20 Jun 2025

Panggung Autentisitas

Opening speech dalam empat bahasa. Urut dari kanan: Elora (Indonesia), Fatih (Inggris), Qaleed (Jawa), dan Nadia (Arab).

Empat anak—dua putri dan dua putra—naik ke panggung. Yang putri mengenakan blus panjang putih, berdiri di pinggir kiri dan kanan. Yang putra, diapit kedua teman mereka yang putri, berbusana serbahitam: celana, kemeja, dan peci. Tidak seragam, hanya sewarna.

Empat anak itu muncul pertama di panggung untuk menyampaikan sambutan pembuka, semacam atur pambagya. Masing-masing memegang mikrofon nirkabel.

Pertama-tama mereka menyapa hadirin dengan salam islami. Ups, gagal! Belum kompak. Salah seorang personel belum mengangkat mik ke depan mulutnya. Ucapan salam diulang. Berhasil! Keempat-empatnya mengucapkan salam secara serentak. Seluruh hadirin menjawabnya secara serempak pula.

Ternyata anak yang sebelumnya terlambat mengangkat mik itu vokalnya paling kencang. Ia juga tampil paling ekspresif dan santai. Senyumnya terus mengembang sepanjang penampilannya di panggung. Ia bahkan tidak sungkan menggoyang-goyangkan badan dan menggerak-gerakkan kaki dan tangannya.

Empat bocah polos itu kemudian bergantian menyapa hadirin. Elora, yang berdiri paling kiri, mengawali dengan sambutan berbahasa Indonesia. Fatih, kedua dari kiri, menyusul dengan sambutan berbahasa Inggris. Sambutan ketiga, dalam bahasa Jawa, disampaikan oleh Qaleed. Terakhir, Nadia memungkasi dengan sambutan dalam bahasa Arab. Sebelum turun dari panggung, Elora menyilakan tim paduan suara untuk naik ke pentas.

Sekitar 30 anak berbaris satu demi satu menuju pentas. Sampai di panggung, mereka langsung membentuk tiga baris ke samping. Dua barisan putra di belakang satu barisan putri. Busana mereka seragam. Baju batik berlengan panjang dengan warna dasar hijau muda. Celana panjang (putra) dan rok panjang (putri) berwarna hijau, sedikit lebih tua daripada warna baju. Anak-anak putri mengenakan kerudung sewarna dengan rok mereka. Seorang anak putri berdiri di sudut kiri depan panggung, menghadap ke tiga barisan temannya. Tampaknya dia dipercaya sebagai dirigen.

Azza (duduk, menoleh ke kanan) menjalani ujian pemahaman tajwid usai melantunkan tilawah Al-Qur'an di awal acara.

“Had...,” suara keras bocah perempuan terdengar dari pelantang. Berhenti di satu suku kata itu saja. Tidak kunjung berlanjut.

Muncul seorang pria dewasa berpeci, membawa dua tiang mik dan menatanya di depan panggung. Seorang bocah laki-laki menyusul, membawa dua mik, lalu memasangnya di kedua tiang. Kepala mik menghadap ke panggung, tempat kelompok paduan suara berdiri.

“Hadirin dimohon berdiri,” aba-aba pembawa acara. Suaranya sama dengan suara yang terpenggal sebelumnya.

Lagu “Indonesia Raya” mengalun lancar. Bunyi vokal paduan suara tenggelam oleh bunyi instrumen musik pengiring. Barangkali dua mik di depan panggung tidak mampu menyerap suara anak-anak yang menyanyi. Hingga satu stanza lagu kebangsaan berakhir, yang terdengar oleh telinga saya hanya bunyi instrumen pengiringnya.

“Hadirin dipersilakan duduk kembali,” aba-aba pembawa acara.

Ups, lagi-lagi terlalu dini. Hadirin batal duduk. Masih ada satu lagu yang akan dinyanyikan oleh tim paduan suara: “Mars Hidayatullah”. Yang hadir mesti tetap berdiri khidmat sebagai ekspresi sikap hormat.

“Hadirin dipersilakan duduk kembali,” aba-aba ulang dari pembawa acara.

Kali ini bukan berita bohong. Hadirin benar-benar sudah boleh duduk. Regu paduan suara berbaris satu-satu meninggalkan panggung. Urut dari barisan paling belakang. Dua bocah lelaki sigap memindahkan tiang mik ke atas panggung. Tentu, miknya tetap terjepit di ujung tiangnya masing-masing.

Dua anak—satu putri, satu putra—ganti naik ke panggung. Yang putri menempatkan diri di depan mik sebelah kiri, yang putra di kanan. Eits, terbalik. Keduanya lalu bertukar posisi. Setengah berlari. Tawa kecil meningkahi aksi mereka.

“As-salāmu ’alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh,” ucap keduanya serentak. Yang putra sambil membungkukkan badan, mendekatkan mulutnya ke mikrofon.

Seorang bocah berbaju putih, bercelana hitam, dan berpeci hitam lari ke atas panggung. Dengan sigap ia mengatur tinggi mik hingga sesuai dengan tinggi badan pemakainya. Giliran anak putri yang berdiri di sebelah kanan beraksi. Kedua lengannya dikepak-kepakkan seperti hendak terbang. Ah, rupanya dia mengirim pesan: miknya ketinggian. Seorang pria, yang sebelumnya menata tiang mik di depan panggung, datang membantu.

Kemudian Daffa (kelas 3) dan Aya (kelas 2) bergantian bicara. Mereka didaulat sebagai pembawa acara (MC—master of ceremony). Kata-kata mereka mengalir lancar. Namun, adakalanya tersendat juga. Intonasinya cenderung datar. Bahkan artikulasinya kadang samar. Daffa dan Aya sama-sama masih cadel. Bunyi [r] belum terlafalkan secara sempurna.

Lebih dari sekadar aspek wicara, kedua MC itu sesekali bertingkah tidak sewajarnya MC di panggung-panggung pertunjukan. Aya, misalnya, sempat bikin ulah. Ada sesuatu yang mengganggu di balik kerudungnya. Dia lalu mengempit naskah yang dibawanya dengan kedua pahanya. Tangan kanannya memegangi kerudung sebelah kiri. Tangan kirinya merogoh bahu yang terlindungi kerudung itu. Entah, apa yang perlu diperbaiki posisinya.

Ketua Panitia, Ridho (kelas3), menyampaikan sambutan.

Sajian demi sajian silih berganti ditampilkan. Ada tausiah dari dai cilik Aya—sepertinya anak yang sama dengan salah seorang MC—yang mengangkat tema “Bijak Bermedsos”. Ada tari “Menanam Jagung” yang dibawakan oleh delapan gadis imut. Anak-anak peserta ekstrakurikuler rebana menampilkan hadrah. Enam gadis menyuguhkan tari tradisional dari Pariaman: Indang alias Dindin Badindin. Ada drama semikolosal “Pertempuran Surabaya”. Ada tari “Gerak Berkumpul”. Ada penampilan tembang berbahasa Jawa “Padhang Bulan” dan lagu berbahasa Inggris “Something Just Like This”.

Dari sekian atraksi yang ditampilkan, tidak satu pun saya nilai layak untuk diikutsertakan dalam ajang lomba. Semuanya tampil ala kadarnya. Anak-anak yang menari tidak menyuguhkan gerak gemulai selayaknya penari. Yang menyanyi tidak memamerkan nada, irama, dan warna suara yang memanjakan telinga. Yang bertablig tidak mengaduk-aduk emosi religiositas atau mengocok perut jemaah. Andai mereka tampil dalam sebuah kompetisi dan saya menjadi jurinya, saya akan menilai mereka dengan menutup mata. Masing-masing saya beri nilai akhir dengan rumus yang sama: 10% dari nilai yang diperoleh juara harapan III.

Beruntung, saya menyaksikan atraksi panggung mereka bukan sebagai juri. Sepanjang menonton aksi mereka lewat live streaming YouTube, saya hanya memosisikan diri sebagai orang yang pernah punya anak-anak—biologis dan pedagogis—seusia mereka. Bahkan lama-kelamaan saya mengenang sederet pengalaman ketika menjalani masa kanak-kanak sebaya mereka.

Saya pernah ditunjuk menjadi anggota regu paduan suara. Setiap hari kami dilatih: pagi, siang, dan sore. Kami dibuatkan seragam khusus. Putra, atasan batik dan bawahan putih. Putri, sebaliknya: atasan putih, bawahan batik. Lalu, pada hari dan tanggal yang ditentukan, kami diangkut ke sebuah gedung pertemuan di pusat kota kecamatan. Kami diadu unjuk kebolehan olah vokal dengan tim-tim dari sekolah lain sekecamatan. Kalah. Nama sekolah kami tidak disebut dalam pengumuman juara. Di antara kami—murid-murid dan guru-guru—ada yang menangis kecewa, ada yang tersipu menanggung malu, ada yang cuek tanpa secuil pun perasaan berdosa.

Pada kesempatan lain, saya didapuk menjadi pemeran salah satu tokoh dalam sandiwara berbahasa Jawa. Sama, kami dilatih setiap hari selama berminggu-minggu. Pada hari H kami dibawa ke gedung yang sama. Diadu lagi dengan kepiawaian akting teman-teman dari sekolah lain. Kalah lagi! Ada yang dituding sebagai biang kekalahan. Ada yang murung dirundung kekesalan.

Saya, bersama dua orang teman, juga pernah dipercaya mewakili sekolah kami dalam lomba cerdas tangkas. Julukan lomba ini bermacam-macam. Kadang disebut lomba cerdas cermat. Kadang juga disebut lomba cepat tepat. Entah, mana yang menjadi nama resminya. Regu kami kalah di babak penyisihan. Kami bertiga santai dan tenang-tenang saja. Namun, di dalam mobil omprengan dalam perjalanan pulang, kami menjadi sasaran gerutu Bu Guru.

Sungguh mujur, anak-anak yang unjuk krida dalam “Ekshibisi Akhir Tahun” yang digelar sekolahnya pada Kamis, 19 Juni 2025, itu menemu nasib berbeda. Mereka diberi peran, dilatih dan dibimbing menjalankan perannya, lalu dipercaya untuk menunaikan perannya sesuai dengan kapasitas dan capaian maksimal usahanya masing-masing. Bahkan mereka berani berakting di luar skenario, menanggapi rangsangan situasi dan kondisi yang muncul tak terduga.

Mereka bebas dari target untuk menang dan dinobatkan sebagai juara. Mereka tampil lepas, tanpa dihantui bayang-bayang kekalahan. Mereka tidak menjadi kombatan untuk memperjuangkan gengsi kaum dewasa pengampunya. Mereka tidak menjadi dongkrak pelambung nama baik sekolahnya.

Anak-anak itu memainkan perannya masing-masing secara autentik. Anak-anak itu masing-masing menjadi juara tanpa menyisihkan pecundang. Anak-anak itu telah menemukan panggung tempat mendulang pengalaman. Persis seperti doa yang dipanjatkan Fathir (kelas 2) di penghujung acara: “Jadikanlah acara ini bahan belajar untuk menjadi pengalaman dan ilmu bagi kami.”

Aksi heroik perobekan kain biru pada bendera Belanda dalam drama "Pertempuran Surabaya"

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer