Ketaksengajaan di mata manusia, sudah pasti bukan kebetulan di mata Sang Maha Perencana.
Senin (7/3/2022) malam saya bertemu dengan dua orang guru.
Yang seorang memang benar-benar guru, profesi formalnya. Seorang lainnya suka
menjadi guru di kelas menulis. Kedua-duanya juga penulis. Yang satu guru tulen
yang piawai, gemar, dan rajin menulis. Yang satunya lagi penulis tulen yang
piawai, gemar, dan rajin mengasah keterampilan menulis para penulis pemula.
Pertemuan Sabtu malam berlangsung secara virtual melalui
salah satu platform konferensi video. Adalah Pak SurachmanDimyati, Ph.D. yang mengundang saya. Beliau tinggal di Iowa, Amerika
Serikat dan menjadi dosen dan peneliti di almamaternya, University of Iowa.
Beliau meraih Ph.D. dalam pendidikan fisika dari sana (2001) setelah sebelumnya
lulus M.Ed. dalam pendidikan guru sains dari University of Houston (1988).
Sebelumnya, beliau juga dosen di Universitas Terbuka (UT) selama lebih dari 24
tahun (1991—2015). Sebelumnya lagi, beliau guru di Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) Negeri Bangkalan selama 16 tahun (1975—1991). Di antara masa
pengabdiannya sebagai guru di SPG, beliau juga sempat merangkap mengajar di SMA
Negeri 2 Bangkalan.
Latar belakang beliau sebagai guru SPG dan dosen UT itulah
yang memberanikan saya mengusung tema profesionalisme guru dalam
bincang-bincang malam itu. Dugaan kuat saya, beliau punya wacana komparatif
antara kurikulum keguruan yang berlaku di SPG dan yang ada di perguruan tinggi
penghasil guru. Dengan begitu, beliau bisa berperan sebagai pembanding opini
yang saya paparkan, entah mengonfirmasi atau mengonfrontasi.
Kebetulan—sekali lagi, dalam kacamata saya sebagai makhluk—saya
sempat mencicipi kurikulum keguruan di kedua jenis lembaga penyelenggara
pendidikan guru itu: SPG dan IKIP. Kedua-duanya membuat saya stres di awal dan
di akhir.
Perbedaan suasana psikologis yang mencolok justru terjadi
pada masa melamar. Seleksi masuk SPG saya lalui secara reguler. Salah satunya,
mengikuti tes wawancara. Ketika menunggu giliran wawancara itulah saya
mengalami kecemasan luar biasa. Pelamar yang sedang mendapat giliran wawancara
diminta berpidato. Lancar dan lantang ia berorasi di dalam ruang wawancara,
yang saya tidak tahu ada berapa orang di sana. Saya pucat pasi. Kata apa yang
akan keluar dari mulut saya kalau disuruh berpidato? Sama sekali saya tidak
punya pengalaman berpidato.
Perasaan kontras saya alami ketika melamar untuk belajar di
IKIP. Saya tidak perlu melalui rangkaian bermacam-macam seleksi. Prosesnya
cukup enteng: tinggal mengisi formulir, memilih tiga program studi yang
diperbolehkan (lulusan SPG punya pilihan yang amat terbatas), lalu mengirimkan
formulir yang sudah diisi. Melamarnya pun dengan perasaan berbunga-bunga. Betapa
tidak! Sebenarnya lebih tepat dilamar, bukan melamar. Rektor bersama Kepala
Kanwil Depdikbud yang mengundang saya untuk belajar di IKIP.
Begitu diterima sebagai murid SPG, stres saya tidak
berkurang, justru bertambah. Stres itu berlangsung setidaknya selama satu
semester pertama. Setiap hari bertemu dua makhluk asing: Psikologi dan Ilmu
Pendidikan (Pedagogi). Dua mata pelajaran itu ngelmu tuwa bagi
otak saya--yang baru sunat ketika lulus SMP. Rupanya Ibu/Bapak Guru melihat
gelagat saya. Sebagai penghibur, kolom peringkat di rapor saya diisi angka 1.
Itu—saya yakin—semata-mata demi membesarkan hati dan memompa semangat saya agar
betah melanjutkan belajar di sekolah berat itu.
Psikologi dan Pedagogi bertahan menjadi menu utama pada
semester-semester berikutnya. Keduanya itu induk atau rumpun mata pelajaran.
Masing-masing dipecah-pecah menjadi banyak submata pelajaran. Terpaksa saya
kunyah semua. Enak tidak enak asal kunyah dan telan.
Menginjak kelas II (sekarang: XI) mulai ditambah menu baru:
MMP—singkatan dari materi, metode, dan penilaian. Semua mata pelajaran SD ada
MMP-nya, kecuali Agama dan Olahraga. Untuk calon guru kedua mata pelajaran ini
ada sekolahnya tersendiri: PGA dan SGO. Setiap mata pelajaran dibedah
materinya: struktur pengetahuan dianalisis dalam rangka merumuskan rangkaian
tujuan instruksional yang tersusun secara hierarkis. Tiap-tiap butir tujuan
instruksional dirunut alur pencapaiannya untuk mengidentifikasi metode
pengajaran yang selaras. Kemudian dirancang sistem penilaiannya; teknik dan
instrumennya mesti relevan dengan hasil belajar yang diamanatkan pada rumusan
tujuan dan diupayakan dalam desain kegiatan.
Keterampilan membedah MMP itu lalu dipraktikkan dalam
kegiatan belajar mengajar. Praktik mengajar itu berlangsung dalam tiga
fase: micro teaching dengan teman-teman sejawat memerankan
murid, praktik mengajar terbimbing di sekolah latihan, dan terakhir praktik
mengajar mandiri di sekolah latihan.
Lambat laun saya menikmati menu belajar di “dapur
penggodokan” calon guru itu. Bahkan, kian lama kian kerasan saya di sana.
Entah, faktor apa yang menjadi determinan. Mungkin faktor kesiapan mental,
seiring pertambahan usia. Atau, barangkali berkat kehangatan ekosistem
pembelajaran yang dibangun oleh Ibu/Bapak Guru. Pun tidak mustahil lantaran
kehadiran makhluk Tuhan yang sengaja diutus sebagai sumbu obor motivasi.
Kegelisahan kembali mendera begitu saya menerima tanda
kelulusan. Ikatan dinas untuk lulusan SPG sudah tidak ada lagi. Bahkan santer
tersiar kabar, ijazah SPG bakal tidak laku sebagai tiket untuk menjadi guru SD.
Demi perbaikan kualitas, formasi guru SD akan segera diisi lulusan diploma dua
(D2). Terlintas kuat keinginan saya untuk menyeberang laut. Konon Kalimantan
masih membutuhkan banyak guru. Namun, tekad itu kandas oleh kuatnya gelombang
kasih sayang orang tua.
Kemurahan hati Rektor dan Kakanwil itu bagai buah
simalakama. Yang bebas hanya tiket masuknya. Kalau sudah masuk, tidak ada
perlakuan berbeda dari mahasiswa yang lain: semua biaya mesti ditebus dengan
uang. Demi mensyukuri kemudahan yang Tuhan berikan—atau, barangkali juga demi
memadamkan niat saya untuk merantau ke luar pulau—keluarga, terutama Kakak
kedua sebagai penyandang dana, memenuhi undangan itu. Kalau akhirnya harus
kuliah juga, kenapa dulu tidak masuk SMA saja? Begitu gerutu batin saya.
Awal-awal masa kuliah kembali diliputi stres tingkat dewa.
Sudah dua tahun saya tidak pernah bersentuhan dengan ilmu yang menjadi menu
pokok program studi saya. Di SPG, mata pelajaran itu hanya diberikan satu tahun
di kelas I. Praktis, pengetahuan dan keterampilan saya di bidang itu hanya
setara lulusan SMP plus satu tahun. Itu pun seandainya masih tersimpan utuh.
Padahal sudah dua tahun saya tidak pernah memakainya. Tak pelak, saya lebih
banyak bengong di kelas. Apalagi, keterampilan ber-cas cis cus beberapa
teman sudah jauh meninggalkan saya.
Lagi-lagi, Tuhan menggelontorkan kasih sayang-Nya. Yudisium
semester perdana mencatat nama saya sebagai satu-satunya pemilik angka tiga
koma di antara nama-nama satu kelas. Kemurahan hati Ibu/Bapak Dosen itu pun tak
ayal menyulut motivasi saya. Sepanjang delapan semester berturut-turut
peringkat hasil yudisium saya tidak pernah bergeser meskipun angkanya pernah
satu kali tidak mencapai tiga.
Ketika tinggal menyiapkan skripsi, saya mencoba melamar
untuk menjadi guru dan diterima. Selain motif ekonomi, ada keinginan untuk
menambah jam terbang mengajar sebelum lulus. Karena beban mengajar saya hanya
sedikit, tahun berikutnya saya mengajukan lamaran lagi ke sekolah lain. Dua sekolah
saya incar. Salah satu sekolah itu langsung menerima saya ketika
menyerahkan surat lamaran.
Beberapa hari kemudian, kepala sekolah yang satunya datang
ke markas saya. Kala itu memang saya tinggal di kantor sekretariat sebuah
organisasi kemasyarakatan. Beliau bermaksud memanggil saya untuk mengajar.
Sungguh tidak enak perasaan saya. Pak Kepala Sekolah, yang sudah sangat senior,
bersusah payah mendatangi saya hanya untuk menerima jawaban yang tidak sesuai
ekspektasi. Kentara sekali kekecewaan beliau. Tapi bagaimana lagi? Saya sudah
terikat kontrak di sekolah lain—kedua sekolah itu bernaung di satu yayasan yang
sama. Kesalahan yang baru saya sadari waktu itu: saya tidak mencabut lamaran
setelah diterima di sekolah satunya.
Sambil menimba pengalaman di dua sekolah, pelan-pelan saya
menyiapkan skripsi. Kian hari kian kencang berontak kesadaran saya: skripsi
saya kelak tidak punya kontribusi terhadap tugas dan fungsi saya sebagai guru.
Saya makin penasaran: seperti apa skripsi teman-teman saya? Tidak cukup
menengok skripsi teman-teman seangkatan, saya bergerilya di “gudang” skripsi di
salah satu sudut perpustakaan kampus. Saya buka skripsi-skripsi karya
senior-senior saya. Nihil. Tak satu pun karya tulis ilmiah itu menawarkan resep
pembelajaran.
Saya lalu ingat yudisium mata kuliah Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL)—program magang mahasiswa calon guru di sekolah. Salah seorang
teman sekelas saya dinyatakan tidak lulus. Usut punya usut, ini sebabnya: dia
tidak hadir pada salah satu hari dalam masa pembekalan sebelum diterjunkan ke
sekolah latihan. Sementara, teman lain yang selama enam minggu menjalani PPL
hanya satu kali beberapa menit masuk kelas, justru dinyatakan lulus. Belum
sempat mengajar karena ketika itu ia masuk kelas sebagai peer observer, mengamati
temannya yang praktik mengajar. Sebagai pengamat, dia hendak mengambil posisi
di barisan siswa paling belakang. Untuk keperluan itulah, dia bermaksud
meminjam kursi salah satu siswa dan meminta siswa tersebut pindah ke kursi
lebih depan yang kosong. Di luar dugaan, si siswa merasa terusir dari tempat
duduknya. Mengamuk!
Perundungan yang dialami ketika pertama masuk kelas itu
menimbulkan trauma. Selama masa PPL, tidak pernah lagi dia masuk kelas—untuk praktik
mengajar ataupun mengamati praktik pengajaran oleh teman sejawat. Ajaibnya, dia
lulus PPL! Dapat ditebak, akhirnya dia juga lulus dan diwisuda sebagai sarjana
pendidikan, lalu diangkat menjadi guru dan diakui sebagai pendidik profesional.
Ketidakseriusan kurikulum keguruan di perguruan tinggi
penyelenggara pendidikan calon guru itulah yang saya curigai sebagai penyebab
utama kekarut-marutan pembinaan profesionalisme guru di negeri kita. Dari waktu
ke waktu, modusnya tidak pernah berubah: atas nama peningkatan mutu pendidikan,
pembinaan profesionalisme guru selalu menjadi proyek masif. Kesan saya,
seolah-olah guru-guru itu tidak pernah mengenyam pendidikan calon guru.
Dalam perbincangan Sabtu malam yang diikuti sekitar empat
puluh audiens itu, Pak Surachman berteriak lantang, “Guru selalu dijadikan
objek yang dimanfaatkan untuk menggelontorkan uang!” Memang demikian kesannya,
dan kesan itu sulit dimungkiri. Siklusnya pun relatif ajeg: ganti
menteri, evaluasi kebijakan kurikulum beserta segala implementasinya, lalu pelatihan
guru. Pada aras verbal, pejabat baru selalu mengatasnamakan pembelaan terhadap
guru. Namun, bila diresapi dengan nurani jernih, pernyataan mereka sebenarnya
berbunyi, “Wahai, para guru, kalian gagal menjadi guru profesional!”
Kerisauan atas wajah pendidikan itu pula yang, di luar
ekspektasi saya, menjadi topik obrolan kami bertiga 2 x 24 jam berikutnya.
Bayangan saya, malam itu saya bisa nempil ilmu tulis-menulis
dari kedua guru saya itu. Kerendahhatian Mas Budi Maryono barangkali yang menyetir temanya. Sebagai
minoritas sekaligus tuan rumah, beliau menghormati tamunya yang mayoritas.
Beliau penulis tulen—walaupun tidak mau menyebut penulis sebagai profesinya—yang
gemar menjadi guru menulis. Sementara, Pak Imanuel Tri Suyoto guru tulen yang gemar menulis.
Sedangkan saya, hanya pernah belajar menjadi guru dan baru mulai belajar
menulis.
Perbincangan sahut-menyahut mengalir alami tanpa dirigen.
Akhirnya Pak Im, entah sengaja atau keceplosan, membandingkan pendidikan calon
guru ala SPG dan ala perguruan tinggi lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(PT LPTK). Beliau punya kapasitas yang tidak layak diragukan untuk nyandra kedua
model itu. Beliau lulusan SPG—senior saya jauh—sekaligus lulusan PT LPTK. Tidak
hanya lulusan PT LPTK, beliau juga pernah disambat untuk
mengajar di sebuah PT LPTK.
Mas Budi sempat berkomentar, “Kalau begitu, mengapa SPG
tidak dihidupkan lagi saja?” Saya sepakat, dengan catatan: kurikulum
keguruannya yang diadopsi di PT LPTK. Pak Im mengamini. Keesokannya saya
menjelajah internet. Saya temukan tiga artikel yang menyuarakan kerinduan akan
SPG.
Pada judul cerita ini sengaja saya tulis sEKOLAH
pENDIDIKAN gURU agar tidak melahirkan singkatan SPG. Tidak
harus, bahkan tidak perlu, dibuka kembali sekolah calon guru pada jenjang
pendidikan menengah (dulu: SLTA). Cukuplah spirit SPG ditumbuhsuburkan di PT
LPTK: serius membangun kompetensi keguruan—kepribadian, pedagogis, dan
profesional—para mahasiswa calon guru.
Tabik.
Masya Allah, saya terkesima membaca artikel Mas GW.Yang kupahami bahwa teman satu ini memiliki pemikiran yang kritis. Bang Imanuel TS, juga pernah satu team pembuat soal EBTA di SDN Pleburan, saya pernah juga menggunakan produk Bang Im berupa kaset record pelajaran BI menyimak. Ide ide nya juga luar biasa. SPG tetap di hati walau saya waktu saat di SPG termasuk dlm perbincangan para bintang. Namun sedikit banyak saya merasakan yang sama. Bhw antara menu di SPG dan LPTK masih intent digarap saat di SPG. TERUS SAMPAIKAN IDE IDE SIAPA TAHU menjadi awal mendobrak ketidaksadaran para penyelenggara LPTK yg sekarang mulai mematok harga cukup selangit. Namun tanggung jawab moril terhadap masa depan mahasiswa tak setara.
BalasHapusTerima kasih, sudah berkenan pinarak. Saya hanya sekadar mengeluarkan "uneg-uneg" agar tidak menjadi "udun" bernanah. Perkara dampaknya terhadap para pemangku kuasa dan kebijakan, saya tak pernah merisaukan. Belajar untuk setia pada ekspektasi nol.
Hapus