Berpusat pada murid (student-centered). Popularitas doktrin ini meningkat pesat dalam empat tahun belakangan. Seolah-olah ia paradigma baru dalam dunia pendidikan. Padahal, ia sudah dikenalkan kepada gurunya guru-guru keguruan saya. Setidaknya, konsep itu sudah disodorkan oleh John Dewey pada 1956. Bahkan sebuah artikel yang baru saja saya temukan menyebut, konsep itu bisa dilacak pada esai Frank Herbert Hayward bertarikh 1905.
Kalau ada pejabat pendidikan yang baru sekarang rajin menghafalkan mantra sakti itu, mungkin semata-mata karena ia belum pernah mengenalnya sepanjang riwayat pendidikannya. Kalau akhirnya saya ikut-ikutan mewiridkan mantra kuno itu pun semata-mata karena dorongan nafsu saya untuk mengincar jabatan di birokrasi pendidikan. Ups, demi menciptakan judul untuk tulisan ini, maksud saya. Sejatinya saya sama sekali lupa akan konsep student-centered learning itu. Persisnya, pura-pura lupa. Sejatinya yang sejati, saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang konsep itu.
Saya membayangkan, konsep pembelajaran berpusat pada siswa itu rumit berbelit-belit. Itu baru konsepnya, belum lagi implementasinya. Lewat tulisan ini, saya hendak menawarkan rumus mudah nan canggih untuk mengukur kadar ke-student-centered-an pembelajaran.
Begini:
Pada suatu pagi yang kurang sejuk, saya ditanya oleh seorang guru.
"Punya cerita yang bagus, Kang?" sergahnya.
Konon ia ditagih untuk melunasi kewajibannya. Menyetor tulisan. Segera. Kelimpungan. Lalu ia mencoba jalan pintas. Minta pinjam (pengindonesiaan nyuwun ngampil) tulisan yang ia duga tersimpan di gerobok harta karun saya (lo, masa, saya = Karun?).
Saya tunjukkan blog sebuah sekolah. Di dalamnya tersimpan ratusan tulisan. Karya guru-guru sekolah itu. Isinya, cerita seputar kehidupan sekolah mereka. Tentang murid-murid mereka. Liputan peristiwa nyata. Menjelma artikel teacher interest.
"Kalau pilih baca yang sudah dicetak, ini bukunya," sodor saya, sok bermurah hati. "Tapi ini hanya saya pinjamkan."
Ia pergi meninggalkan saya. Bersama buku berisi 69 keping tulisan itu.
"Kalau ingin punya bukunya, mintalah kepada ... (menyebut nama salah seorang penulis buku itu)," teriak saya sebelum ia lenyap dari pandangan.
Ah, saya menyesal. Telanjur melakukan dosa. Berburuk sangka. Berprasangka buruk: bahwa semua orang masih punya sisa waktu untuk membaca buku.
Saya hendak mengulang pelajaran lawas. Lewat blog sekolah dan buku itu. Bahwa sumber ide tulisan terdekat dan termurah adalah pengalaman sendiri. Maksud saya, peristiwa yang dialami sendiri. Entah sebagai pelaku, korban, atau saksi. Dan interaksi sehari-hari dengan murid adalah perbendaharaan pengalaman guru. Setiap hari bertambah. Kecuali pada hari libur. Atau, salah satu atau kedua pihak mangkir.
Jadi terdengar naif, kalau guru kelabakan mencari ide ketika harus menulis. Sampai-sampai rela mengubah kodrat dirinya. Menjelma jadi mesin fotokopi.
Pembelajaran yang berpusat pada murid itu sulit untuk dijelaskan. Tapi, tanda-tandanya mudah dideteksi. Kalau guru fasih bercerita tentang muridnya, itu pertanda ia melazimkan student-centered learning. Muridlah yang menjadi pusat perhatiannya. Maka, diska di kepala dan dadanya dipenuhi mosaik potret dan klip-klip video. Rekaman tingkah polah murid. Masing-masing unik dan memantik perhatian. Sewaktu-waktu siap dan layak untuk diceritakan.
Seberapa mudah menceritakan tingkah muridnya, sebesar itulah derajat ke-student-centered-an guru. Kalau sampai melampaui satu purnama masih gagal juga untuk menulis cerita tentang muridnya, patut diduga sang guru bekerja berpusat pada yang lain. Bisa self-centered. Bisa pula book-centered. Bisa juga boss-centered. Money-centered pun bisa. Tentu, yang lengkap all but student-centered pun mungkin ada.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar