“Anak-anak lebih manut kepada gurunya. Karena orang tuanya jarkoni, bisa ngajar ora bisa nglakoni,” seloroh ibu seorang murid kelas 1.
Sebelumnya, beliau menyatakan, “Perkembangan itu tidak hanya didapatkan anak-anak, tapi juga menular di rumah.”
Ibu yang—saya tebak—seusia istri saya belasan tahun silam itu menyampaikan pidato sambutan mewakili orang tua teman-teman anaknya. Rabu (21/06/2023) pagi itu, sekolah anaknya menggelar Ekshibisi Kreativitas Siswa. Menu acaranya—seperti terpampang pada layar panggung—terdiri dari gelar karya, pentas, dan peluncuran buku. Kegiatan ini digelar untuk menandai akhir tahun ajaran. Dua hari berikutnya, anak-anak akan menerima buku laporan hasil belajar. Laporan itu sekaligus menentukan status anak-anak: naik ke kelas 2 atau mengulang belajar di kelas 1.
Ruang kelas disulap menjadi panggung jadi-jadian. Meja-kursi dikeluarkan. Beberapa lembar karpet dihamparkan menutup permukaan lantai. Sehelai layar panggung terbentang di dinding sisi timur, menutup sepertiga panjangnya di bagian tengah. Di tepi utara ruang, anak-anak duduk berjajar dalam beberapa saf. Di tepi barat dan selatan, duduk berjajar satu lapis para orang tua murid. Komposisinya didominasi kaum ibu. Hanya tampak tiga orang bapak yang hadir di antara mereka.
Peluncuran buku menjadi sajian acara kedua setelah pembukaan. Dua buku baru diluncurkan sekaligus. Satu buku memuat 27 judul tulisan karya anak-anak. Masing-masing menceritakan pengalaman penulisnya dalam mengikuti kegiatan sekolah. Anak-anak memilih sendiri kegiatan yang berkesan bagi mereka. Pengalaman mereka juga diceritakan menurut perspektif masing-masing. Kegiatan yang sama menghasilkan cerita dan judul tulisan yang berbeda. Ada yang mengembangkan cerita pengalamannya menjadi beberapa halaman. Ada yang baru menghasilkan beberapa baris. Semuanya tulisan tangan.
Buku yang satunya lagi karya dua orang guru—tepatnya, seorang guru dan seorang kepala sekolah. Seluruhnya ada 69 judul tulisan. Buku kedua ini juga menceritakan pengalaman kedua penulisnya. Semua pengalaman itu mereka pungut dari aktivitas keseharian sekolah. Uniknya, kedua penulis selalu menjadikan nilai-nilai karakter sebagai angle setiap tulisan. Tidak mengherankan kalau buku ini mereka beri judul Semai Benih Karakter Utama: Cerita Keseharian Sekolah Rintisan. Kedua penulis jeli mengidentifikasi karakter positif yang ditampilkan pelaku peristiwa sehari-hari di sekolah. Berbagai karakter itu ada yang sudah berkembang dan ada yang baru mulai tumbuh pada diri tokoh cerita. Semua diapresiasi sebagai benih karakter utama yang layak untuk disemai. Sekolah digarap sebagai lahan penyemaian benih-benih pekerti luhur itu.
Tampilan berikutnya, tujuh anak unjuk kecakapan membaca Al-Qur’an. Mereka secara bergiliran membaca halaman sesuai dengan capaian terakhir pembelajaran masing-masing. Meski berbeda-beda dalam hal capaian belajar, ketujuh anak itu menunjukkan standar yang sama: tartilnya, kefasihannya, dan lagunya. Halaman buku belajar mengaji atau mushaf Al-Qur’an yang sedang dibaca oleh penampil juga ditayangkan pada layar proyektor. Hadirin bisa memeriksa ketepatan bacaan anak-anak.
![]() |
Unjuk kecakapan membaca Al-Qur'an |
![]() |
Unjuk hafalan hadis |
![]() |
Penyerahan penghargaan kepeloporan karakter |
![]() |
Kreasi gerak dengan iringan lagu "Di Sini Senang" |
![]() |
Tebak tanggal lahir oleh Daffa dan Hafidz |
Seusai tujuh anak tampil membaca Al-Qur’an, saya
meninggalkan acara. Saya telanjur membuat janji pertemuan dengan dokter di
sebuah rumah sakit, lumayan jauh dari arena ekshibisi kreativitas siswa itu.
Sebelumnya saya sempat menyindir, “Kok sepertinya tidak ada syuting acara
ini, ya?”
Sorenya saya mendapat kiriman video dokumentasi kegiatan.
Saya putar. Duh, betapa kecewanya saya! Gambarnya terjungkir 90 derajat ke
kanan. Saya harus berganti perangkat pemutar video yang menyediakan fitur
pengaturan orientasi layar video. Saya tonton video itu sampai detik terakhir.
Berikut ini tangkapan layar beberapa adegannya.
Kualitas video hasil rekaman kamera ponsel itu
menyempurnakan kesan amatiran pada kemasan acaranya. Sudah panggungnya
panggung-panggungan, masih ditambah video dokumentasinya dibuat melalui syuting-syutingan.
Secara teknis, ekshibisi tutup tahun ajaran ini betul-betul dikemas ala
kadarnya. Padahal, yang digelar adalah hasil pembelajaran autentik yang laik
apresiasi dan sarat inspirasi.
Saya pun gagal mengusir perasaan kecewa. Betapa tidak! Saya
kehilangan kesempatan untuk menyaksikan aksi anak-anak secara langsung. Itu
yang saya sayangkan.
Perkara kemasan acaranya yang terlalu minim polesan teknik
dan montase, biarlah itu menjadi topik perbincangan para pihak yang empunya
acara. Boleh jadi, di era disrupsi gaya hidup ini, memang masih ada pandangan
yang mengutamakan isi daripada kulit.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar