Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Publika

Menjawab Protes

Para narawiyata berkutat dengan perencanaan program kerja. Luar biasa! Dua puluh (100%) responden mengaku bahagia menjalani rutinitas harian di rumah. Seperti apa profil rutinitas mereka di rumah? Sejak pulang dari bekerja hingga sebelum tidur, hanya empat orang (20%) yang merasa santai. Mereka bisa menghabiskan 50% s.d. 75% waktu di rumah untuk bersantai. Dua belas orang (60%) masih agak sibuk. Mereka punya 25% s.d. 50% waktu selepas bekerja untuk bersantai bersama keluarga. Sementara, empat orang (20%) sisanya masih harus kembali sangat sibuk. Mereka hanya bisa menikmati kurang dari 25% waktu sore hingga malam untuk bersantai. Berapa lama mereka punya waktu bersama keluarga dari sore hingga malam? Sepuluh orang (50%) baru tiba di rumah antara pukul  16.30—17.00 . Enam orang (30%) sampai di rumah antara pukul  16.00—16.30 . Satu orang sudah sampai di rumah antara pukul  15.30—16.00 , satu orang antara pukul  17.30—18.00 , dan satu orang lainnya baru mendarat di rumah setelah pukul 18.

Guru Mengejar Hakim

  "Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar". Demikian tema peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Pokoknya, "merdeka" menjadi mantra paling sakti di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan selama 4 tahun terakhir. Merdeka itu bebas. Bebas itu ya bebas saja. Di alam merdeka belajar ini publik sering disuguhi berita tentang berbagai manifestasi kebebasan di dunia pendidikan. Aneka perilaku ekspresi kebebasan itu sepertinya bisa dihimpun menjadi satu kata: perundungan. Ada  pendidik—dengan segala sebutan spesifiknya—merundung peserta didik—juga  dengan segala julukan spesifiknya. Ada perundungan antarpeserta didik. Ada peserta didik merundung pendidik. Ada perundungan oleh orang tua peserta didik kepada pendidik. Barangkali ada juga perundungan antarpendidik, antarorang tua peserta didik, atau antara pendidik dan pemangku kuasa bidang pendidikan.  Yang tidak boleh dilupakan, swaperundungan (self-bullying) : bunuh diri. Beberapa bulan belakangan muncul tren baru: m

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Sopir Einstein dan Dalang

  Albert Einstein, fisikawan teoretis kelahiran Jerman (14 Maret  1879—18  April 1955) Pagi itu Albert Einstein terjadwalkan memberikan kuliah di sebuah universitas. Sejak mereka cipta teori relativitas, sang jenius itu memang laris diundang ke berbagai universitas. Para profesor (yang terhormat maupun yang kehormatan), para doktor (yang asli maupun yang HC [hanya caosan] ), para master dan termagis, eh, magister, para sarjana tua dan sarjana muda, serta para mahasiswa jalur seleksi tes maupun mandiri yang menggeluti fisika kebelet  menyimak teori baru itu langsung dari inventornya. Sopir pribadinya sudah tiba di rumah Einstein. Uluk  salamnya tidak mendapat sahutan. Pintu diketuk hingga tiga kali tiga, tidak ada respons dari dalam rumah. Akhirnya sang sopir memukul keras-keras kentongan bambu petung  yang menggantung di sudut teras. Titir. Yang datang bukan majikannya, melainkan para tetangga yang kaget dan gugup mendengar alarm bahaya itu. Akhirnya,  kentongan  dilepas dari gantunga

Bisnis Kompetisi, Obral Sertifikat

  Gambar 1. Profil salah satu penyelenggara kompetisi akademik Gila sertifikat. Demam kompetisi. Itu barangkali yang menjadi pemicunya. Sertifikat menjadi tolok ukur harga diri. Sertifikat menjadi alat untuk menaikkan reputasi. Dahulu, ketika sertifikasi guru dapat ditempuh melalui jalur portofolio, banyak kaum pendidik sibuk berburu sertifikat. Salah satu yang tergolong mudah didapat adalah sertifikat kepesertaan dalam forum ilmiah: lokakarya (workshop),  pelatihan, hingga seminar. Dengan mencantumkan nama kegiatan, tempat, waktu, materi, dan narasumber, sertifikat diterima sebagai bukti sah keikutsertaan seseorang dalam sebuah kegiatan pengembangan diri. Kebutuhan akan sertifikat itu memicu berahi bisnis. Ada (jangan-jangan banyak?) organisasi profesi yang mendadak bermutasi menjadi event organiser  (EO): menggelar pelatihan di mana-mana, dari satu kota ke kota lain. Saya pernah terpancing untuk mencicipi pelatihan yang ditawarkan. Bendahara sekolah yang mendesak saya untuk ikut. Tid

Menulis, Mengasah Nalar dan Rasa Bahasa

  Sumber gambar: https://www.uvocorp.com/ Seorang gadis belia. Berkerudung putih, serupa warna bajunya. Menggendong tas mungil di punggungnya. Mengenakan rok merah panjang hingga menutup mata kakinya. Usai memakai sepatu, dia berpamitan kepada ibunya. Salim dan cium tangan.  Sebelum berangkat, ibunya mengecup kening dan mencium kedua pipinya. "Salam buat Bu Guru, ya, Sayang," pesan ibunda. Sejurus kemudian, si gadis meninggalkan rumah bersama sepeda mininya. Kalimat terakhir paragraf pertama saya tulis dengan huruf tebal. Pertanda ada sesuatu di sana. Dalam komunikasi lisan, kalimat seperti itu jamak kita temukan. Saya pun yakin, tidak ada pendengar yang mempersoalkan konstruksi kalimat itu. Pendengar memahami maksud penutur. Tidak terjadi miskomunikasi di antara kedua pihak. Memang, ketika mendengar kalimat itu terucap, kita serta-merta memahami maksudnya: sebelum gadis itu berangkat, ibunya mengecup kening dan kedua pipi gadis itu (anaknya). Bukankah demikian? Apakah tidak

Berpusat pada Murid

Berpusat pada murid (student-centered). Popularitas doktrin ini meningkat pesat dalam empat tahun belakangan. Seolah-olah ia paradigma baru dalam dunia pendidikan. Padahal, ia sudah dikenalkan kepada gurunya guru-guru keguruan saya. Setidaknya, konsep itu sudah disodorkan oleh John Dewey pada 1956. Bahkan sebuah artikel yang baru saja saya temukan menyebut, konsep itu bisa dilacak pada esai Frank Herbert Hayward bertarikh 1905. Kalau ada pejabat pendidikan yang baru sekarang rajin menghafalkan mantra sakti itu, mungkin semata-mata karena ia belum pernah mengenalnya sepanjang riwayat pendidikannya. Kalau akhirnya saya ikut-ikutan mewiridkan mantra kuno itu pun semata-mata karena dorongan nafsu saya untuk mengincar jabatan di birokrasi pendidikan. Ups, demi menciptakan judul untuk tulisan ini, maksud saya. Sejatinya saya sama sekali lupa akan konsep student-centered learning itu. Persisnya, pura-pura lupa. Sejatinya yang sejati, saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang konsep

Sersan dan Kopral Junjungan Jenderal

Mayjen Farid Makruf, Pangdam V/Brawijaya "Harus lebih banyak menampilkan babinsa. Kiprah mereka. Keteladanan mereka. Kepeloporan mereka. Juga, prestasi-prestasi mereka di tengah masyarakat desa," pesan Mayjen Farid Makruf, seperti dikutip Dahlan Iskan ( Harian Disway , 24 Juli 2023, hlm. 2). Jenderal Farid menyampaikan instruksi itu ketika dirinya belum genap satu minggu menjabat Panglima Daerah Militer (Pangdam) V/Brawijaya. Dia tidak ingin media milik Kodam hanya menampilkan foto-foto dan berita seputar kegiatan Pangdam. “Isi website Kodam Brawijaya jangan melulu wajah pangdamnya. Seminggu pertama, oke. Biar kenal dulu. Setelah itu harus lebih banyak menampilkan wajah babinsa. Atau Danramil. Dandim,” ujarnya. Perhatiannya kepada prajurit garda terdepan tidak berhenti di situ. Tepat lima bulan setelah mengemban tugas, Pangdam menandatangani nota kesepahaman (MoU) bersama pendiri Harian Disway, Dahlan Iskan, 28 April 2023. MoU tersebut mengatur penyelenggaraan Brawijaya Awar

Maaf, Terlambat

"Mohon maaf, Bapak/Ibu. Saya terlambat mengirim tulisan." Kalimat itu—atau ungkapan senada—sesekali tertulis sebagai takarir (caption) , menyertai fail yang diunggah ke grup percakapan Telegram. Failnya berisi tulisan yang sulit dikategorikan genrenya. Tulisan itu diunggah untuk diperiksakan: dicari—kadang kala dicari-cari—penyakitnya, lalu diresepkan obatnya. Grup percakapannya memang dinamai "Klinik Menulis". Klinik? Seram? Sekilas ya, begitu. Namun, sebenarnya penamaannya itu justru demi menghindar dari berbagai tuntutan. Sebelumnya pernah terpikir untuk memakai nama yang keren seperti "Kelas Menulis" atau "Akademi Menulis". Setelah dipikir-pikir, justru nama keren itu lebih menakutkan. Harus ada kurikulum yang terstruktur. Harus ada "pertemuan" terjadwal. Harus ada guru atau instruktur yang mumpuni, setidaknya tersertifikasi. Yang lebih menakutkan, (maha)siswa menulis demi tugas. Terjajah. Tidak merdeka belajar. Kelahiran klinik itu

Sayang

“Anak-anak lebih   manut   kepada gurunya. Karena orang tuanya   jarkoni, bisa ngajar ora bisa nglakoni, ” seloroh ibu seorang murid kelas 1. Sebelumnya, beliau menyatakan, “Perkembangan itu tidak hanya didapatkan anak-anak, tapi juga menular di rumah.” Ibu yang—saya tebak—seusia istri saya belasan tahun silam itu menyampaikan pidato sambutan mewakili orang tua teman-teman anaknya. Rabu (21/06/2023) pagi itu, sekolah anaknya menggelar Ekshibisi Kreativitas Siswa. Menu acaranya—seperti terpampang pada layar panggung—terdiri dari gelar karya, pentas, dan peluncuran buku. Kegiatan ini digelar untuk menandai akhir tahun ajaran. Dua hari berikutnya, anak-anak akan menerima buku laporan hasil belajar. Laporan itu sekaligus menentukan status anak-anak: naik ke kelas 2 atau mengulang belajar di kelas 1. Ruang kelas disulap menjadi panggung jadi-jadian. Meja-kursi dikeluarkan. Beberapa lembar karpet dihamparkan menutup permukaan lantai. Sehelai layar panggung terbentang di dinding sisi timur, m