Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Persona

Pengemudi Taksol

Kata  ojol —singkatan dari ojek online —sudah  terdaftar sebagai lema di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Untuk taksi daring, saya  usulkan—setidaknya dalam tulisan ini—sebutan  serupa: taksol (taksi online ). Senin (19/02/2024) malam keluarga kami membutuhkan alat transportasi yang cepat dan tepat. Cepat, artinya mudah didapat dan cepat sampai tujuan. Tepat, bisa menjemput dan mengantar door to door . Kami harus berangkat ke Klaten malam itu juga. Menjelang pukul 10 malam, istri saya menerima kabar per telepon dari keponakannya: ibunya (kakak istri saya) dipanggil Sang Khalik. Pagi, hari yang sama, dia dilarikan ke rumah sakit. Kesehatannya drop.  Mestinya Mbakyu dirawat di ruang perawatan intensif, tetapi seluruh bed di ruang ICU sudah terisi pasien. Dia sementara hanya bisa dirawat di IGD, dengan instalasi peralatan medis ala ICU. Rupanya ruang perawatan gawat darurat itu menjadi tempat "kencan" Mbakyu dengan Izrail. Kami sempat syok . Sejenak kemudian, kami bergegas

Sersan dan Kopral Junjungan Jenderal

Mayjen Farid Makruf, Pangdam V/Brawijaya "Harus lebih banyak menampilkan babinsa. Kiprah mereka. Keteladanan mereka. Kepeloporan mereka. Juga, prestasi-prestasi mereka di tengah masyarakat desa," pesan Mayjen Farid Makruf, seperti dikutip Dahlan Iskan ( Harian Disway , 24 Juli 2023, hlm. 2). Jenderal Farid menyampaikan instruksi itu ketika dirinya belum genap satu minggu menjabat Panglima Daerah Militer (Pangdam) V/Brawijaya. Dia tidak ingin media milik Kodam hanya menampilkan foto-foto dan berita seputar kegiatan Pangdam. “Isi website Kodam Brawijaya jangan melulu wajah pangdamnya. Seminggu pertama, oke. Biar kenal dulu. Setelah itu harus lebih banyak menampilkan wajah babinsa. Atau Danramil. Dandim,” ujarnya. Perhatiannya kepada prajurit garda terdepan tidak berhenti di situ. Tepat lima bulan setelah mengemban tugas, Pangdam menandatangani nota kesepahaman (MoU) bersama pendiri Harian Disway, Dahlan Iskan, 28 April 2023. MoU tersebut mengatur penyelenggaraan Brawijaya Awar

Kumakaruh

Karanggeneng, 19/06/2023 " Panjenengan Praci-nya mana?" tanya seseorang, menyambut kedatangan saya. "Nokerto," jawab saya. "Saudaranya Pak Paser?" tanyanya lagi. " Prunan [anak adiknya]." Selepas magrib saya memacu WinAir-100 ke Karanggeneng, Gunungpati. Kalau lancar, sepuluh menit perjalanan dari markas saya. Saya harus menyambangi Kak Yato, kawan saya yang tengah mengikuti kegiatan Pramuka tingkat Provinsi . Kak Yato utusan dari Kwarcab (Kwartir Cabang, organisasi Pramuka di tingkat kabupaten/kota) Wonogiri. Ia dilahirkan dan dibesarkan di sana. Sama seperti saya, beda kecamatan. Kami dipertemukan di SPG—sekolah pendidikan guru setingkat SMA, menemui ajalnya pada 1991—di ibu kota kabupaten. Setelah lulus, kami tidak pernah berkomunikasi. Apalagi berjumpa. Mulai terjalin komunikasi jarak jauh setelah musim WhatsApp. Tepatnya, setelah saya punya akun WhatsApp. Gara-gara dipaksa sejumlah orang baik untuk memegang ponsel pintar. Setiap menunaikan

Pak Tom

Pak Tom menyiapkan pupuk Maksud hati hendak periksa di klinik keluarga. Pagi-pagi saya sudah berkirim pesan tertulis ke nomor WhatsApp klinik. Saya menanyakan apakah klinik buka atau libur. Hari itu, Jumat (02/06/2023) adalah hari cuti bersama. Semestinya saya periksa Kamis, sehari sebelumnya, tetapi bertepatan dengan hari libur nasional. Dapat dipastikan pelayanan klinik pun libur. Obat yang diberikan oleh klinik pada pemeriksaan pertama, Senin (29/05) sudah habis pada Rabu malam. Sementara, keluhan yang sempat mereda selama tiga hari pengobatan itu mulai kambuh lagi sejak Kamis sore. Hingga menjelang pukul sepuluh, pesan saya tidak terbalas. Mungkin juga belum dibuka. Centangnya sudah dua, tetapi belum biru. Saya tidak bisa memastikan apakah centang biru diaktifkan atau tidak. Yang jelas, hingga saya menulis kalimat ini, centang dua di jendela percakapan itu tak kunjung biru juga. Kalah cacak menang cacak saya berangkat. Bertemu dokter atau tidak, setelah dari klinik sekali

Membaca Imajinasi Nono

Nono. Bocah kelahiran 2 April 2015 itu bernama lengkap Archangels Hendrik Meo Tnunay. Ayahnya, Raflim Meo Tnunai, bekerja sebagai tukang bangunan. Sementara, ibunya, Nuryati Ussanak Seran, dipekerjakan (saya sengaja memilih kata ini, bukan  bekerja ) sebagai guru kontrak di SD Inpres Buraen II, Kecamatan Amasari Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sekolah ini pula Nono saat ini duduk sebagai pelajar kelas II. Baru-baru ini Nono menghebohkan jagat pendidikan Nusantara. (Nama ini juga sengaja saya pilih demi mengembalikan ingatan bahwa   Nusantara   sudah ada sejak lama, lebih tua dan lebih luas daripada Indonesia—apalagi dibandingkan dengan calon penjiplak namanya, yang baru berkecambah dan hanya sepetak tanah di salah satu dari 38 provinsi di Indonesia.) Adalah sempoa, “kendaraan” yang mengantarkan Nono meroket dan meraih bintang. Selama setahun penuh, Januari—Desember 2022, Nono mengikuti kompetisi matematika berbasis sempoa: Abacus Brain Gym (ABG) International M

Semai Peradaban di Negeri Awan

Ustaz Wasino (kiri) bersama Ki Gw  Menyambangi Ali dan Umi di Pucang, Bawang, Banjarnegara sebenarnya tidak diagendakan. Ketika Ali menawarkan mampir, Suko tampak ragu. Ia minta pendapat saya. Dapat dimaklumi, mengingat masih ada agenda sambang Wasino di Tretep, Temanggung. Saya serahkan hak memutuskan itu kepada Suko. “Manut,” jawab saya. “Saya kan senior, tidak kualat kalau menolak.” Terlalu dalam Suko menafsirkan jawaban saya. Kalau senior tidak kualat, sebagai junior Suko takut kualat. Ia mengiakan ajakan seniornya, Ali. Berhasil. Motif tersembunyi saya menemukan prangko. Kesanggupan Suko untuk mampir ke Pucang itu prangko untuk menyampaikan rindu saya pada sensasi keroyokan mi rebus. Sebenarnya Suko punya alasan untuk menolak. Dulu ia pernah mampir ke rumah Ali. Pukul 2 siang kami berpamitan. Ali, Umi, dan Kayla (?) mengantar sampai jalan raya. Begitu mobil berjalan, serangan kantuk mulai saya rasakan. Dua faktor patut dicurigai sebagai penyebab: memang sangat kurang tidur a

Sakaratul-Maaf

  Belakang (ki-ka): Aziz, Suko, Mohadi, Topo & putrinya, Gw. Depan (ki-ka): Anis, Nur Ch., Uswatun, Sofi, Shaila, Diana. Mencuci pakaian sudah selesai. Tidak biasa, sebenarnya, saya mencuci sore-sore begitu. Malam selepas isya menjadi waktu favorit bagi saya untuk keceh. Alasannya sederhana tapi prinsipiel: itulah waktu yang paling senggang. Sabtu (3/9) sore itu saya menunggu jam keberangkatan. Suko Bantul, yang menawarkan diri untuk menjadi relawan tour leader saya, menjadwalkan berangkat pukul 5-an sore. Sebelum asar saya sudah tiba di rumah. Untuk membunuh waktu sekitar 2 jam itulah, saya menyalurkan hobi: bermain air sabun untuk membasahi pakaian kotor. Saya lebih suka menyebutnya bermain, bukan pekerjaan, karena hobi yang satu ini menggelikan hati: pakaian kering dibasahi, lalu mati-matian dikeringkan lagi. Kurang kerjaan! Makanya , bermain. Menjelang pukul 5 saya sudah tiba di markas Banyumanik, tempat kerja yang saya tetapkan sebagai lokasi penjemputan. Sambil menunggu

Susah, Susah, ... Gampang, Gampang

  1,7 vs. 8,5 versus pink vs. white Ajaib!  Gambar di atas menunjukkan dua sepeda yang saya potret di sebuah toko sepeda tidak jauh dari tempat kerja saya, Senin (8/8). Yang kiri, jambon, dibanderol harga 1,7 juta rupiah. Yang kanan, putih, ditawarkan 8,5 juta. Foto itu saya kirimkan kepada istri saya, lalu dikirimkan lanjut ke anak kami. Mahasiswi semester 5 itu diminta memilih. " Piiinkkk, " jawabnya melalui pesan WhatsApp . Itu jawaban spontan, pilihan serta merta, semata-mata berdasarkan preferensi warna. Meskipun spontan, dijamin pilihan itu tidak akan berubah hingga seandainya dia tahu fakta numerik di baliknya sekalipun. Kini ibunya boleh lega selega-leganya. Dua hari belakangan anak gadis kami itu membuatnya pusing. Dia minta sepeda lipat. Dia ingin menggunakannya sebagai alat transportasi kuliah. Dari kos ke kampus berjarak kira-kira 3—4 kilometer. Dua hari sebelumnya ibunya dipaksa ikut—secara harfiah, sebenarnya dia yang ikut ibunya—survei sepeda. Katanya, dia per

Duo ๐‘ฉ๐’‚๐’๐’…๐’†๐’ yang Tidak (Boleh) Bandel

  Karya Perdana Bandel  dalam bahasa Indonesia (menurut KBBI) punya dua arti: ban.del  /bandรชl/ ⇢ Tesaurus a   melawan kata atau nasihat orang; tidak mau menurut atau mendengar kata orang; kepala batu:   dasar anak-anak itu --, tidak suka diperintah ;  kalau murid-murid itu tetap --, gurunya terpaksa bertindak tegas a   tidak mudah rusak; awet:   mobil tersebut terkenal memiliki mesin yang --   ki Sedangkan dalam bahasa Jawa (menurut Baoesastra Djawa), kata bandel  juga memiliki dua arti: bandรชl kn. 1 ora cingรจng, ora gรชmbรจng; 2 รชngg. manuk dianggo jontrot. Sumber: Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Diakses dari laman https://budiarto.id/bausastra/q/bandรชl Kata bandel  (Baoesastra, arti 1) punya kedekatan makna dengan bandel  (KBBI, arti 2). Dalam percakapan sehari-hari, kita pun sering memakai kata bandel  untuk arti "tidak cengeng". Kalimat berikut ini contohnya. Dia wanita bandel . Kematian suaminya tidak melemahkan semangat hidupnya. Untu