"Mohon maaf, Bapak/Ibu. Saya terlambat mengirim tulisan."
Kalimat itu—atau ungkapan senada—sesekali tertulis sebagai takarir (caption), menyertai fail yang diunggah ke grup percakapan Telegram. Failnya berisi tulisan yang sulit dikategorikan genrenya. Tulisan itu diunggah untuk diperiksakan: dicari—kadang kala dicari-cari—penyakitnya, lalu diresepkan obatnya.
Grup percakapannya memang dinamai "Klinik Menulis". Klinik? Seram? Sekilas ya, begitu. Namun, sebenarnya penamaannya itu justru demi menghindar dari berbagai tuntutan. Sebelumnya pernah terpikir untuk memakai nama yang keren seperti "Kelas Menulis" atau "Akademi Menulis". Setelah dipikir-pikir, justru nama keren itu lebih menakutkan. Harus ada kurikulum yang terstruktur. Harus ada "pertemuan" terjadwal. Harus ada guru atau instruktur yang mumpuni, setidaknya tersertifikasi. Yang lebih menakutkan, (maha)siswa menulis demi tugas. Terjajah. Tidak merdeka belajar.
Kelahiran klinik itu dibidani oleh dua orang penulis pemula: seorang guru dan seorang kepala sekolah. Sekolahnya antara ada dan tiada. Nama dan izin operasional sudah ada. Gedung sudah ada, setidaknya persinggahan sementara sebelum gedung baru dibangun. Status "menganggur" itu barangkali membuat keduanya tidak nyaman. Dicarilah kesibukan: menulis.
Guru dan kepala sekolah itu bersepakat lalu berjanji: menulis secara rutin. Masing-masing membuat satu tulisan setiap pekan. Merasa sebagai pemula, mereka mencari mentor. Eits, lebai! Yang betul, sekadar teman curhat. Setiap pekan, mereka mengirimkan "karya tulis" itu kepada si teman curhat—yang juga banyak menganggur. Tulisan-tulisan itu dicoret-coret di sana-sini. Setiap coretan menandai "organ" tulisan yang terindikasi "sakit". Kadang juga disertai catatan-catatan. Itulah resep untuk mengobati penyakitnya atau sekadar untuk mempercantik tulisan.
Tulisan yang sudah dicoret-coret dikembalikan kepada penulisnya. Si penulis mengobati sendiri penyakit-penyakit pada tulisannya, lalu diperiksakan lagi. Kalau masih ditemukan penyakit, tulisan dicoret-coret lagi. Dikembalikan lagi. Diobati sendiri lagi. Diperiksakan lagi. Adakalanya—untuk tidak menyebut sering—satu tulisan menjalani pemeriksaan berkali-kali. Mirip pasien yang bolak-balik kontrol ke klinik.
Alih-alih kapok, kedua penulis pemula itu justru seperti ketagihan. Setiap pekan, dua tulisan singgah di jendela WhatsApp si teman curhat yang mendadak jadi "dukun tiban" itu. Setelah melewati pekan ke-23 "hubungan gelap" itu, salah seorang pasien punya usul: klinik dibuka untuk umum. Mbah Dukun sepakat. Terjadilah mutasi dari klinik privat di WhatsApp ke klinik umum di Telegram. Platform Telegram dipilih karena beberapa fiturnya tidak dimiliki WhatsApp. Grup percakapan yang dijadikan klinik diberi label "Klinik Menulis".
Mulai episode 24, kedua pasien mengirimkan tulisan-tulisannya ke Klinik Menulis. Lalu mereka mempromosikan klinik itu. Beberapa orang bergabung lewat jalur undangan. Saat ini anggota grup berjumlah sepuluh. Hingga 58 episode, yang aktif hanya dua pasien kawak itu. Mulai episode 59, bertambah satu: guru baru di sekolah yang sama dengan kedua pendahulunya.
Hingga tulisan ini dibuat, jumlah tulisan yang sudah menjalani "perawatan" di Klinik Menulis baru 149 judul. Tulisan dua pasien lama, masing-masing 69. Karya pasien baru, 11. Kalimat matematikanya, (2 x 69) + 11 = 138 + 11 = 149. Dari total 149 tulisan, yang 105 sudah tayang di blog sekolah mereka. Dari 105 itu, 69 judul sudah menjelma jadi sebuah buku antologi.
Buku antologi tulisan—sekali lagi, entah apa genrenya—dua pasien Klinik Menulis itu diberi judul Semai Benih Karakter Utama: Cerita Keseharian Sekolah Rintisan. Tulisan-tulisan itu memang hanya bercerita tentang kejadian-kejadian remeh yang muncul dalam aktivitas warga sekolah. Seorang murid jatuh ketika bermain perosotan di sekolah, misalnya. Lalu guru-guru dan teman-temannya besuk ke rumahnya. Dari situ muncul ide cerita, yang kemudian berkembang menjadi tulisan sepanjang lima halaman (17—21). Judulnya "Beri Waktu" .
Ada sesuatu yang khas pada semua tulisan itu. Penulisnya selalu berefleksi pada peristiwa yang memantik ide tulisan. Peristiwa-peristiwa remeh-temeh itu diperas hingga keluar "santannya": nilai karakter. Adakalanya suatu nilai luhur tampak sudah terpatri di dalam jiwa dan menjadi karakter subjek peristiwa. Peristiwa lain menunjukkan ada perilaku mulia yang sedang berkembang menuju kebiasaan. Ada pula sikap positif yang baru muncul sebagai benih karakter utama. Peristiwa yang lain lagi yang baru menggugah kesadaran: karakter apa yang mesti ditumbuhkan dalam situasi seperti itu.
Begitu kentara kejelian kedua penulis dalam memetik pelajaran (lesson learned) dari setiap kejadian yang disaksikan atau dialami. Begitu terasa hasrat mereka untuk menjadikan sekolah mereka persemaian karakter. Yang belum muncul ditumbuhkan. Yang baru tumbuh dikembangkan. Yang sudah berkembang dibiakkan. Yang sudah terpatri pada pribadi sebagian warga sekolah dilembagakan menjadi budaya sekolah.
Buku rekaman praktik pendidikan karakter berbingkai cerita itu tampaknya dimaksudkan sebagai salah satu strategi penyemaian. Pembaca kiranya akan menemukan insight sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Sejawat kedua penulis, yang baru maupun yang lama, jadi paham apa yang diarusutamakan sekolahnya. Orang tua murid dapat melihat secara jernih dan gamblang bagaimana sekolah putra/putrinya membangun karakter anak-anak sebagai fondasi pertumbuhan generasi saleh dan muslih—di samping cerdas, tentu. Lembaga penyelenggara bisa mengapresiasi secara objektif dan kritis, bagaimana relevansi antara model pendidikan yang dipraktikkan di sekolah binaannya dan visi-misi yang ditetapkan. Tidak kalah penting, bagi penulisnya sendiri, buku tersebut akan menjadi penasihat bisu: apa yang sudah mereka usahakan, apa yang sudah dicapai, apa yang mesti dilanjutkan, apa yang mesti diperbaiki, apa yang tidak boleh diulangi, dan seterusnya.
"Saya mengapresiasi buku itu. Memang sudah ada beberapa buku yang ditulis oleh guru lain [disebut unit sekolahnya; masih selingkung], tapi buku yang yang ditulis oleh ... [disebut nama kedua penulisnya] ini berbeda. Buku itu harus dicetak ulang. Semua siswa baru nanti harus diberi."
Ungkapan apresiasi berbuntut instruksi itu datang langsung dari pucuk pimpinan kedua penulis. Beliau menyampaikannya di forum yang dihadiri para pimpinan mulai dari level top management, middle management, hingga unit pelaksana operasional sekolah-sekolah selingkung.
Belum terdeteksi sejauh mana jangkauan efek dari pernyataan sebagaimana dikutip dalam empat kalimat itu. Kalimat ketiga dan terakhir mungkin segera ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Kalimat pertama mungkin langsung disambut tunai dengan senyum yang konturnya bervariasi. Kalimat kedua? Akankah pernyataan berbau mbandhing-mbandhingke dua misi penulisan itu sanggup menimbulkan ripple effect: riak kecil dalam operasi senyap penerbitan buku yang "berbeda" itu diikuti gelombang serupa yang makin luas dan masif?
"Maaf, terlambat." Jangan-jangan efek yang ditimbulkan hanya berujung pada respons verbal seperti ini. Permohonan maaf atas keterlambatan seperti itu memang sering muncul di Klinik Menulis. Namun, di sana kalimat itu tidak pernah datang sendirian. Bersamanya selalu hadir sebuah karya. Tulisan itu disetor melampaui tenggat pengiriman yang mereka tetapkan sendiri. Mereka memang terlambat, tetapi tidak mengurungkan niat.
Duh, maaf. Tulisan ini juga harus terlambat terbit sekian menit. Prosesnya sempat tersendat beberapa saat. Akibat terhambat oleh salah seorang pasien Klinik Menulis yang hendak bersambat. Biarpun terlambat, alhamdulillah tulisan ini berhasil tamat.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar