Langsung ke konten utama

Banyak Pelatihan, Kurang Latihan

 


Poster di atas saya jumpai di akun Facebook dan LinkedIn Pak Armala, founder sekolah manajer Human Plus Institute, yang diunggah pada 24 Mei 2022 menjelang pukul 7 pagi. Atas izin beliau, saya menyematkannya di sini.

Jika mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita tidak akan menemukan perbedaan yang kentara antara pelatihan dan latihan. Di kamus resmi Pemerintah itu, kata latihan didefinisikan sebagai "hasil berlatih" dan ragam cakapan untuk kata berlatih atau pelatihan itu sendiri. Dua kata dalam bahasa Inggris training (pelatihan) dan practice (latihan) barangkali dapat membantu mempertegas perbedaan antara keduanya.

Pelatihan (training) lazimnya berlangsung dalam situasi formal dan durasi terbatas. Ada peserta (trainee) dan pelatih (trainer). Kurikulumnya diatur secara ketat. Kegiatannya disudahi dengan penyematan status "berhasil" atau "lulus" (atau, ada jugakah "gagal"?) dan predikat "baik" (atau ada jugakah "buruk") di sertifikat yang diterima peserta.

Sementara itu, latihan (practice) biasanya berlangsung secara nonformal dalam rentang waktu tak terbatas. Pelaku mengatur sendiri menu dan porsi kegiatannya. Pengakuan atas keberhasilannya tidak merupa kertas bertanda tangan dan berstempel. Kepuasan yang dirasakannya sendiri dan dirasakan oleh pengguna jasanya menjadi tolok ukur autentik keberhasilannya.

Dalam durasi terbatas, pelatihan hanya mengenalkan metode, teknik, dan prosedur dasar. Peserta hanya sempat mencoba atau mencicipinya. Dengan jumlah peserta banyak, apalagi bila kolosal, pelatih tidak punya cukup kesempatan untuk membimbing satu per satu peserta. Dengan demikian, sertifikat dan segala label yang tertera padanya hanya menyatakan status dan predikat peserta dalam pelatihan, bukan pemerolehan kecakapan autentik.

Kecakapan (kompetensi) autentik akan diperoleh hanya melalui latihan terus-menerus tanpa batasan waktu. Tentu, latihan panjang yang dimaksud bukan sekadar mengulang-ulang keterampilan yang sama. Deliberate and deep practice, Pak Armala menyebutnya. Setiap detik adalah peluang untuk melakukan latihan: mengoreksi yang salah, memperbarui yang out of date, dan melejitkan potensi yang ada.

Ungkapan di poster Pak Armala itu mengungkit keresahan saya yang sudah kronis. Beberapa kali saya terlibat dalam sejumlah pelatihan seputar perencanaan pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Tentu Pembaca bisa menebak, siapa pesertanya. 

Saya menganggap kedua materi itu "ilmu" kuno yang abadi. Artinya, paradigmanya tidak pernah berubah. Paradigma pembelajaran dan penilaian hasil belajar, yang selalu—katanya—dikoreksi bersamaan dengan kelahiran kurikulum baru itu, senyatanya tidak pernah berubah dari yang saya kenal sejak mulai mengenyam pendidikan guru—lebih dari empat windu yang lalu. Ah, ada yang berubah: istilah yang dipakai untuk menamainya.

Dengan anggapan demikian, saya berasumsi bahwa kedua keterampilan itu sudah tuntas menjelma kompetensi ketika seseorang dinyatakan lulus dari pendidikan guru. Namun, fakta berbicara lain. Guru yang menjalani pendidikan pada masa pemberlakuan kurikulum terkini pun tampak gagap ketika merancang pembelajaran dan penilaian hasil belajar kekinian. Bahkan, yang lebih ironis, ada kesan sangat kentara bahwa seolah-olah paradigma keduanya itu belum mereka kenal sebelumnya.

Kekurangcakapan sebagian (besar?) guru dalam dua kompetensi pokok keguruan itu selalu menjadi tema sentral dalam ajang pengembangan profesional guru. Pembaruan kurikulum dari waktu ke waktu juga selalu menjadikan keduanya sasaran perbaikan. Dan sudah menjadi kelaziman, kehadiran kurikulum baru senantiasa melahirkan rentetan proyek pelatihan masif. 

Efektifkah dampak pelatihan-pelatihan, yang rajin berganti format dan nama itu, terhadap peningkatan kompetensi guru dalam merancang pembelajaran dan penilaian hasil pembelajaran? Jika efektif, tentu guru-guru itu tidak perlu bolak-balik keluar masuk ruang pelatihan dengan materi yang sama. Bukankah mazhab pembelajaran dan penilaian tidak berubah sejak teori konstruktivisme diterima di dunia pendidikan?

Ya, pembelajaran yang berpihak kepada murid dan penilaian (sekarang lebih dipopulerkan sebagai "asesmen") yang memberdayakan murid itu bukan mazhab baru. Sejak belajar di sekolah guru pada paruh kedua tahun 1980-an, saya sudah dibimbing mengkhatamkan "fikih" pembelajaran (walaupun kala itu masih disebut "pengajaran") dan penilaian/asesmen (masa itu masih populer disebut "evaluasi") serupa. 

Lalu mengapa pelatihannya mesti diulang-ulang dengan peserta yang mayoritas sama dari episode satu ke episode berikutnya? Pasti karena pelatihan demi pelatihan itu hanya menambah koleksi sertifikat pelatihan, tetapi tidak menambah bobot latihan. Peserta sekadar mengikuti lalu lulus pelatihan, bukan berlatih lalu menjadi terlatih. Wallāhu a`lamu biṣṣawāb.

Tabik.

Komentar

  1. O, sepertinya ini akar masalahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena akar, perlu energi ekstra untuk mencabutnya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da