10 Mar 2022

Dirindukan: sEKOLAH pENDIDIKAN gURU

Ketaksengajaan di mata manusia, sudah pasti bukan kebetulan di mata Sang Maha Perencana. 

Sabtu (5/3/2022) malam saya berjumpa dengan seorang guru. Sebetulnya beliau sudah amat lama meninggalkan (tapi tidak menanggalkan, menurut hemat saya) sebutan guru. Sejak jenis sekolah tempat beliau mengajar dibubarkan pada awal 1990-an, beliau beralih tugas menjadi dosen. Namun—lagi-lagi, hanya menurut saya—derajat dosen tak lebih tinggi daripada derajat guru. Buktinya, puncak karier kebanggaan dosen di negeri kita adalah guru besar.

Senin (7/3/2022) malam saya bertemu dengan dua orang guru. Yang seorang memang benar-benar guru, profesi formalnya. Seorang lainnya suka menjadi guru di kelas menulis. Kedua-duanya juga penulis. Yang satu guru tulen yang piawai, gemar, dan rajin menulis. Yang satunya lagi penulis tulen yang piawai, gemar, dan rajin mengasah keterampilan menulis para penulis pemula.

Pertemuan Sabtu malam berlangsung secara virtual melalui salah satu platform konferensi video. Adalah Pak SurachmanDimyati, Ph.D. yang mengundang saya. Beliau tinggal di Iowa, Amerika Serikat dan menjadi dosen dan peneliti di almamaternya, University of Iowa. Beliau meraih Ph.D. dalam pendidikan fisika dari sana (2001) setelah sebelumnya lulus M.Ed. dalam pendidikan guru sains dari University of Houston (1988). Sebelumnya, beliau juga dosen di Universitas Terbuka (UT) selama lebih dari 24 tahun (1991—2015). Sebelumnya lagi, beliau guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bangkalan selama 16 tahun (1975—1991). Di antara masa pengabdiannya sebagai guru di SPG, beliau juga sempat merangkap mengajar di SMA Negeri 2 Bangkalan.

Latar belakang beliau sebagai guru SPG dan dosen UT itulah yang memberanikan saya mengusung tema profesionalisme guru dalam bincang-bincang malam itu. Dugaan kuat saya, beliau punya wacana komparatif antara kurikulum keguruan yang berlaku di SPG dan yang ada di perguruan tinggi penghasil guru. Dengan begitu, beliau bisa berperan sebagai pembanding opini yang saya paparkan, entah mengonfirmasi atau mengonfrontasi.

Kebetulan—sekali lagi, dalam kacamata saya sebagai makhluk—saya sempat mencicipi kurikulum keguruan di kedua jenis lembaga penyelenggara pendidikan guru itu: SPG dan IKIP. Kedua-duanya membuat saya stres di awal dan di akhir. 

Perbedaan suasana psikologis yang mencolok justru terjadi pada masa melamar. Seleksi masuk SPG saya lalui secara reguler. Salah satunya, mengikuti tes wawancara. Ketika menunggu giliran wawancara itulah saya mengalami kecemasan luar biasa. Pelamar yang sedang mendapat giliran wawancara diminta berpidato. Lancar dan lantang ia berorasi di dalam ruang wawancara, yang saya tidak tahu ada berapa orang di sana. Saya pucat pasi. Kata apa yang akan keluar dari mulut saya kalau disuruh berpidato? Sama sekali saya tidak punya pengalaman berpidato.

Perasaan kontras saya alami ketika melamar untuk belajar di IKIP. Saya tidak perlu melalui rangkaian bermacam-macam seleksi. Prosesnya cukup enteng: tinggal mengisi formulir, memilih tiga program studi yang diperbolehkan (lulusan SPG punya pilihan yang amat terbatas), lalu mengirimkan formulir yang sudah diisi. Melamarnya pun dengan perasaan berbunga-bunga. Betapa tidak! Sebenarnya lebih tepat dilamar, bukan melamar. Rektor bersama Kepala Kanwil Depdikbud yang mengundang saya untuk belajar di IKIP.

Begitu diterima sebagai murid SPG, stres saya tidak berkurang, justru bertambah. Stres itu berlangsung setidaknya selama satu semester pertama. Setiap hari bertemu dua makhluk asing: Psikologi dan Ilmu Pendidikan (Pedagogi). Dua mata pelajaran itu ngelmu tuwa bagi otak saya--yang baru sunat ketika lulus SMP. Rupanya Ibu/Bapak Guru melihat gelagat saya. Sebagai penghibur, kolom peringkat di rapor saya diisi angka 1. Itu—saya yakin—semata-mata demi membesarkan hati dan memompa semangat saya agar betah melanjutkan belajar di sekolah berat itu.

Psikologi dan Pedagogi bertahan menjadi menu utama pada semester-semester berikutnya. Keduanya itu induk atau rumpun mata pelajaran. Masing-masing dipecah-pecah menjadi banyak submata pelajaran. Terpaksa saya kunyah semua. Enak tidak enak asal kunyah dan telan. 

Menginjak kelas II (sekarang: XI) mulai ditambah menu baru: MMP—singkatan dari materi, metode, dan penilaian. Semua mata pelajaran SD ada MMP-nya, kecuali Agama dan Olahraga. Untuk calon guru kedua mata pelajaran ini ada sekolahnya tersendiri: PGA dan SGO. Setiap mata pelajaran dibedah materinya: struktur pengetahuan dianalisis dalam rangka merumuskan rangkaian tujuan instruksional yang tersusun secara hierarkis. Tiap-tiap butir tujuan instruksional dirunut alur pencapaiannya untuk mengidentifikasi metode pengajaran yang selaras. Kemudian dirancang sistem penilaiannya; teknik dan instrumennya mesti relevan dengan hasil belajar yang diamanatkan pada rumusan tujuan dan diupayakan dalam desain kegiatan.

Keterampilan membedah MMP itu lalu dipraktikkan dalam kegiatan belajar mengajar. Praktik mengajar itu berlangsung dalam tiga fase: micro teaching dengan teman-teman sejawat memerankan murid, praktik mengajar terbimbing di sekolah latihan, dan terakhir praktik mengajar mandiri di sekolah latihan.

Lambat laun saya menikmati menu belajar di “dapur penggodokan” calon guru itu. Bahkan, kian lama kian kerasan saya di sana. Entah, faktor apa yang menjadi determinan. Mungkin faktor kesiapan mental, seiring pertambahan usia. Atau, barangkali berkat kehangatan ekosistem pembelajaran yang dibangun oleh Ibu/Bapak Guru. Pun tidak mustahil lantaran kehadiran makhluk Tuhan yang sengaja diutus sebagai sumbu obor motivasi.

Kegelisahan kembali mendera begitu saya menerima tanda kelulusan. Ikatan dinas untuk lulusan SPG sudah tidak ada lagi. Bahkan santer tersiar kabar, ijazah SPG bakal tidak laku sebagai tiket untuk menjadi guru SD. Demi perbaikan kualitas, formasi guru SD akan segera diisi lulusan diploma dua (D2). Terlintas kuat keinginan saya untuk menyeberang laut. Konon Kalimantan masih membutuhkan banyak guru. Namun, tekad itu kandas oleh kuatnya gelombang kasih sayang orang tua.

Kemurahan hati Rektor dan Kakanwil itu bagai buah simalakama. Yang bebas hanya tiket masuknya. Kalau sudah masuk, tidak ada perlakuan berbeda dari mahasiswa yang lain: semua biaya mesti ditebus dengan uang. Demi mensyukuri kemudahan yang Tuhan berikan—atau, barangkali juga demi memadamkan niat saya untuk merantau ke luar pulau—keluarga, terutama Kakak kedua sebagai penyandang dana, memenuhi undangan itu. Kalau akhirnya harus kuliah juga, kenapa dulu tidak masuk SMA saja? Begitu gerutu batin saya.

Awal-awal masa kuliah kembali diliputi stres tingkat dewa. Sudah dua tahun saya tidak pernah bersentuhan dengan ilmu yang menjadi menu pokok program studi saya. Di SPG, mata pelajaran itu hanya diberikan satu tahun di kelas I. Praktis, pengetahuan dan keterampilan saya di bidang itu hanya setara lulusan SMP plus satu tahun. Itu pun seandainya masih tersimpan utuh. Padahal sudah dua tahun saya tidak pernah memakainya. Tak pelak, saya lebih banyak bengong di kelas. Apalagi, keterampilan ber-cas cis cus beberapa teman sudah jauh meninggalkan saya. 

Lagi-lagi, Tuhan menggelontorkan kasih sayang-Nya. Yudisium semester perdana mencatat nama saya sebagai satu-satunya pemilik angka tiga koma di antara nama-nama satu kelas. Kemurahan hati Ibu/Bapak Dosen itu pun tak ayal menyulut motivasi saya. Sepanjang delapan semester berturut-turut peringkat hasil yudisium saya tidak pernah bergeser meskipun angkanya pernah satu kali tidak mencapai tiga.

Ketika tinggal menyiapkan skripsi, saya mencoba melamar untuk menjadi guru dan diterima. Selain motif ekonomi, ada keinginan untuk menambah jam terbang mengajar sebelum lulus. Karena beban mengajar saya hanya sedikit, tahun berikutnya saya mengajukan lamaran lagi ke sekolah lain. Dua sekolah saya incar. Salah satu sekolah itu langsung menerima saya ketika menyerahkan surat lamaran. 

Beberapa hari kemudian, kepala sekolah yang satunya datang ke markas saya. Kala itu memang saya tinggal di kantor sekretariat sebuah organisasi kemasyarakatan. Beliau bermaksud memanggil saya untuk mengajar. Sungguh tidak enak perasaan saya. Pak Kepala Sekolah, yang sudah sangat senior, bersusah payah mendatangi saya hanya untuk menerima jawaban yang tidak sesuai ekspektasi. Kentara sekali kekecewaan beliau. Tapi bagaimana lagi? Saya sudah terikat kontrak di sekolah lain—kedua sekolah itu bernaung di satu yayasan yang sama. Kesalahan yang baru saya sadari waktu itu: saya tidak mencabut lamaran setelah diterima di sekolah satunya.

Sambil menimba pengalaman di dua sekolah, pelan-pelan saya menyiapkan skripsi. Kian hari kian kencang berontak kesadaran saya: skripsi saya kelak tidak punya kontribusi terhadap tugas dan fungsi saya sebagai guru. Saya makin penasaran: seperti apa skripsi teman-teman saya? Tidak cukup menengok skripsi teman-teman seangkatan, saya bergerilya di “gudang” skripsi di salah satu sudut perpustakaan kampus. Saya buka skripsi-skripsi karya senior-senior saya. Nihil. Tak satu pun karya tulis ilmiah itu menawarkan resep pembelajaran.

Saya lalu ingat yudisium mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)—program magang mahasiswa calon guru di sekolah. Salah seorang teman sekelas saya dinyatakan tidak lulus. Usut punya usut, ini sebabnya: dia tidak hadir pada salah satu hari dalam masa pembekalan sebelum diterjunkan ke sekolah latihan. Sementara, teman lain yang selama enam minggu menjalani PPL hanya satu kali beberapa menit masuk kelas, justru dinyatakan lulus. Belum sempat mengajar karena ketika itu ia masuk kelas sebagai peer observer, mengamati temannya yang praktik mengajar. Sebagai pengamat, dia hendak mengambil posisi di barisan siswa paling belakang. Untuk keperluan itulah, dia bermaksud meminjam kursi salah satu siswa dan meminta siswa tersebut pindah ke kursi lebih depan yang kosong. Di luar dugaan, si siswa merasa terusir dari tempat duduknya. Mengamuk!

Perundungan yang dialami ketika pertama masuk kelas itu menimbulkan trauma. Selama masa PPL, tidak pernah lagi dia masuk kelas—untuk praktik mengajar ataupun mengamati praktik pengajaran oleh teman sejawat. Ajaibnya, dia lulus PPL! Dapat ditebak, akhirnya dia juga lulus dan diwisuda sebagai sarjana pendidikan, lalu diangkat menjadi guru dan diakui sebagai pendidik profesional.

Ketidakseriusan kurikulum keguruan di perguruan tinggi penyelenggara pendidikan calon guru itulah yang saya curigai sebagai penyebab utama kekarut-marutan pembinaan profesionalisme guru di negeri kita. Dari waktu ke waktu, modusnya tidak pernah berubah: atas nama peningkatan mutu pendidikan, pembinaan profesionalisme guru selalu menjadi proyek masif. Kesan saya, seolah-olah guru-guru itu tidak pernah mengenyam pendidikan calon guru.

Dalam perbincangan Sabtu malam yang diikuti sekitar empat puluh audiens itu, Pak Surachman berteriak lantang, “Guru selalu dijadikan objek yang dimanfaatkan untuk menggelontorkan uang!” Memang demikian kesannya, dan kesan itu sulit dimungkiri. Siklusnya pun relatif ajeg: ganti menteri, evaluasi kebijakan kurikulum beserta segala implementasinya, lalu pelatihan guru. Pada aras verbal, pejabat baru selalu mengatasnamakan pembelaan terhadap guru. Namun, bila diresapi dengan nurani jernih, pernyataan mereka sebenarnya berbunyi, “Wahai, para guru, kalian gagal menjadi guru profesional!”

Kerisauan atas wajah pendidikan itu pula yang, di luar ekspektasi saya, menjadi topik obrolan kami bertiga 2 x 24 jam berikutnya. Bayangan saya, malam itu saya bisa nempil ilmu tulis-menulis dari kedua guru saya itu. Kerendahhatian Mas Budi Maryono barangkali yang menyetir temanya. Sebagai minoritas sekaligus tuan rumah, beliau menghormati tamunya yang mayoritas. Beliau penulis tulen—walaupun tidak mau menyebut penulis sebagai profesinya—yang gemar menjadi guru menulis. Sementara, Pak Imanuel Tri Suyoto guru tulen yang gemar menulis. Sedangkan saya, hanya pernah belajar menjadi guru dan baru mulai belajar menulis.

Perbincangan sahut-menyahut mengalir alami tanpa dirigen. Akhirnya Pak Im, entah sengaja atau keceplosan, membandingkan pendidikan calon guru ala SPG dan ala perguruan tinggi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (PT LPTK). Beliau punya kapasitas yang tidak layak diragukan untuk nyandra kedua model itu. Beliau lulusan SPG—senior saya jauh—sekaligus lulusan PT LPTK. Tidak hanya lulusan PT LPTK, beliau juga pernah disambat untuk mengajar di sebuah PT LPTK.

Mas Budi sempat berkomentar, “Kalau begitu, mengapa SPG tidak dihidupkan lagi saja?” Saya sepakat, dengan catatan: kurikulum keguruannya yang diadopsi di PT LPTK. Pak Im mengamini. Keesokannya saya menjelajah internet. Saya temukan tiga artikel yang menyuarakan kerinduan akan SPG.

Pada judul cerita ini sengaja saya tulis sEKOLAH pENDIDIKAN gURU agar tidak melahirkan singkatan SPG. Tidak harus, bahkan tidak perlu, dibuka kembali sekolah calon guru pada jenjang pendidikan menengah (dulu: SLTA). Cukuplah spirit SPG ditumbuhsuburkan di PT LPTK: serius membangun kompetensi keguruan—kepribadian, pedagogis, dan profesional—para mahasiswa calon guru.


Tabik.

2 komentar:

  1. Masya Allah, saya terkesima membaca artikel Mas GW.Yang kupahami bahwa teman satu ini memiliki pemikiran yang kritis. Bang Imanuel TS, juga pernah satu team pembuat soal EBTA di SDN Pleburan, saya pernah juga menggunakan produk Bang Im berupa kaset record pelajaran BI menyimak. Ide ide nya juga luar biasa. SPG tetap di hati walau saya waktu saat di SPG termasuk dlm perbincangan para bintang. Namun sedikit banyak saya merasakan yang sama. Bhw antara menu di SPG dan LPTK masih intent digarap saat di SPG. TERUS SAMPAIKAN IDE IDE SIAPA TAHU menjadi awal mendobrak ketidaksadaran para penyelenggara LPTK yg sekarang mulai mematok harga cukup selangit. Namun tanggung jawab moril terhadap masa depan mahasiswa tak setara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, sudah berkenan pinarak. Saya hanya sekadar mengeluarkan "uneg-uneg" agar tidak menjadi "udun" bernanah. Perkara dampaknya terhadap para pemangku kuasa dan kebijakan, saya tak pernah merisaukan. Belajar untuk setia pada ekspektasi nol.

      Hapus

Populer