Langsung ke konten utama

Membangun Growth Mindset (Bagian ke-1 dari 2 Tulisan)

 

Mana pernyataan yang menggambarkan keyakinan, pandangan, sikap, atau kebiasaan Anda?

  1. Kita bisa belajar banyak hal baru, tetapi tidak bisa benar-benar mengubah kecerdasan bawaan kita.
  2. Tidak peduli tingkat kecerdasan yang kita miliki, kita bisa melipatgandakan kapasitasnya.
  3. Jujur, ketika mendapati kesulitan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, saya merasa tidak berbakat di bidang itu.  
  4. Ketika mendapati kesulitan dalam bekerja, saya justru makin berhasrat untuk mengerjakannya, bukan sebaliknya.
  5. Saya paling suka bila bisa menyelesaikan pekerjaan tanpa membuat kesalahan sedikit pun.
  6. Saya menyukai pekerjaan yang membuat saya belajar sekalipun saya membuat banyak kesalahan. 
  7. Saya puas ketika bisa menyelesaikan pekerjaan tanpa mendapati kesulitan berarti.
  8. Saya paling suka ketika menyelesaikan pekerjaan yang menuntut berpikir dan berusaha keras.

Pernyataan 1, 3, 5, dan 7 menunjukkan fixed mindset (pola pikir jumud). Bakat atau kecerdasan diyakini sebagai sumber daya (resource) tak terbarukan, yang terbatas kapasitas dan masa produksinya. Kesulitan dalam mengerjakan sesuatu yang baru dianggap sebagai tanda batas kemampuannya. Keberhasilan diukur dari minimnya kesalahan selama menjalani proses; hasil satu kali kerja dianggap sebagai hasil final. Kemudahan menjadi idaman abadi yang selalu dicari dalam setiap menyelesaikan pekerjaan demi mendapat nilai bagus. Pemilik pola pikir jumud hanya cocok bekerja dengan tugas-tugas rutin yang tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu.

Sebaliknya, pernyataan 2, 4, 6, dan 8 mencerminkan growth mindset (pola pikir bertumbuh). Bakat atau kecerdasan dipandang sebagai modal (capital) yang kapasitasnya bisa dikembangkan terus-menerus. Kesulitan dalam bekerja dianggap sebagai teka-teki yang mesti dipecahkan dalam rangka mencapai kemajuan. Keberhasilan diukur dari banyaknya kesalahan yang dapat diperbaiki; memperbaiki hasil kerja adalah pengalaman berharga dan dijadikan menu wajib dalam proses belajar. Baginya, bekerja adalah proses aktualisasi diri yang melibatkan kreativitas, bukan pengulangan tugas-tugas lama yang bisa diselesaikan sambil rebahan. Orang dengan pola pikir bertumbuh dibutuhkan dalam pekerjaan-pekerjaan dinamis yang selalu berubah menurut konteks ruang dan waktu.

Growth Mindset dan Grit

Mindset seseorang bukanlah sesuatu yang permanen—yang tidak bisa diubah sepanjang hidupnya. Sebagaimana ketika terbentuk, mindset dapat mengalami perubahan—bahkan hingga tingkat ekstrem sekalipun—berkat pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui interaksi intens dengan lingkungan intimnya. Maka, pola asuh lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan mindset  seseorang.

Pola asuh lingkungan yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk mindset seseorang adalah apresiasi atas kegagalan (kritik) dan keberhasilan (pujian). Baik kritik maupun pujian, kedua-duanya memiliki dua kemungkinan dampak: melemahkan atau menguatkan. 

Kritik berdampak melemahkan jika membuat penerimanya frustrasi akibat kegagalannya. Sebaliknya, kritik berdampak menguatkan bila mampu membangkitkan nyali penerimanya untuk melakukan perbaikan atas kegagalannya. Pujian berdampak menguatkan jika membuat penerimanya merasa tertantang untuk meraih lebih banyak kemajuan pada masa yang akan datang. Pujian yang memanjakan penerimanya dengan membuatnya berpuas diri atas capaiannya saat itu, sebaliknya, akan berdampak melemahkan.

Dampak dari kritik dan pujian—melemahkan atau menguatkan—ditentukan oleh dua faktor utama: cara (manner) dan sasaran (target, aim). Cara seseorang mengkritik dan memuji biasanya tampak pada ekspresi verbal dan nonverbal. Sedangkan berdasarkan sasarannya, kritik dan pujian bisa dialamatkan ke tiga objek: pribadi (orangnya), hasil pekerjaannya, atau proses pengerjaannya.

Dalam diskursus pendidikan, rambu-rambu kritik dan pujian sering hanya terfokus pada cara. Padahal, sesantun apa pun kritik atau pujian disampaikan, tetap akan berdampak melemahkan jika salah alamat. Kritik atau pujian yang dialamatkan kepada pribadi orangnya akan membuat orang tersebut merasa divonis (atau memvonis diri) sebagai bodoh atau pintar. Label bodoh cenderung memicu frustrasi, sedangkan label pintar berpotensi memicu kejemawaan. Dua-duanya sama-sama destruktif: memadamkan nyali untuk berusaha lebih baik.

Kritik atau pujian yang dialamatkan kepada hasil kerja akan memancing persepsi bahwa itulah puncak karya (final work) yang bisa diraih. Yang hasil kerjanya dikritik akan menganggap karyanya jelek atau salah total, tanpa ada peluang untuk memperbaikinya. Sementara, yang hasil kerjanya dipuji akan menganggap karyanya baik dan benar sempurna, tanpa ada celah kekurangan yang perlu diperbaiki.

Kritik dan pujian—tentu, dengan cara santun—akan membuat penerimanya terpacu untuk terus-menerus melakukan perbaikan-perbaikan jika dialamatkan kepada proses kerjanya. Kritik terhadap proses berarti menunjukkan usaha yang semestinya dilakukan tetapi pelaku pekerjaan (pembuat karya) yang bersangkutan melewatkannya. Pujian terhadap proses berarti mengakui dan menghargai usaha standar yang telah dilakukan dan memberinya tantangan untuk mencoba alternatif-alternatif lain dalam rangka mencapai hasil lebih baik atau sekadar memperkaya kecakapan.

Pada gilirannya, pola pikir bertumbuh akan melahirkan grit. Secara ringkas, grit dapat diartikan sebagai semangat pantang menyerah (indomitable spirit). Angela Duckworth (2016) mendefinisikan grit  sebagai the power of passion and perseverance (perpaduan kekuatan hasrat dan kegigihan). 

Implementasi di Kelas

Sekolah sebagai salah satu lingkungan intim anak-anak memiliki peran strategis dalam membangun growth mindset. Bagaimana implementasinya di kelas (kegiatan pembelajaran)? Tunggu tulisan bagian ke-2.

(bersambung, insyaallah)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da