Jika mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kita tidak akan menemukan perbedaan yang kentara antara pelatihan dan latihan.
Di kamus resmi Pemerintah itu, kata latihan didefinisikan sebagai “hasil
berlatih” dan ragam cakapan untuk kata berlatih atau pelatihan itu
sendiri. Dua kata dalam bahasa Inggris training (pelatihan) dan practice
(latihan) barangkali dapat membantu mempertegas perbedaan antara keduanya.
Pelatihan (training) lazimnya berlangsung dalam
situasi formal dan durasi terbatas. Ada peserta (trainee) dan pelatih (trainer).
Kurikulumnya diatur secara ketat. Kegiatannya disudahi dengan penyematan status
“berhasil” atau “lulus” (atau, ada jugakah yang menggondol status “gagal”?) dan
predikat “baik” (atau ada jugakah “buruk”) di sertifikat yang diterima peserta.
Sementara itu, latihan (practice) biasanya
berlangsung secara nonformal dalam rentang waktu tak terbatas. Pelaku mengatur
sendiri menu dan porsi kegiatannya. Pengakuan atas keberhasilannya tidak merupa
kertas bertanda tangan dan berstempel. Kepuasan yang dirasakannya sendiri dan
dirasakan oleh pengguna jasanya menjadi tolok ukur autentik keberhasilannya.
Dalam durasi terbatas, pelatihan hanya mengenalkan metode,
teknik, dan prosedur dasar. Peserta hanya sempat mencoba atau mencicipinya.
Dengan jumlah peserta banyak, apalagi bila kolosal, pelatih tidak punya cukup
kesempatan untuk membimbing satu per satu peserta. Dengan demikian, sertifikat
dan segala label yang tertera padanya hanya menyatakan status dan predikat
peserta dalam pelatihan, bukan pemerolehan kecakapan autentik.
Kecakapan (kompetensi) autentik akan diperoleh hanya melalui
latihan terus-menerus tanpa batasan waktu. Tentu, latihan panjang yang dimaksud
bukan sekadar mengulang-ulang keterampilan yang sama. Deliberate and deep
practice, Pak Armala menyebutnya. Setiap detik adalah peluang untuk
melakukan latihan: mengoreksi yang salah, memperbarui yang out of date, dan
melejitkan potensi yang ada.
Ungkapan di poster Pak Armala itu mengungkit keresahan saya
yang sudah kronis. Beberapa kali saya terlibat dalam sejumlah pelatihan seputar
perencanaan pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Tentu Pembaca bisa
menebak, siapa pesertanya.
Saya menganggap kedua materi itu “ilmu” kuno yang abadi.
Artinya, paradigmanya tidak pernah berubah. Paradigma pembelajaran dan
penilaian hasil belajar, yang selalu—katanya—dikoreksi bersamaan dengan
kelahiran kurikulum baru itu, senyatanya tidak pernah berubah dari yang saya
kenal sejak mulai mengenyam pendidikan guru—lebih dari empat windu yang lalu.
Ah, ada yang berubah: istilah yang dipakai untuk menamainya.
Dengan anggapan demikian, saya berasumsi bahwa kedua
keterampilan itu sudah tuntas menjelma kompetensi ketika seseorang dinyatakan
lulus dari pendidikan guru. Namun, fakta berbicara lain. Guru yang menjalani
pendidikan pada masa pemberlakuan kurikulum terkini pun tampak gagap ketika
merancang pembelajaran dan penilaian hasil belajar kekinian. Bahkan, yang lebih
ironis, ada kesan sangat kentara bahwa seolah-olah paradigma keduanya itu belum
mereka kenal sebelumnya.
Kekurangcakapan sebagian (besar?) guru dalam dua kompetensi
pokok keguruan itu selalu menjadi tema sentral dalam ajang pengembangan
profesional guru. Pembaruan kurikulum dari waktu ke waktu juga selalu
menjadikan keduanya sasaran perbaikan. Dan sudah menjadi kelaziman, kehadiran
kurikulum baru senantiasa melahirkan rentetan proyek pelatihan masif.
Efektifkah dampak pelatihan-pelatihan, yang rajin berganti
format dan nama itu, terhadap peningkatan kompetensi guru dalam merancang
pembelajaran dan penilaian hasil pembelajaran? Jika efektif, tentu guru-guru
itu tidak perlu bolak-balik keluar masuk ruang pelatihan dengan materi yang
sama. Bukankah mazhab pembelajaran dan penilaian tidak berubah sejak teori
konstruktivisme diterima di dunia pendidikan?
Ya, pembelajaran yang berpihak kepada murid dan penilaian
(sekarang lebih dipopulerkan sebagai “asesmen”) yang memberdayakan murid itu
bukan mazhab baru. Sejak belajar di sekolah guru pada paruh kedua tahun
1980-an, saya sudah dibimbing mengkhatamkan “fikih” pembelajaran (kala
itu masih disebut “pengajaran”) dan penilaian/asesmen (era itu masih populer
disebut “evaluasi”) serupa.
Lalu mengapa pelatihannya mesti diulang-ulang dengan peserta
yang mayoritas sama dari episode satu ke episode berikutnya? Pasti karena
pelatihan demi pelatihan itu hanya menambah koleksi sertifikat pelatihan,
tetapi tidak menambah bobot latihan. Peserta sekadar mengikuti lalu lulus
pelatihan, bukan berlatih lalu menjadi terlatih. Wallāhu a`lamu biṣṣawāb.
Tabik.
O, sepertinya ini akar masalahnya
BalasHapusKarena akar, perlu energi ekstra untuk mencabutnya.
Hapus