Senin (28/02/2022) pagi. Wakinem datang ke rumah Mbakyu. Dia menjadi tamu terakhir yang saya dapati selama dua hari menumpang di sana. Sejak sehari sebelumnya, rumah Mbakyu memang ramai oleh tetamu. Mereka bukan tamu-tamu-nya Mbakyu. Anaknya yang nomor dualah yang mereka cari. Untuk membayar tagihan air. Keponakan saya itu menjadi kasir penerima pembayaran rekening air bersih yang dikelola dusun.
Usai transaksi, Wakinem tak segera pulang. Dia duduk di samping Simbok, yang sudah lebih dulu berangin-angin di bangku panjang di teras. Tampaknya sudah lama dia tidak menghibur mbokdenya. Wakinem dan saya saudara sebuyut (Jawa: naksanak). Mboknya dan Simbok saudara sepupu (Jawa: nakdulur). Kakeknya, adik kandung Nenek.
Sejenak njagongi Simbok, lalu Wakinem beralih topik: curhat. Dia bercerita tentang suka dukanya merawat mertua. Dua-duanya, ayah dan ibu mertuanya, sakit. Untuk merawat fisik mereka yang sakit, Wakinem tidak merasa terbebani. Justru dia sering dibuat tidak nyaman oleh gejolak emosi keduanya. Tidak sebatas umpatan dan caci maki, fitnah keji pun sering dialamatkan kepadanya.
Wakinem istri yang pandai menjaga muruah suaminya. Tak satu pun kata-kata mertuanya dia sampaikan kepada suaminya, baik yang menyangkut dirinya sendiri maupun yang menyinggung suaminya. Semua disimpan rapat-rapat sebagai rahasia. Hingga suatu hari, belum lama berselang, rahasia itu terbongkar. Bukan dari mulut Wakinem, melainkan dari ulah mertuanya sendiri.
Ajaib! Ibu mertuanya, yang sudah berbulan-bulan tidak bisa beranjak keluar rumah, tiba-tiba pergi dari rumah. "Mengungsi" semalam di rumah adiknya dan menginap semalam di rumah anaknya yang nomor dua. Wandi, suami Wakinem, adalah anak ketiga alias bungsu. Alasan minggat yang dikemukakan kepada anak keduanya berbeda dari alasan yang disampaikan kepada adiknya. Dari kakak dan bibinya itulah Wandi baru tahu: ibunya suka rewel kelewat batas kewajaran.
Betapa kaget Wandi mendengar keterangan mereka. Amarah pun nyaris terlampiaskan. Untung, ia punya pendamping bijaksana. Istrinya berhasil meredam emosinya, melunakkan hatinya. Entah, dari mana Wakinem mewarisi jiwa tenang dan legawa sekuat itu. Dia hanya lulusan SD. Jelas, ilmu dan seni mengolah emosi belum diperoleh dari bangku sekolah serendah itu.
Wakinem tidak jemawa. Dia merasa tak cukup untuk menjadi "konselor" tunggal bagi suaminya. Dia dorong-dorong Wandi untuk sering-sering berkumpul dengan sahabat-sahabat lamanya: di masjid atau di rumah-rumah mereka.
Pada masa lajangnya, Wandi punya geng yang solid. Anggotanya sembilan orang remaja. Setiap malam mereka berkumpul dan berkegiatan bersama. Salat Magrib berjemaah di masjid mengawali pertemuan. Setelah berbincang sembari beristirahat sejenak, menjelang isya mereka berangkat ke tempat "tugas": rumah yang dijadikan "sekolah" mengaji. Usia murid-muridnya beragam: mulai pra-SD hingga lanjut usia. Mengajar mengaji itu mereka tekuni setiap malam. "Sekolah" dan rombongan muridnya berganti-ganti, dari ujung barat sampai ujung timur dua dusun. Sebagian wilayah "sekolah" itu belum dialiri listrik. Mereka harus berpenerang obor untuk berangkat dan pulang.
Pada masa itu, keakraban mereka begitu hangat. Seusai mengajar mengaji, mereka "pulang" ke masjid. Biasanya ada obrolan refleksi sebelum tidur. Mungkin juga ada yang melanjutkan bincang-bincang hingga ke dalam mimpinya. Tikar plastik menjadi pelindung mereka dari terpaan angin dan gigitan nyamuk. Pagi selepas subuh kadang mereka tidak langsung pulang. Ada pesta: membakar singkong yang dicabut dari kebun di samping masjid. Atau, kalau lagi beruntung, membeli dua atau tiga bungkus nasi yang dijajakan pedagang keliling. Lalu mereka santap beramai-ramai.
Kekompakan itu lambat laun memudar, seiring dengan perubahan status para anggota geng. Setelah berumah tangga, satu per satu mereka meninggalkan "profesi" profetik itu. Apalagi, beberapa dari mereka pindah domisili: di kampung istrinya atau di kota tempatnya mencari nafkah. Akhirnya, madrasah-madrasah swasembada itu pun bubar tanpa deklarasi. Kumpul bareng biasanya mereka sempatkan ketika "guru" mereka pulang kampung. Itu pun tidak pernah lengkap.
Kehangatan persahabatan Wandi dan geng-nya itu ternyata terekam apik di memori istrinya. Saya tidak ingat, apakah Wakinem dulu juga menjadi murid mereka. Atau, jangan-jangan perjodohan keduanya berawal dari relasi guru-murid itu? Rupanya, hingga kedua anaknya beranjak remaja, Wakinem masih lancar "memutar kaset rekaman" kebiasaan mereka dulu: saling urun gagasan untuk mencari solusi atas masalah sahabatnya, di samping, tentu, sering membahas masalah bersama.
Pun pengaruh "guru" mereka terhadap perkembangan dan pembentukan pola pikir dan tata laku murid-muridnya, tampaknya terpatri lekat pada kenangan Wakinem. Demi melihat sang "guru" datang, dia memberi tahu suaminya. Dia anjurkan suaminya untuk beranjangsana menemui sang "guru", yang hanya butuh menyeberang jalan raya untuk sampai. Demikian kuat keinginannya membantu suami menemukan katalisator untuk menetralisasi emosinya akibat rentetan perilaku aneh kedua orang tuanya yang menyertai sakit mereka.
Begitukah makna pesan ini: "Katakanlah, 'Setiap orang beramal menurut syākilah masing-masing.' Maka Tuhanmu lebih mengetahui, siapa yang perjalanannya lebih berhaluan.' (Q.S. 17: 84)?
Tiap-tiap diri punya syākilah (modal dan moda) masing-masing. Setiap individu punya peluang untuk beramal secara optimal dengan syākilah yang dianugerahkan kepadanya. Setiap hamba hanya dibebani amanah sesuai dengan syākilah-nya. Ada yang berpeluang beramal dengan harta sebagai syākilah-nya. Ada yang syākilah-nya berupa tenaga dan keterampilan kasar ataupun teknis. Ada pula yang ber-syākilah-kan ilmu pengetahuan ataupun hikmah. Ada lagi yang syākilah-nya menjelma jabatan dan kekuasaan atau wewenang yang melekat padanya.
Masing-masing berhak meniti jalan pengabdian kepada Sang Khalik dan pelayanan kepada sesama dengan berbekal, berpeta, berpelita, dan berkendara syākilah yang dititipkan kepadanya. Seperti lakon yang diperankan oleh "guru"-nya Wandi dan geng-nya itu; boleh jadi ia absen dari amal berbasis harta, jabatan, atau apa pun yang kasatmata. Barangkali bukan itu syākilah yang diamanahkan kepadanya.
Masing-masing punya syākilah, yang dengannya ia bisa beramal dan atasnya ia dimintai pertanggungjawaban. Maka, tak ada alasan untuk berkecil hati melihat amal orang lain yang berbeda syākilah. Pun tak pantas untuk menyia-nyiakan syākilah yang menjadi amanahnya.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar