![]() |
Opening speech dalam empat bahasa. Urut dari kanan: Elora (Indonesia), Fatih (Inggris), Qaleed (Jawa), dan Nadia (Arab). |
Empat anak—dua putri dan dua putra—naik ke panggung. Yang
putri mengenakan blus panjang putih, berdiri di pinggir kiri dan kanan. Yang
putra, diapit kedua teman mereka yang putri, berbusana serbahitam: celana, kemeja,
dan peci. Tidak seragam, hanya sewarna.
Empat anak itu muncul pertama di panggung untuk menyampaikan sambutan pembuka, semacam atur pambagya. Masing-masing memegang mikrofon nirkabel.
Pertama-tama mereka menyapa hadirin dengan salam islami. Ups,
gagal! Belum kompak. Salah seorang personel belum mengangkat mik ke depan mulutnya.
Ucapan salam diulang. Berhasil! Keempat-empatnya mengucapkan salam secara
serentak. Seluruh hadirin menjawabnya secara serempak pula.
Ternyata anak yang sebelumnya terlambat mengangkat mik itu
vokalnya paling kencang. Ia juga tampil paling ekspresif dan santai. Senyumnya
terus mengembang sepanjang penampilannya di panggung. Ia bahkan tidak sungkan
menggoyang-goyangkan badan dan menggerak-gerakkan kaki dan tangannya.
Empat bocah polos itu kemudian bergantian menyapa hadirin.
Elora, yang berdiri paling kiri, mengawali dengan sambutan berbahasa Indonesia.
Fatih, kedua dari kiri, menyusul dengan sambutan berbahasa Inggris. Sambutan
ketiga, dalam bahasa Jawa, disampaikan oleh Qaleed. Terakhir, Nadia memungkasi
dengan sambutan dalam bahasa Arab. Sebelum turun dari panggung, Elora
menyilakan tim paduan suara untuk naik ke pentas.
Sekitar 30 anak berbaris satu demi satu menuju pentas.
Sampai di panggung, mereka langsung membentuk tiga baris ke samping. Dua
barisan putra di belakang satu barisan putri. Busana mereka seragam. Baju batik
berlengan panjang dengan warna dasar hijau muda. Celana panjang (putra) dan rok
panjang (putri) berwarna hijau, sedikit lebih tua daripada warna baju.
Anak-anak putri mengenakan kerudung sewarna dengan rok mereka. Seorang anak
putri berdiri di sudut kiri depan panggung, menghadap ke tiga barisan temannya.
Tampaknya dia dipercaya sebagai dirigen.
![]() |
Azza (duduk, menoleh ke kanan) menjalani ujian pemahaman tajwid usai melantunkan tilawah Al-Qur'an di awal acara. |
“Had...,” suara keras bocah perempuan terdengar dari pelantang. Berhenti di satu suku kata itu saja. Tidak kunjung berlanjut.
Muncul seorang pria dewasa berpeci, membawa dua tiang mik dan
menatanya di depan panggung. Seorang bocah laki-laki menyusul, membawa dua mik,
lalu memasangnya di kedua tiang. Kepala mik menghadap ke panggung, tempat
kelompok paduan suara berdiri.
“Hadirin dimohon berdiri,” aba-aba pembawa acara. Suaranya
sama dengan suara yang terpenggal sebelumnya.
Lagu “Indonesia Raya” mengalun lancar. Bunyi vokal paduan
suara tenggelam oleh bunyi instrumen musik pengiring. Barangkali dua mik di
depan panggung tidak mampu menyerap suara anak-anak yang menyanyi. Hingga satu
stanza lagu kebangsaan berakhir, yang terdengar oleh telinga saya hanya bunyi
instrumen pengiringnya.
“Hadirin dipersilakan duduk kembali,” aba-aba pembawa acara.
Ups, lagi-lagi terlalu dini. Hadirin batal duduk.
Masih ada satu lagu yang akan dinyanyikan oleh tim paduan suara: “Mars
Hidayatullah”. Yang hadir mesti tetap berdiri khidmat sebagai ekspresi sikap
hormat.
“Hadirin dipersilakan duduk kembali,” aba-aba ulang dari
pembawa acara.
Kali ini bukan berita bohong. Hadirin benar-benar sudah
boleh duduk. Regu paduan suara berbaris satu-satu meninggalkan panggung. Urut
dari barisan paling belakang. Dua bocah lelaki sigap memindahkan tiang mik ke
atas panggung. Tentu, miknya tetap terjepit di ujung tiangnya masing-masing.
Dua anak—satu putri, satu putra—ganti naik ke panggung. Yang
putri menempatkan diri di depan mik sebelah kiri, yang putra di kanan. Eits,
terbalik. Keduanya lalu bertukar posisi. Setengah berlari. Tawa kecil
meningkahi aksi mereka.
“As-salāmu ’alaikum wa raḥmatullāhi wa barakātuh,”
ucap keduanya serentak. Yang putra sambil membungkukkan badan, mendekatkan
mulutnya ke mikrofon.
Seorang bocah berbaju putih, bercelana hitam, dan berpeci
hitam lari ke atas panggung. Dengan sigap ia mengatur tinggi mik hingga sesuai
dengan tinggi badan pemakainya. Giliran anak putri yang berdiri di sebelah
kanan beraksi. Kedua lengannya dikepak-kepakkan seperti hendak terbang. Ah,
rupanya dia mengirim pesan: miknya ketinggian. Seorang pria, yang sebelumnya
menata tiang mik di depan panggung, datang membantu.
Kemudian Daffa (kelas 3) dan Aya (kelas 2) bergantian
bicara. Mereka didaulat sebagai pembawa acara (MC—master of ceremony). Kata-kata
mereka mengalir lancar. Namun, adakalanya tersendat juga. Intonasinya cenderung
datar. Bahkan artikulasinya kadang samar. Daffa dan Aya sama-sama masih cadel.
Bunyi [r] belum terlafalkan secara sempurna.
Lebih dari sekadar aspek wicara, kedua MC itu sesekali
bertingkah tidak sewajarnya MC di panggung-panggung pertunjukan. Aya, misalnya,
sempat bikin ulah. Ada sesuatu yang mengganggu di balik kerudungnya. Dia lalu mengempit
naskah yang dibawanya dengan kedua pahanya. Tangan kanannya memegangi kerudung
sebelah kiri. Tangan kirinya merogoh bahu yang terlindungi kerudung itu. Entah,
apa yang perlu diperbaiki posisinya.
Sajian demi sajian silih berganti ditampilkan. Ada tausiah dari dai cilik Aya—sepertinya anak yang sama dengan salah seorang MC—yang mengangkat tema “Bijak Bermedsos”. Ada tari “Menanam Jagung” yang dibawakan oleh delapan gadis imut. Anak-anak peserta ekstrakurikuler rebana menampilkan hadrah. Enam gadis menyuguhkan tari tradisional dari Pariaman: Indang alias Dindin Badindin. Ada drama semikolosal “Pertempuran Surabaya”. Ada tari “Gerak Berkumpul”. Ada penampilan tembang berbahasa Jawa “Padhang Bulan” dan lagu berbahasa Inggris “Something Just Like This”.
Dari sekian atraksi yang ditampilkan, tidak satu pun saya
nilai layak untuk diikutsertakan dalam ajang lomba. Semuanya tampil ala
kadarnya. Anak-anak yang menari tidak menyuguhkan gerak gemulai selayaknya
penari. Yang menyanyi tidak memamerkan nada, irama, dan warna suara yang
memanjakan telinga. Yang bertablig tidak mengaduk-aduk emosi religiositas atau
mengocok perut jemaah. Andai mereka tampil dalam sebuah kompetisi dan saya
menjadi jurinya, saya akan menilai mereka dengan menutup mata. Masing-masing
saya beri nilai akhir dengan rumus yang sama: 10% dari nilai yang diperoleh
juara harapan III.
Beruntung, saya menyaksikan atraksi panggung mereka bukan
sebagai juri. Sepanjang menonton aksi mereka lewat live streaming
YouTube, saya hanya memosisikan diri sebagai orang yang pernah punya
anak-anak—biologis dan pedagogis—seusia mereka. Bahkan lama-kelamaan saya
mengenang sederet pengalaman ketika menjalani masa kanak-kanak sebaya mereka.
Saya pernah ditunjuk menjadi anggota regu paduan suara.
Setiap hari kami dilatih: pagi, siang, dan sore. Kami dibuatkan seragam khusus.
Putra, atasan batik dan bawahan putih. Putri, sebaliknya: atasan putih, bawahan
batik. Lalu, pada hari dan tanggal yang ditentukan, kami diangkut ke sebuah
gedung pertemuan di pusat kota kecamatan. Kami diadu unjuk kebolehan olah vokal
dengan tim-tim dari sekolah lain sekecamatan. Kalah. Nama sekolah kami tidak
disebut dalam pengumuman juara. Di antara kami—murid-murid dan guru-guru—ada
yang menangis kecewa, ada yang tersipu menanggung malu, ada yang cuek tanpa secuil pun perasaan berdosa.
Pada kesempatan lain, saya didapuk menjadi pemeran salah
satu tokoh dalam sandiwara berbahasa Jawa. Sama, kami dilatih setiap hari
selama berminggu-minggu. Pada hari H kami dibawa ke gedung yang sama. Diadu
lagi dengan kepiawaian akting teman-teman dari sekolah lain. Kalah lagi! Ada
yang dituding sebagai biang kekalahan. Ada yang murung dirundung kekesalan.
Saya, bersama dua orang teman, juga pernah dipercaya
mewakili sekolah kami dalam lomba cerdas tangkas. Julukan lomba ini
bermacam-macam. Kadang disebut lomba cerdas cermat. Kadang juga disebut lomba
cepat tepat. Entah, mana yang menjadi nama resminya. Regu kami kalah di babak
penyisihan. Kami bertiga santai dan tenang-tenang saja. Namun, di dalam mobil omprengan
dalam perjalanan pulang, kami menjadi sasaran gerutu Bu Guru.
Sungguh mujur, anak-anak yang unjuk krida dalam “Ekshibisi
Akhir Tahun” yang digelar sekolahnya pada Kamis, 19 Juni 2025, itu menemu nasib
berbeda. Mereka diberi peran, dilatih dan dibimbing menjalankan perannya, lalu
dipercaya untuk menunaikan perannya sesuai dengan kapasitas dan capaian maksimal
usahanya masing-masing. Bahkan mereka berani berakting di luar skenario, menanggapi
rangsangan situasi dan kondisi yang muncul tak terduga.
Mereka bebas dari target untuk menang dan dinobatkan sebagai
juara. Mereka tampil lepas, tanpa dihantui bayang-bayang kekalahan. Mereka tidak
menjadi kombatan untuk memperjuangkan gengsi kaum dewasa pengampunya. Mereka
tidak menjadi dongkrak pelambung nama baik sekolahnya.
Anak-anak itu memainkan perannya masing-masing secara
autentik. Anak-anak itu masing-masing menjadi juara tanpa menyisihkan pecundang.
Anak-anak itu telah menemukan panggung tempat mendulang pengalaman. Persis
seperti doa yang dipanjatkan Fathir (kelas 2) di penghujung acara: “Jadikanlah
acara ini bahan belajar untuk menjadi pengalaman dan ilmu bagi kami.”
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar