Penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti" |
Pagi ini saya menyaksikan kuliah umum Orientasi Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (OPSBM) Program Pascasarjana UGM. Setelah pidato sambutan Rektor, acara diselingi penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti". Penarinya delapan mahasiswi. Semua bertudung caping. Dari delapan wanita penari itu, hanya satu yang tidak mengenakan kerudung. Satu yang berbeda itu sudah cukup untuk mengantarkan saya kepada simpulan: kerudung bukan bagian dari ketentuan busana untuk tari tersebut.
Seketika ingatan saya melayang ke pengalaman belasan tahun silam. Saya menghadiri sarasehan di Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan dan Kebudayaan (BPMPK). Unit pelaksana teknis Kemdikbud yang terletak di Gunungpati, Semarang, itu kini sudah "almarhum". Saya belum tahu, gedungnya yang cukup representatif dan relatif masih muda itu sekarang difungsikan untuk apa.
Dalam sarasehan itu, tampaknya BPMPK hanya menjadi fasilitator. Penyelenggaranya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar)—saat itu urusan kebudayaan terpisah dari urusan pendidikan—Provinsi Jawa Tengah. Temanya seputar revitalisasi seni sebagai aset pariwisata. Redaksi persisnya, saya lupa.
Selain pejabat dari Disbudpar, sarasehan juga menampilkan akademisi Universitas Negeri Semarang (UNNES). Bu Dosen yang waktu itu calon doktor arkeologi itu juga orang tua mantan murid saya. Kurang jelas alasan untuk memilih beliau sebagai narasumber. Menyimak isi paparannya, saya berani menyimpulkan, beliau tidak punya kompetensi untuk membedah upaya revitalisasi seni tradisional dalam rangka meningkatkan nilai jualnya dalam bisnis pariwisata.
Saya sendiri merasa menjadi peserta yang salah undi. Seluruh peserta selain saya adalah para pelaku dan pegiat pendidikan seni, baik di sekolah maupun di masyarakat. Mereka fasih menceritakan suka duka yang dialami selama berjibaku melestarikan seni adiluhung.
"Pernah kami punya murid yang sangat berbakat dalam menari Jawa. Anaknya juga rajin dan tekun berlatih untuk persiapan lomba. Eee, ... tiba-tiba orang tuanya tidak mengizinkan dia ikut lomba. Alasannya, mereka tidak rela anaknya melepas jilbab," keluh seorang guru tari di sebuah sekolah.
Rupanya, ibu guru itu bukan satu-satunya pegiat seni yang mengalami kekecewaan akibat benturan antara seni dan agama. Sejumlah peserta, sesama guru tari, mengungkapkan pengalaman serupa. Mereka wadul dan berharap pejabat Disbudpar dapat memberikan solusi.
"Kami tidak bisa berbuat banyak. Disbudpar tidak berwenang mengatur dan menjalankan regulasi di bidang pendidikan. Urusan pendidikan menjadi ranah dinas lain," kilah salah seorang narasumber, klise. "Barangkali Bapak/Ibu ada yang punya pengalaman mengatasi masalah seperti itu," sambungnya.
Saya mengacung lalu mengoceh, "Di tempat kami, yang terjadi justru sebaliknya. Yang melarang anak perempuan ikut lomba tari—jika harus melepaskan jilbab—bukan orang tuanya, melainkan sekolah. Yayasan kami memang mewajibkan murid perempuan memakai jilbab selama mengikuti kegiatan sekolah atau mengikuti kegiatan di luar sebagai delegasi sekolah. Jadi, sekolah kami tidak akan mengirim peserta ke lomba tari yang kostumnya harus membuka aurat. Risikonya, hanya kami tidak punya peluang untuk menjadi juara.
Anak-anak masih bisa mengembangkan bakat menarinya melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Mereka masih bisa tampil unjuk kebolehan di acara-acara pentas seni sekolah. Orang tua mereka dan masyarakat umum masih bisa menikmati keindahan tarian mereka. Anak-anak berbakat itu masih bisa berekspresi, menyuguhkan estetika tari, tanpa harus menanggalkan busana yang diatur oleh syariat yang diyakini.
Sekali lagi, risiko yang harus kami tanggung cuma satu: tidak bisa ikut lomba dan dinobatkan sebagai juara. Saya kira, lomba hanya menjadi bagian kecil dalam upaya melestarikan warisan seni adiluhung dan mengangkat perannya sebagai aset pariwisata yang layak jual. Jadi, yang perlu digalakkan adalah penyediaan sebanyak mungkin panggung untuk tampil. Untuk mewujudkannya, pelaku seni harus berkolaborasi dengan pelaku pariwisata."
Ternyata, kehadiran saya tidak sepenuhnya sia-sia. Setidaknya, embusan udara dingin dari AC-AC di ruang pertemuan gagal membekukan dialektika sarasehan.
Saya lalu membatin: apakah para koreografer tari atau komposer gending Jawa yang karya-karyanya melegenda itu pernah meniatkan agar karya mereka dilombakan? Saya tidak berani melahirkannya karena belum sempat menanyai para empu seni Jawa itu.
"Saya rasa, gagasan Pak ... (menyebut nama saya) tadi cukup rasional dan layak untuk ditindaklanjuti," sahut Bu Upik, narasumber dari UNNES.
Akhirnya, Bu Dosen yang suaminya akrab dengan saya itu pun menemukan momentum untuk unjuk bukti bahwa kehadirannya tetap memiliki makna.
***
Artikel ini sudah tayang dengan judul yang sama di Indonesiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar