Albert Einstein, fisikawan teoretis kelahiran Jerman (14 Maret 1879—18 April 1955) |
Pagi itu Albert Einstein terjadwalkan memberikan kuliah di sebuah universitas. Sejak mereka cipta teori relativitas, sang jenius itu memang laris diundang ke berbagai universitas. Para profesor (yang terhormat maupun yang kehormatan), para doktor (yang asli maupun yang HC [hanya caosan]), para master dan termagis, eh, magister, para sarjana tua dan sarjana muda, serta para mahasiswa jalur seleksi tes maupun mandiri yang menggeluti fisika kebelet menyimak teori baru itu langsung dari inventornya.
Sopir pribadinya sudah tiba di rumah Einstein. Uluk salamnya tidak mendapat sahutan. Pintu diketuk hingga tiga kali tiga, tidak ada respons dari dalam rumah. Akhirnya sang sopir memukul keras-keras kentongan bambu petung yang menggantung di sudut teras. Titir. Yang datang bukan majikannya, melainkan para tetangga yang kaget dan gugup mendengar alarm bahaya itu.
Akhirnya, kentongan dilepas dari gantungannya lalu dipukul titir lagi di dekat lubang angin kamar sang jenius. Para tetangga masih bertahan duduk-duduk di depan pintu. Mereka mencemaskan keadaan Einstein. Setelah pintu terbuka dan tuan rumah keluar tanpa cedera apa pun, mereka baru beranjak pulang.
Sambil mengucek mata, sang jenius berkata kepada si sopir, "Kacau, Mas. Masih ngantuk banget. Semalam saya nonton wayang sampai menjelang subuh."
"Lha, gimana, Tuan? Apa boleh saya gantikan?" sahut si sopir.
"Memangnya kau siap?"
"Kalau sekadar mengulang kuliah yang sudah-sudah, insyaallah siap."
"Boleh dicoba kalau begitu."
"Asal, Tuan mau bertukar peran. Nanti Tuan pura-pura jadi sopir saya, ikut masuk auditorium, dan duduk di kursi barisan belakang, seperti yang saya lakukan selama ini."
Deal!
Sebelum turun dari mobil, Einstein dan sopir bertukar tempat. Si sopir pindah ke jok belakang, tuannya pindah ke jok depan. Einstein keluar dari pintu kanan depan lalu membukakan pintu kiri belakang. Sopir turun menenteng koper kulit, yang sejurus kemudian pindah ke tangan sang majikan.
Dikawal beberapa orang panitia, Einstein mengantar sopir sampai ke kursi narasumber yang tersedia di panggung. Koper ditaruh di meja di depannya. Sang jenius lalu berjalan menuju kursi di barisan paling belakang. Maksud hati, ia hendak merebahkan badannya ke sandaran kursi untuk nyaur utang tidurnya semalam. Konon ia biasa tidur lebih dari sepuluh jam per hari.
Berulang-ulang Einstein berusaha memejamkan mata. Namun, tak sedetik pun ia berhasil terlelap. Rasa penasaran dan waswas berkecamuk di pikirannya. Penasaran: apa iya sopirnya bisa berakting memerankan dirinya, yang ilmuwan world first class. Waswas: kalau sopirnya gagal macak Einstein, hancurlah reputasinya sebagai fisikawan top.
Tidak terasa, Einstein gadungan tuntas memaparkan seluk-beluk teori relativitas. Runtut. Tidak satu pun lembar transparansi tercecer atau terbalik urutan penayangannya lewat OHP (maaf, anak jaman now dijamin tidak kenal dengan teknologi proyeksi tercanggih pada zamannya ini). Seketika hilanglah kantuk sang ilmuwan. Einstein asli menjadi penyimak paling serius di antara semua audiens. Kalau yang lain menyimak sekadar untuk memahami, Einstein menyimak lebih saksama untuk memverifikasi paparan sopirnya. Ketika Einstein palsu menyudahi presentasi, Einstein asli tak sungkan mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi, tanda puas dan bangga, bersama audiens seisi ruangan memberikan aplaus.
Tibalah sesi tanya jawab. Sejumlah peserta mengajukan pertanyaan. Semua pertanyaan pernah muncul dalam kuliah-kuliah di kampus-kampus sebelumnya, kecuali satu pertanyaan. Semua pertanyaan, kecuali satu yang baru itu, dijawab si sopir dengan sempurna. Ia hafal jawaban-jawaban yang sering didengar dari majikannya. Untuk satu pertanyaan baru itu, ia belum tahu jawabannya.
"Aha. Untuk pertanyaan sesimpel ini, tidak perlu saya sendiri yang menjawabnya. Sopir saya saja dapat menjelaskannya secara gamblang," kata si sopir, lalu menyilakan "sopirnya" maju menjawab.
***
Ganti scene.
Suasana wayangan dengan dalang Ki Bayu Aji Pamungkas |
Bayangkan Anda duduk di antara para penonton wayang di barisan paling belakang seperti tampak pada foto. Jarak Anda dengan kelir berpuluh-puluh meter. Dapat dipastikan, Anda tidak bisa melihat wajah ki dalang. Andaipun Anda berdiri, sementara orang-orang di depan Anda tetap duduk, yang kelihatan paling-paling hanya bagian belakang blangkon ki dalang.
Ketika Anda berdecak kagum menyaksikan gerakan-gerakan akrobatik Cakil atau Anoman di kelir, siapa yang Anda puji? Pasti bukan Cakil atau Anoman, melainkan dalangnya. Penonton pasti juga tidak mengenal satu per satu nama-nama para niyaga yang piawai memainkan orkestra gamelan mengiringi pertunjukan wayang semalam suntuk itu. Anda hanya memuji, ki dalang punya perangkat gamelan yang bagus dan tim pengrawit yang andal.
Dalang wayang kulit tidak kemaruk menampakkan wajahnya. Ia menampilkan ketangkasannya dalam gelar sabet melalui atraksi wayang-wayangnya. Ia mengejawantahkan penguasaan tata gending melalui kepiawaian dan kekompakan para niyaga dan pesinden dalam memainkan gamelan dan menyanyikan berbagai tembang. Semua penampilan—wayang di depannya dan pengrawit di belakangnya—yang menakjubkan itu sama sekali tidak mengurangi nama besar ki dalang. Justru sebaliknya, aksi mereka menjadi tolok ukur kehebatan sang dalang.
Yang tidak kalah penting untuk dicatat, dalang tidak jarang hanya menggunakan isyarat (sasmita) untuk mengomando anak buahnya: regu pengrawit. Sasmita tersebut dapat diungkapkan secara verbal atau melalui kombangan, dhodhogan, keprakan, dan gerakan wayang. Ketika minta gending Ladrang Lere-Lere untuk mengiringi kemunculan Sengkuni, misalnya, ki dalang cukup mencandrakan: "Praptanya Sang Rekyana Patih Harya Suman sajak ngemu wigati, lampahnya goreh kadya keplesed-pleseda." Dengan sigap, kru pengrawit menyajikan gending yang dimaksud.
Bayangan wayang yang jatuh di kelir dan membentuk siluet dilihat dari belakang kelir. |
Bahkan, dalam versi aslinya, pertunjukan wayang kulit ditonton dari balik kelir. Penonton hanya melihat siluet yang terbentuk oleh bayangan wayang yang jatuh di kain layar. Ukuran siluet dapat diatur dengan mengatur jarak wayang ke blencong. Makin dekat jarak wayang ke blencong, makin besar bayangan yang terbentuk di kelir. Ketika wayang menempel kelir, bayangannya sama besar dengan wayangnya. Karena yang ditonton bayangannya itulah, konon, boneka pipih itu disebut wayang.
Penonton tidak melihat aksi tangan, kaki, dan mulut ki dalang. Wajahnya, walaupun menghadap ke penonton, juga tidak tampak. Bahkan bayangan kepalanya pun tidak ada di kelir. Blencong tergantung tepat di atasnya. Seluruh cahayanya disorotkan ke kelir sehingga kepala dalang di bawahnya luput dari pancarannya.
Dalam pertunjukan wayang versi klasik itu, aksi para niyaga dan pesinden juga tidak terlihat oleh penonton. Hasil kerja mereka hanya dinikmati lewat alunan suara gending-gending yang selalu selaras dengan adegan wayang. Lagi-lagi, performa regu pengrawit itu hanya akan melambungkan nama ki dalang. Jika dalang Ki Bayu Aji punya pengendhang hebat, penonton bilang, "Pengendhange Ki Bayu hebat!" Ketika Ki Sigid Ariyanto punya pesinden dengan suara emas, penonton memuji, "Sindhene Ki Sigid hebat!"
***
Apa hubungan antara sopir Enstein dan dalang? Apakah si sopir mendadak jadi "Einstein" gara-gara tuannya karipan setelah menonton wayang itu?
Entahlah. Silakan selami sendiri untuk memungut ilmu kepemimpinan dari dua cerita—satu anekdot dan satu reportase—tadi. Saya hanya tahu, Einstein tidak kehilangan reputasi akibat memercayakan tugas kepada sopirnya. Saya hanya tahu, dalang tidak kehilangan pengakuan akibat bersembunyi dari sorotan cahaya blencong di balik kelir.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar