Langsung ke konten utama

Sudah Seperti Dukun?


Selepas magrib suatu hari. Hari dan tanggalnya, entah. Pun bulannya, saya lupa. Yang saya ingat hanya tahunnya: 2023.

Saya sedang berkemas hendak pulang. Seorang lelaki muda menghampiri saya. Satpam kantor. Tampak sangat gugup. Tergopoh. Kalimat salam diucapkan. Tangan kanannya diulurkan ke arah saya. Segera saya jabat sepenuh erat, seperti biasanya. Ia menyeringai.

"Lo, kenapa?" tanya saya, kaget.

"Kejepit pintu gerbang, Pak," jawabnya cepat tapi dengan suara lemah. "Tulung, tangan saya ditambani, Pak," lanjutnya.

Saya perhatikan tangannya, yang baru lepas dari jabatan saya. Lebam. Dua jari: tengah dan telunjuk. Jari tengah lebih parah.

"Enggak berani, Mas. Saya enggak tahu pijat-memijat. Nanti bisa-bisa malah merusak posisi tulang atau ototnya."

"Sudahlah, Pak, dibacakan doa apa saja. Saya percaya dengan njenengan."

"Waduh!" batin saya.

Saya silakan ia menunggu di pos satpam. Saya segera mencari referensi untuk menemukan "jampi-jampi" yang pas. Kembali saya keluarkan laptop dari dalam tas. Setelah laptop menyala, saya buka mesin peramban. Saya ketik "obat pereda lebam". Judul-judul yang ditampilkan, semua memakai frasa "obat memar". Saya klik alamat situs yang ditampilkan paling atas.

Muncul ulasan panjang lebar. Mulai dari penyebab terjadinya luka memar, tahapan perubahan warna yang tampak pada kulit, hingga cara-cara mengobatinya secara alami. Semua saya skip. Saya terus scroll ke bawah untuk menemukan nama obat yang dapat dibeli di apotek.

Ketemu. Laptop saya matikan. Belum sampai padam, sudah saya tinggalkan. Saya starter WinAir-100.

Sejurus kemudian, saya sampai di apotek. Alhamdulillah, antrean pembeli tidak begitu padat. Saya dapatkan obat yang saya cari. Segera saya kembali, langsung menuju pos satpam.

"Ini, Mas. Doa saya sudah saya tiupkan ke sini," kata saya kepada Mas Satpam.

Saya tidak tahu namanya. Rasa-rasanya ia pernah memperkenalkan diri kepada saya. Atau saya pernah membaca namanya di atas saku kanan baju dinasnya. Tapi saya lupa. Memang begitu sifat saya: mudah melupakan nama.

"Ini pripun, Pak, caranya?" tanyanya.

"Dioleskan saja tipis-tipis. Jarinya dibersihkan dulu. Lalu dilap sampai kering, baru diolesi pelan-pelan. Tuangkan air panas ke gelas. Jari yang sudah diolesi obat itu diseka dengan air panas itu. Ditempelkan di dinding luar gelas saja. Kalau sudah mulai dingin, airnya diganti yang panas lagi," instruksi saya.

"Nggih, Pak."

"Sudah, ya. Lekas sembuh. Diulang-ulang mengolesinya. Kalau habis kena air atau kekesud, diolesi lagi. Habis diolesi, diseka air panas lagi. Yang lama. Selama tidak melakukan kegiatan lain, diseka terus," pesan saya sebelum pamit.

"Terus ini berapa, Pak?"

"Apanya?"

"Harganya."

Duh, ia menanyakan harga obatnya atau tarif pendukunannya?

"Sudah, yang penting dipakai dulu. Semoga cepat sembuh. Nanti, kalau sudah sembuh, gampang hitungannya."

Saya pun pamit. Kembali ke markas, menutup laptop dan memasukkannya kembali ke dalam tas, kembali ke pos satpam, menstarter motor, dan wus ...! Pulang.

Sampai di rumah, saya ceritakan kejadian itu. Istri saya terkekeh-kekeh. Sambil merinding. Mungkin dia membayangkan jarinya sendiri yang terjepit pintu besi tempa itu.

***

Beberapa hari kemudian, ketika hendak pulang, saya melihat Mas Satpam di posnya. Saya tanya bagaimana perkembangan lebam di jarinya. Tanpa turun dari WinAir-100.

"Alhamdulillah, Pak, sudah lumayan," jawabnya.

Saya tidak berminat untuk melihat keadaannya. Tebakan saya, rasa sakitnya sudah jauh berkurang. Warnanya mungkin sudah berubah menjadi hijau pucat atau kuning kecokelatan. Begitu, penjelasan di situs kesehatan yang dulu saya kunjungi ketika mencari nama obat.

Sekian hari—atau minggu (?)—kemudian saya beberapa kali bertemu dengan—atau, setidaknya, melihat—ia lagi. Saya hanya menyapanya dengan menganggukkan kepala. Atau, mungkin kami juga sempat bersalaman. Entahlah, saya tidak ingat.

***

Sore tadi Mas Satpam mendatangi saya di markas. Membawa satu kotak hitam. Dimensinya sekitar 90 x 60 x 20. Masing-masing dalam satuan milimeter. Ia serahkan kepada saya.

"Apa ini?" tanya saya, kaget.

"Ini kagem njenengan. Lha kemarin, waktu Lebaran, enggak sempat ketemu njenengan," jawabnya.

Saya pandangi wajahnya. Tajam. Masih bengong, saya.

"Matur nuwun," katanya, sambil menunjukkan tangan kanannya.

Entah apa yang dikatakannya kemudian. Ingatan saya telanjur terbawa ke kenangan tragis sekaligus menggelikan yang entah sudah berapa purnama berlalu itu.

Ah, rupa-rupanya saya sudah seperti dukun? Mudah-mudahan Mas Satpam tidak salah hitung. Kalaupun hitungannya salah, Tuhan—saya yakin—berkenan mengoreksi.

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da