"OK. Sabar, ya, Yu."
Terlalu irit. Berkesan pelit, bahkan. Empat kata yang semuanya hemat aksara itu ditulis untuk menjawab permohonan izin. Seorang pegawai terpaksa datang terlambat ke tempat kerja. Ada kewajiban domestik yang mesti ditunaikan terlebih dulu.
Bukan kali pertama dia menghadapi kendala serupa: niatnya untuk berdisiplin terhalang oleh urusan keluarga. Mungkin sebenarnya dia sudah bosan mengulang-ulang permintaan izin datang terlambat. Tidak hanya malu kepada pimpinan dan teman sejawat, dapat dipastikan dia juga menanggung perasaan bersalah kepada institusi. Datang terlambat dan pulang lebih awal menjadi catatan buruk di hari-hari kerjanya. Sudah berbilang bulan dia berjuang untuk melewati ujian berat yang datang menghampirinya tanpa cecala itu.
Bisa jadi, tangannya menggigil kencang ketika mengetik SMS—layanan pesan singkat lewat ponsel, yang populer kala itu—untuk dikirimkan kepada pimpinannya pagi itu. Maklum, pimpinannya baru. Wajar kalau dia masih menerka-nerka dengan penuh keraguan: akankah bos barunya bisa memaklumi keadaannya dan bersikap sebijak pendahulunya? Apalagi, pimpinan barunya itu hanya pocokan. Besar kemungkinan, kualitas kepemimpinannya jauh di bawah standar.
Tiba di tempat kerja, dia langsung menuju kantor pimpinan. Jalannya tergopoh, gaya khas pegawai yang datang terlambat. Belum lagi dia sampai, si Bos sudah keluar dan memapaknya di depan pintu kantor.
"Terima kasih sekali, ya, Pak," kata pegawai itu kepada si Bos. "Baru kali ini saya mendapat jawaban yang membuat hati saya merasa tenang," lanjutnya. Matanya berkaca-kaca. Sekilas terlihat guratan rasa haru membelah ekspresi kelelahan yang gagal disembunyikan dari wajahnya.
***
Pagi ini saya mendapati tulisan Pak Pam—Pambudi Sunarsihanto, Human Resources Director di Blue Bird Group. Semula saya sempat terkecoh. Artikel gres yang diposkan di SDM Cendekia—grup diskusi via platform Telegram—itu diberi judul yang sama dengan judul film layar lebar yang pekan-pekan ini lagi memadati jadwal putar di bioskop-bioskop di seantero negeri.
Pak Pam mengawali tulisannya dengan pujian terhadap film tersebut. "Dunia perfilman Indonesia sudah maju dan sudah mampu membuat film-film yang bagus. Minggu lalu saya nonton film ... (dia tulis judul film dimaksud—Gw)," tulisnya di baris pertama paragraf pertama. Namun, sebelum membuat saya kecewa, dia buru-buru menimpali kalimat kedua itu dengan catatan dalam kurung, "(Don’t worry, tulisan ini tidak mengandung spoiler)."
Ternyata Pak Pam hanya memakai dialog pasangan karakter utama di salah satu adegan dalam film tersebut sebagai jangkar untuk menambatkan inspirasi tulisannya. Dia kupas ketidakpekaan suami kepada kebutuhan istri—penyakit egoisme yang di dunia nyata lazim menjangkiti banyak lelaki—yang tergambar dalam film itu. Lalu dia tarik pelajaran berharga dari adegan film itu ke organisasi kerja.
Tidak seperti Pak Pam, saya tidak akan menampilkan kutipan percakapan suami-istri di film itu. Selain belum—dan mungkin tidak akan pernah—menonton filmnya, saya takut dicurigai sebagai biro iklan yang dibayar untuk mempromosikan film tersebut. Lewat tulisan ala kadarnya ini, saya hanya hendak mendokumentasikan pencerahan yang saya terima dari guru virtual saya itu.
Di dunia kerja, apa pun bisnisnya, tidak jarang dijumpai pimpinan yang memperlakukan anak buah tak lebih seperti tuyul pengepul pundi-pundi perusahaan. Setiap bertemu dengan anak buah, pimpinan tak pernah membahas topik di luar urusan pekerjaan. Setiap kali memanggil karyawan, pimpinan hanya menagih penuntasan target kerja sesuai tenggat yang telah ditetapkan.
Semua percakapan, tatap muka maupun virtual, selalu hadir hanya demi kesejahteraan perusahaan. Karyawan dipandang dan diperlakukan seolah-olah sudah menanggalkan kodratnya sebagai manusia. Pekerja di level teknis operasional hanya diperas ototnya untuk menguras keringatnya, sedangkan pegawai di level manajerial hanya diperas otaknya untuk menguras ide-ide briliannya. Pimpinan cenderung melupakan organ paling vital yang menahbiskan karyawan sebagai sumber daya manusia: hati.
Poin pentingnya, pimpinan mesti meluangkan waktu untuk menyapa hati anak buah. Topik-topik humanistis hendaknya menjadi pembuka setiap komunikasi antara pimpinan dan anak buah. Jika setiap hari komunikasi pimpinan-bawahan hanya berkutat pada urusan pekerjaan, tidak mengherankan kalau trust dan engagement karyawan menjadi rendah. Mereka merasa hanya dimanfaatkan, tidak diperhatikan atau didengarkan.
"Jangan straight to the point. Siapa tahu, anak buah Anda stres di rumah terus. Siapa tahu, dia stres ketemu istrinya tiap hari. Siapa tahu, dia stres karena mungkin gajinya gak cukup, atau bonusnya menurun. Siapa tahu, kariernya gak berkembang. Kasih perhatian, dan tanyakan apa yang Anda bisa bantu," saran Pak Pam.
Masih rumus dari salah seorang penulis buku Seni Navigasi Karier dan Dunia Kerja tersebut, "Sebab, pertanyaan paling hebat yang seorang leader bisa tanyakan bukannya, 'Kapan kamu menyelesaikan pekerjaan ini?' melainkan, 'Apa yang bisa saya bantu untuk membuat kamu lebih sukses lagi?'"
***
Wejangan Pak Pam itu mengingatkan saya kepada insiden kecil belasan tahun silam, yang diceritakan di awal tulisan ini. Tidak terlacak dari mana dan bagaimana pimpinan pocokan itu memperoleh seni memimpin. Ditilik rekam jejaknya, tidak ada clue yang menjadi petunjuk bahwa ia pernah sempat mengenyam ilmu manajemen sumber daya manusia.
Dulu, jauh sebelum tumbuh menjadi "manusia", pernah terdengar sayup-sayup ia melantunkan tembang Asmaradana gubahan R.Ng. Yasadipura itu. Boleh jadi ia mengiaskan hubungan industrial di dunia kerja ibarat perikatan perkawinan. Paningset paling kokoh antara pimpinan dan anak buah bukanlah gaji/upah tinggi (bandha) ataupun pangkat/jabatan mentereng (rupa), melainkan kebertautan antarhati.
Dari hati tumbuh perhatian antarsesama. Bisikan hati pula yang mengejawantah kehati-hatian dalam menjalin hubungan antaranggota tim kerja. Gerak hati para karyawanlah yang menjelma kinerja organisasi, apa pun bisnisnya.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar