3 Agu 2022

Sekali Kawan, Selamanya Dulur?

Berkemah di kawasan Baturraden, Banyumas, bersama Doktor Alief (kerah biru)

Judul tulisan ini pernah menjadi penutup sebuah tulisan di blog ini dalam versi bahasa Jawa: Sepisan Kekancan, Selawase Dumulur.

Slogan tersebut, baik versi bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, menghasilkan singkatan yang sama: SKSD. Itu bukan kebetulan, melainkan hasil modifikasi—setengah dipaksakan—agar tidak mengubah singkatannya. Jika diindonesiakan secara apa adanya, sepisan kekancan, selawase dumulur akan menjadi "sekali berkawan, selamanya menyaudara". Demi tetap SKSD, imbuhan ber- dan meng- harus rela dilesapkan. Toh, maknanya tidak bergeser.

Seberapa pentingkah singkatan SKSD itu hingga harus dijaga sedemikian rupa? Itulah ajaibnya. 

Mulanya SKSD lahir dari kelakar belaka. Beberapa gelintir—benar-benar hanya sedikit—pekerja di sebuah lembaga swasta suka jalan-jalan bareng. Acaranya hampir selalu dadakan. Kadang mereka berangkat setelah jam kerja berakhir, adakalanya pada hari libur. Pesertanya tidak tentu. Pokoknya, siapa yang mau dan bisa, boleh ikut. Tujuannya juga tidak tentu. Tidak jarang destinasinya dirembuk dan diputuskan dalam perjalanan.

Suatu sore mereka—sekitar lima orang—membuat acara makan-makan di Tuntang, lebih kurang 27 km dari tempat kerja. Menunya istimewa: gudangan dan wader goreng. Dalam perjalanan kembali, mereka mampir rehat di sebuah masjid, 200-an meter dari warung makan. Di serambi masjid itulah SKSD lahir.

"Sebaiknya klub kita ini punya nama, kok," celetuk salah seorang dari mereka.

"Setuju," sahut temannya, "Apa, ya, sebaiknya namanya?"

"Harus yang unik," usul teman yang lain.

"Yang lucu saja," pendapat teman lainnya.

Salah seorang yang lain lagi menyambar, "SKSD saja."

"Apa itu," tanya teman-temannya bersahutan.

Si pengusul menjawab, "Seneng kluyuran sakarepe dhewe."

Spontan tetapi pas untuk menyifati mereka. Gemar berkeluyuran sesuka hati, bahasa Indonesianya.

Sejak punya "nama", mereka intens unjuk eksistensi. Satu jaket dan dua kaus oblong seragam pun dibuat. Salah satu kaus itu memuat sepuluh varian slogan kepanjangan SKSD di sisi depannya. Masing-masing menggambarkan "tradisi" mereka. Sesuk kerja saiki dolan (besok bekerja, sekarang melancong). Saiki karep sesuk dadi (sekarang punya ide, besok terwujud). Saiki kudu sabar dhisik (sekarang harus bersabar dulu). Saling kirim seuntai doa. Sering kehudjanan sepandjang djalan (terasa maksanya, kan?). Sangu kunci sekrup drei (berbekal kunci pas, sekrup, obeng). Semakin ketagihan suasana desa. Suka kumpul suka damai. Sugih kanca sugih dulur (kaya teman, kaya saudara). Dan tentu seneng kluyuran sakarepe dhewe.

Dua slogan pertama mencerminkan kebiasaan membuat acara dadakan, tanpa perencanaan matang. Saiki kudu sabar dhisik menggambarkan sikap mereka ketika mengalami paceklik uang saku. Semua, yang pergi dan yang tidak bisa ikut, harus saling kirim seuntai doa. Ketika melancong pada musim hujan, mereka sering kehudjanan sepandjang djalan. Kalau tujuannya jauh, mereka biasa sangu kunci, sekrup, dan drei untuk berjaga-jaga. 

Pengalaman mencicipi eksotisme desa-desa yang pernah dikunjungi atau sekadar dilalui membuat mereka semakin ketagihan suasana desa. Perlakuan kepada teman akrab, teman baru, teman lama, dan orang-orang yang belum dikenal tidak dibeda-bedakan karena mereka suka kumpul dan suka damai. Sikap momor (mudah bergaul) dan momot (bisa menerima perbedaan) itu membuat mereka sugih kanca sugih dulur.

Adakalanya kepanjangan SKSD juga dipakai sebagai "prasasti" untuk mengabadikan kenangan unik. Pengalaman pada 2016, misalnya, ketika empat orang SKSDian melakukan touring ke Pacitan. Pagi hingga siang mereka menjajal ketahanan fisik dengan berjemur di Pantai Teleng Ria dan Pantai Pidakan sambil berpuasa Arafah. Sorenya mereka bertolak ke Srau untuk menghayati suasana malam takbiran sambil berkemah di bibir pantai. Paginya mereka mencari masjid terdekat untuk menunaikan salat Iduladha bersama masyarakat dusun setempat. Tak dinyana, pengurus masjid mendaulat tetamu tak dikenal itu untuk menjadi imam dan khatib. Tak ayal, jadilah varian baru SKSD: sinambi kemah sisan dakwah (sambil berkemah sekalian berdakwah).

Berbasah-basah di Curug Bajing, Petungkriyono, Kab. Pekalongan, dipandu Mas Andre (mengangkat kedua tangan)

Sejauh ini SKSD lebih melukiskan tradisi ketimbang nama. Tradisi dalam hal ini bisa merujuk kepada banyak hal: kebiasaan, sikap, pandangan, keyakinan, atau pengalaman. Untuk disebut sebagai nama, toh SKSD justru mengundang pertanyaan muskil: nama apa? SKSD bukan organisasi. Tidak ada struktur keanggotaan, apalagi kepengurusan. Para penyokongnya (SKSDian) tidak terikat oleh definisi dan kriteria apa pun.

Satu-satunya kesamaan yang dimiliki para SKSDian adalah takdir yang sempat membawa mereka ke satu ladang pengabdian yang sama. Ada yang masih aktif bekerja di sana, ada yang sudah pensiun, ada pula yang sudah beralih ke pekerjaan atau tempat kerja lain. Di antara para SKSDian ada yang mengabdi di lembaga itu selama puluhan tahun sampai pensiun. Ada yang bertahan hanya beberapa tahun. Ada pula yang hanya mencicipi pengalaman dalam hitungan bulan. Ada yang sempat mengenyam pahit getirnya tugas manajerial. Ada juga yang setia pada pekerjaan kerah biru sejak masuk hingga pensiun.

Kesadaran berkawan dan hasrat untuk melanggengkan persaudaraan itulah pengikat SKSDian. Definisi berkawan pun mengalami perluasan. Kenyataannya, tidak semua SKSDian saling kenal. Ada SKSDian yang mulai mengabdi ketika SKSDian lain sudah meninggalkan lembaga tersebut. Jadi, tidak jarang acara touring menjadi ajang perkenalan antargenerasi SKSDian.

Kultur pergaulan antar-SKSDian kental dengan egalitarianisme. Selisih usia, perbedaan status dan jabatan dalam struktur organisasi kerja, dan perbedaan-perbedaan lain tidak menghalangi mereka untuk membaur dalam kehangatan dan keseruan di setiap aktivitas. Mereka yang baru saling kenal pun tidak canggung untuk terlibat dalam perbincangan serius ataupun santai. Tidak peduli pertemuan perdana, sesama SKSDian saling menghalalkan sikap SKSD: sok kenal sok dekat.

Berpamitan kepada Pak Surono dan istri (ke-2 dan ke-1 dari kanan)
untuk melanjutkan perjalanan ke Dieng setelah transit semalam di Temanggung

Ketika nafsu touring lagi kambuh, SKSDian googling untuk mendapatkan referensi destinasi wisata. Kalau sudah menemukan objek yang menjadi target kunjungan dan ada kawan yang berasal dari atau tinggal di wilayah sekitarnya, SKSDian menghubungi kawan tersebut.

"Di sekitar situ ada hotel murah, Bos?"

"Gampang. Beres. Kapan?"

Yang ditanya langsung paham tanpa perlu penjelasan vulgar. Pada hari H tanggal T yang sudah disepakati, ia pun SKSD: siap kamar, sarapan, dll. Kamar-kamar rumahnya disulap menjadi hotel. Tidak sekadar murah, penginapan untuk pasukan turis backpackers itu disediakan secara gratis. Sudah gratis, masih ditambah bonus sarapan lagi. Transportasi, konsumsi, tiket masuk objek kunjungan, dan akomodasi selama tour masuk kategori dll.

"Berapa duit kami harus mengganti?" tanya bendahara touring.

"SKSD," jawab host sekaligus guide lokal itu.

"Servis komplet sampean djamin," sorak salah seorang SKSDian dalam batin, menakwilkan.

Begitulah arti SKSD pada Tour de Purwokerto, 29—31 Juli 2022. Demikian pula yang terjadi pada Tour de Petungkriyono, 5—6 Desember 2020. Arti serupa juga mewarnai Tour de Dieng, 12—13 Oktober 2013.

Akankah "sekali kawan, selamanya dulur" terus mendarah daging pada insan-insan SKSD? Waktu yang akan menjawab. Yang pasti, ayat SKSD yang pertama turun berbunyi "seneng kluyuran sakarepe dhewe". Bila kelak berkembang mantra-mantra turunan yang berbau sakral, filosofis, ideologis, ekonomis, taktis, pragmatis, oportunistis, ataupun sekadar lucu-lucu manis, boleh jadi itu bonus—efek samping belaka.

Tabik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer