Pak Tom menyiapkan pupuk |
Maksud hati hendak periksa di klinik keluarga. Pagi-pagi saya sudah berkirim pesan tertulis ke nomor WhatsApp klinik. Saya menanyakan apakah klinik buka atau libur. Hari itu, Jumat (02/06/2023) adalah hari cuti bersama. Semestinya saya periksa Kamis, sehari sebelumnya, tetapi bertepatan dengan hari libur nasional. Dapat dipastikan pelayanan klinik pun libur. Obat yang diberikan oleh klinik pada pemeriksaan pertama, Senin (29/05) sudah habis pada Rabu malam. Sementara, keluhan yang sempat mereda selama tiga hari pengobatan itu mulai kambuh lagi sejak Kamis sore.
Hingga menjelang pukul sepuluh, pesan saya tidak terbalas. Mungkin juga belum dibuka. Centangnya sudah dua, tetapi belum biru. Saya tidak bisa memastikan apakah centang biru diaktifkan atau tidak. Yang jelas, hingga saya menulis kalimat ini, centang dua di jendela percakapan itu tak kunjung biru juga.
Kalah cacak menang cacak saya berangkat. Bertemu dokter atau tidak, setelah dari klinik sekalian saya akan salat Jumat di sebuah masjid primadona baru di kawasan Semarang atas. Saya sendiri menemukan tiga daya tarik pada masjid baru itu. Pertama, namanya. Kedua, sumber biaya pembangunannya. Ketiga, arsitekturnya, termasuk desain interiornya. Kata orang-orang, seantero ruangan masjid juga diliputi aroma wangi elegan. Saya tidak bisa membuktikan kesahihannya.
Sampai di depan klinik, saya mendapati pengumuman terpampang di pintu pagar. Seperti sudah saya duga, pelayanan klinik libur. Tidak mengapa. Toh saya masih bisa menunaikan hajat kedua: salat Jumat di masjid baru.
Saya langsung putar balik. Di tengah perjalanan dari klinik ke masjid, mendadak saya bimbang. Kalau saya langsung ke masjid, rasanya masih terlalu pagi. Sebenarnya tidak ada salahnya berangkat Jumatan lebih awal. Kata para pendakwah, itu berpeluang mendapat pahala lebih besar. Namun, justru petuah para ulama itu membuat saya takut. Bagaimana kalau begitu tiba di masjid, saya langsung berjumpa dengan orang yang mengenal saya. Nanti dia menyangka saya orang yang sangat saleh. Kan enggak keren, kesalehan hanya dalam sangkaan semata!
Akhirnya saya terus ke sekolah tempat saya pernah mengabdi. Begitu masuk, saya tidak hanya bertemu dengan satpam, tetapi juga Pak Tom.
"Enggak libur, Pak?" tanya saya.
"Libur, Pak. Tadi cuma menyirami tanaman. Kasihan kalau kehausan," jawabnya.
Bukan sekali ini saja saya mendapati Pak Tom tetap hadir di sekolah pada hari libur. Sudah beberapa kali saya mendapati hal serupa sebelumnya.
Ketika sekolah libur, "murid-murid" Pak Tom memang tidak ikut libur. Berbagai jenis tanaman yang menghijaukan, menyegarkan, dan mempercantik sekolah itu tetap "masuk" dan minta "diajar". Apalagi tanaman yang tidak tahan kering, pasti "pingsan" kalau tidak mendapat asupan air sehari saja.
Sekalipun tidak mengenyam pendidikan di bidang pertamanan, perkebunan, atau pertanian, Pak Tom pasti memahami tabiat tumbuhan. Ia dilahirkan dan dibesarkan di desa. Namun, pasti bukan itu yang membuat Pak Tom rela tidak libur di hari libur. Lalu apa?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar