototnya." "Sudahlah, Pak, dibacakan doa apa saja. Saya percaya dengan njenengan ." "Waduh!" batin saya. Saya silakan ia menunggu di pos satpam. Saya seger

Hari Kebangki(ru)tan Nasional

Twibbon Harkitnas dengan foto Bung Tomo (kok bukan dr. Soetomo?) Apa kabar, bangsa Indonesia? Beberapa hari yang lalu saya mendapati Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 Tahun 2023. Lengkap dengan naskah pidato sambutan Menteri yang—dugaan saya—bertindak selaku Ketua Panitia Pusat. Di situs resmi Kementerian Kominfo . Pagi ini saya kembali menyambangi situs yang bersangkutan. Lenyap. Berkas dalam format PDF itu sudah tidak terlacak. Ketika saya ketik "Pedoman Peringatan Harkitnas PDF" di bilah pencarian, yang ditampilkan pedoman tahun 2022. Ke mana gerangan pedoman itu? Apakah ia turut ditahan oleh Kejaksaan Agung? Di dalam Pedoman disebutkan, upacara bendera peringatan Harkitnas dilaksanakan pada Senin, 22 Mei 2023. Semula, ketika membuka dan membacanya, saya sempat bertanya-tanya: kenapa tanggal 22, bukan 20? Apakah karena tanggal 20 bertepatan dengan hari Sabtu? Para narapraja tidak boleh terganggu liburannya sekadar untuk berupacara? Ah, par

Buntu Ide

Seorang sejawat menyebut nama saya dalam tulisannya. Demi memenuhi kewajiban, pagi itu (15/05/2023) dia menyetorkan sebuah tulisan ke institusinya. Panjangnya sepuluh kalimat. Isinya curhat. Dia bingung hendak menulis apa. Di situlah dia ingat pesan saya suatu ketika: pengalaman kesulitan menulis pun bisa menjadi cerita yang layak untuk ditulis. Sayangnya, dia berhenti di pengakuan bingung itu saja. Seandainya dia mengelaborasi kegundahannya, pasti panjang tulisannya akan berlipat ganda. Perasaan yang meliputinya menjelang tiba gilirannya menyetor tulisan adalah cerita menggelitik. Usahanya menggali ide dan menuangkannya dalam tulisan adalah cerita heroik. Suasana—lahir dan batin—yang mengiringi proses menulisnya adalah cerita epik. Kalau serangkaian pengalaman itu dikisahkan secara apa adanya, dengan balutan bahasa yang renyah, tak ayal akan menjelma cerita yang mengharu biru. Takut mengecewakan pembaca? Atau dibilang lebai? Atau dianggap tulisan remeh-temeh? Atau … dihantui seribu ke