Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2021

Labu Madu "Sumber Mirah"

Pracimantoro, 24 Desember 2018. Selepas magrib. Gerimis kecil masih belum jemu. Membasahi bumi kelahiran saya. Jeng Mantan mengajak saya makan di luar. Tidak lazim. Kalau lagi berlibur di rumah mertua, biasanya dia suka bereksperimen di dapur. Ya, eksperimen. Karena tidak jarang terjadi error. Kali ini dia ingin mencicipi kuliner khas kampung halaman mantannya. Saya tawarkan warung nasi tiwul. Tidak tertarik. Memang, lidahnya kurang bersahabat dengan nasi gaplek. Alternatif kedua saya tawarkan. Resto Sumber Mirah . Dekat. Di sebelah timur kampung kami. Milik teman sekolah. Seangkatan waktu SMP dulu. Beberapa kali pulang kampung, saya gagal menjajal menunya. Terbentur kesempatan. Awalnya saya ragu. Tidak gampang mengajak Jeng Mantan bertemu teman sekolah saya. Maklum, dia pencemburu. Dan sadar, mantannya ini pensiunan Arjuna (haha ... sila tertawa). Di luar dugaan, dia setuju. Padahal saya sudah bilang, mungkin nanti bertemu juragannya. Yang teman sekolah saya waktu SMP itu. Yang cantik

Merindukan Cetak Biru Pendidikan Nasional

Peta jalan itu memicu kegaduhan. Fenomena ini tidak jauh berbeda dari pengalaman sementara orang ketika bepergian ke suatu tempat yang belum dikenali secara pasti rutenya. Pada era sekarang makin banyak orang mengandalkan jasa peta digital yang aplikasinya bisa diinstal di telepon pintar. Aplikasi canggih ini memang cukup memanjakan. Hanya dengan memasukkan alamat yang hendak dituju, pelawat akan dipandu menyusuri rute menuju alamat tersebut. Tak perlu repot-repot berhenti di sana sini untuk bertanya. Efisien. Di balik kecanggihannya, adakalanya aplikasi digital membuat penggunanya kesal. Alih-alih menghemat waktu dan jarak tempuh, kadang-kadang pengguna peta virtual itu justru dibawa berputar-putar tak kunjung sampai ke alamat. Bahkan, lebih tragis lagi, ada yang perjalanannya berujung di tempat angker, kuburan misalnya. Dalam situasi demikian, wajar jika penggunaan jasa peta digital berbuntut kekesalan. Tak aneh pula jika kekecewaan itu dilampiaskan dengan gerutu, caci maki, umpatan,

Ketika Semua Harus (Bisa) Menulis

“Halhaaah ... yang penting kamu itu nulis!”  Begitu, komentar salah seorang guru saya atas keputus(asa)an saya. Tiga huruf di dalam kurung itu opsional: boleh dipakai, boleh juga tidak dipakai. Ada unsur keputusasaan, memang. Akibat kegagalan saya untuk meyakinkan seseorang. Bahwa argumentasi di dalam prosposal saya benar. Secara empiris. Pun solusi yang saya tawarkan. Rasional. Prospektif. Penolakan atas proposal nakal itu kemudian mengantarkan saya ke sebuah keputusan. Bulat. Memutus rantai ritual akademik.  Yang penting menulis. Itulah pengakuan jujur dari guru saya itu. Memang, kesimpulan saya, mata rantai yang saya tampik itu beraroma “yang penting menulis”. Tidak harus “menulis yang penting”. Bahkan, praktiknya bisa lebih parah lagi: yang penting setor tulisan. Entah karya sendiri atau belian. Semua harus menulis. Fardu ain ini sekarang tidak hanya berlaku sebagai ritual untuk memperoleh titel akademik terentu. Syariatnya sudah merambah ke dunia kerja. Menjadi syarat untuk kenaik