22 Mei 2023

Sudah Seperti Dukun?

Selepas magrib suatu hari. Hari dan tanggalnya, entah. Pun bulannya, saya lupa. Yang saya ingat hanya tahunnya: 2023.

Saya sedang berkemas hendak pulang. Seorang lelaki muda menghampiri saya. Satpam kantor. Tampak sangat gugup. Tergopoh. Kalimat salam diucapkan. Tangan kanannya diulurkan ke arah saya. Segera saya jabat sepenuh erat, seperti biasanya. Ia menyeringai.

"Lo, kenapa?" tanya saya, kaget.

"Kejepit pintu gerbang, Pak," jawabnya cepat tapi dengan suara lemah. "Tulung, tangan saya ditambani, Pak," lanjutnya.

Saya perhatikan tangannya, yang baru lepas dari jabatan saya. Lebam. Dua jari: tengah dan telunjuk. Jari tengah lebih parah.

"Enggak berani, Mas. Saya enggak tahu pijat-memijat. Nanti bisa-bisa malah merusak posisi tulang atau ototnya."

"Sudahlah, Pak, dibacakan doa apa saja. Saya percaya dengan njenengan."

"Waduh!" batin saya.

Saya silakan ia menunggu di pos satpam. Saya segera mencari referensi untuk menemukan "jampi-jampi" yang pas. Kembali saya keluarkan laptop dari dalam tas. Setelah laptop menyala, saya buka mesin peramban. Saya ketik "obat pereda lebam". Judul-judul yang ditampilkan, semua memakai frasa "obat memar". Saya klik alamat situs yang ditampilkan paling atas.

Muncul ulasan panjang lebar. Mulai dari penyebab terjadinya luka memar, tahapan perubahan warna yang tampak pada kulit, hingga cara-cara mengobatinya secara alami. Semua saya skip. Saya terus scroll ke bawah untuk menemukan nama obat yang dapat dibeli di apotek.

Ketemu. Laptop saya matikan. Belum sampai padam, sudah saya tinggalkan. Saya starter WinAir-100.

Sejurus kemudian, saya sampai di apotek. Alhamdulillah, antrean pembeli tidak begitu padat. Saya dapatkan obat yang saya cari. Segera saya kembali, langsung menuju pos satpam.

"Ini, Mas. Doa saya sudah saya tiupkan ke sini," kata saya kepada Mas Satpam.

Saya tidak tahu namanya. Rasa-rasanya ia pernah memperkenalkan diri kepada saya. Atau saya pernah membaca namanya di atas saku kanan baju dinasnya. Tapi saya lupa. Memang begitu sifat saya: mudah melupakan nama.

"Ini pripun, Pak, caranya?" tanyanya.

"Dioleskan saja tipis-tipis. Jarinya dibersihkan dulu. Lalu dilap sampai kering, baru diolesi pelan-pelan. Tuangkan air panas ke gelas. Jari yang sudah diolesi obat itu diseka dengan air panas itu. Ditempelkan di dinding luar gelas saja. Kalau sudah mulai dingin, airnya diganti yang panas lagi," instruksi saya.

"Nggih, Pak."

"Sudah, ya. Lekas sembuh. Diulang-ulang mengolesinya. Kalau habis kena air atau kekesud, diolesi lagi. Habis diolesi, diseka air panas lagi. Yang lama. Selama tidak melakukan kegiatan lain, diseka terus," pesan saya sebelum pamit.

"Terus ini berapa, Pak?"

"Apanya?"

"Harganya."

Duh, ia menanyakan harga obatnya atau tarif pendukunannya?

"Sudah, yang penting dipakai dulu. Semoga cepat sembuh. Nanti, kalau sudah sembuh, gampang hitungannya."

Saya pun pamit. Kembali ke markas, menutup laptop dan memasukkannya kembali ke dalam tas, kembali ke pos satpam, menstarter motor, dan wus ...! Pulang.

Sampai di rumah, saya ceritakan kejadian itu. Istri saya terkekeh-kekeh. Sambil merinding. Mungkin dia membayangkan jarinya sendiri yang terjepit pintu besi tempa itu.

***

Beberapa hari kemudian, ketika hendak pulang, saya melihat Mas Satpam di posnya. Saya tanya bagaimana perkembangan lebam di jarinya. Tanpa turun dari WinAir-100.

"Alhamdulillah, Pak, sudah lumayan," jawabnya.

Saya tidak berminat untuk melihat keadaannya. Tebakan saya, rasa sakitnya sudah jauh berkurang. Warnanya mungkin sudah berubah menjadi hijau pucat atau kuning kecokelatan. Begitu, penjelasan di situs kesehatan yang dulu saya kunjungi ketika mencari nama obat.

Sekian hari—atau minggu (?)—kemudian saya beberapa kali bertemu dengan—atau, setidaknya, melihat—ia lagi. Saya hanya menyapanya dengan menganggukkan kepala. Atau, mungkin kami juga sempat bersalaman. Entahlah, saya tidak ingat.

***

Sore tadi Mas Satpam mendatangi saya di markas. Membawa satu kotak hitam. Dimensinya sekitar 90 x 60 x 20. Masing-masing dalam satuan milimeter. Ia serahkan kepada saya.

"Apa ini?" tanya saya, kaget.

"Ini kagem njenengan. Lha kemarin, waktu Lebaran, enggak sempat ketemu njenengan," jawabnya.

Saya pandangi wajahnya. Tajam. Masih bengong, saya.

"Matur nuwun," katanya, sambil menunjukkan tangan kanannya.

Entah apa yang dikatakannya kemudian. Ingatan saya telanjur terbawa ke kenangan tragis sekaligus menggelikan yang entah sudah berapa purnama berlalu itu.

Ah, rupa-rupanya saya sudah seperti dukun? Mudah-mudahan Mas Satpam tidak salah hitung. Kalaupun hitungannya salah, Tuhan—saya yakin—berkenan mengoreksi.

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer