Langsung ke konten utama

Ketika Sekolah (Tak) Tergoda Atribut Semu

"Kau ini bagaimana? Dipercaya jadi jago kecamatan, kok, enggak serius?"

Pejabat pemegang otoritas bidang pendidikan tingkat kecamatan menegur saya. Sekitar tiga bulan sebelumnya, sekolah kami ditunjuk sebagai kontestan dalam lomba sekolah sehat (LSS) tingkat kota. Pada tahun yang sama, satu sekolah lain di kecamatan kami maju ke tingkat nasional pada ajang lomba serupa setelah menyabet gelar juara I tingkat provinsi pada tahun sebelumnya.

Saya bertanya kepada kepala sekolah duta provinsi: berapa dana yang sudah dihabiskan untuk memoles wajah sekolahnya dan berapa dana yang sudah diterima sebagai hadiah juara tingkat kota dan provinsi. Jawabannya menciutkan nyali saya untuk berjibaku. Total nilai hadiah yang terkumpul tidak mencapai lima persen dari biaya permak yang sudah keluar.

Saya mulai berhitung. Untuk memenuhi kriteria sekolah sehat, sekolah kami masih harus menambah sejumlah sarana dan prasarana. Kebutuhan itu tidak tercantum di dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang sudah disahkan sebelum memasuki tahun ajaran tersebut. Kalau kami nekat berutang untuk membiayai pengadaan sarana/prasarana baru itu, seandainya menang di tingkat nasional pun, hadiahnya jauh dari cukup untuk melunasinya.

Seperti sekolah yang sedang maju LSS ke tingkat nasional, sekolah kami swasta. Yayasan yang tertib administrasi tentu tidak berkenan mengabulkan proposal belanja di luar anggaran. Apalagi, nilai belanjanya cukup besar.

Memenangi LSS itu baru kemungkinan. Ya, mungkin sekolah kami akan dinobatkan sebagai juara sekolah sehat tingkat kota, provinsi, atau nasional. Secara fisik, sekolah kami punya peluang untuk dinyatakan lebih sehat daripada sekolah-sekolah lain yang menjadi kompetitor kami. Namun, di balik fisik yang digelari sehat itu, sekolah kami rapuh di anggaran. Diakui sehat secara fisik itu baru mungkin, sedangkan mengalami sakit secara finansial itu sudah pasti.

"Tidak serius bagaimana, Pak?" tanya saya.

"Lha wong dokumen yang dikirim saja hanya fotokopian gitu, kok."

Kesempatan untuk menolak—bahkan, menawar pun—titah untuk berlaga di ajang LSS itu tidak ada. Perintah itu serta merta disampaikan dalam rapat dinas bersama para kepala sekolah sekecamatan. Tidak ada negosiasi sebelumnya. Sekadar pemberitahuan pun nihil.

Bila tidak mungkin menolak, masih ada kemungkinan: mengelak. Saya menemukan celah untuk lolos dari jebakan maut itu. Tahap pertama dalam penjurian LSS adalah penilaian administrasi. Disebutkan, dokumen semacam profil sekolah sehat yang diterima panitia harus asli. Bakat nakal saya mendapatkan panggung. Dokumen tetap kami—hanya berdua dengan deputi bidang humas dan sarana/prasarana—siapkan secara lengkap. Konsep sekolah sehat kami paparkan di sana. Baru sebatas konsep, angan-angan, karena kami belum mengimplementasikan seluruhnya.

Dapat dipastikan, sekolah kami gugur di tahap pertama: penilaian administrasi. Alhasil, tidak ada visitasi tim penilai ke sekolah kami. Saya tidak membantah titah atasan. Saya hanya mengelak dari iming-iming yang akan menyengsarakan. Gelar, piala, dan piagam sebagai pemenang LSS memang bisa menjadi atribut mentereng. Namun, mengejar ambisi dadakan seperti itu akan mendatangkan penyakit organisasi: carut-marut tata kelola keuangan, setidaknya.

"Penunjukan sekolah kami itu serius, to?" saya balik bertanya.

Kalau serius, semestinya penunjukan itu dilakukan selambat-lambatnya tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian, sekolah yang ditunjuk bisa memprogramkan LSS dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS). Kebutuhan biaya bisa dianggarkan. Pembagian tugas personel bisa dijabarkan. Langkah-langkah kerja bisa disusun.

Saya justru merasa serius menyikapi penugasan yang tidak serius itu. Kalau tidak serius, bisa saja saya membujuk yayasan untuk menggelontorkan dana pengadaan dan perbaikan sarana/prasarana. Dengan bahasa kekuasaan, mudah saja saya mengerahkan personel untuk memoles tampilan sekolah. Toh saya bisa menyusun narasi ilusif untuk meyakinkan yayasan dan bawahan bahwa menjadi juara LSS akan mengibarkan nama sekolah di mata khalayak.

Mengapa itu tidak saya lakukan? Ya, karena saya serius menakar derajat kesehatan sekolah kami. Lingkungan fisik memang bisa disulap dalam sekejap agar berkesan sehat. Itu pun sudah cukup ampuh untuk mengelabui juri yang memotret profil kesehatan sekolah hanya beberapa jam—atau, bahkan beberapa menit—selama visitasi. Sementara, saya merekamnya secara real time dari hari ke hari, dari menit ke menit. Yang terekam tidak sekadar tampilan lingkungn fisik. Ada sisi yang jauh lebih signifikan untuk menggambarkan potret kesehatan sekolah: perilaku warganya.

Rekaman autentik perilaku sehari-hari kami masih jauh dari kriteria budaya hidup sehat. Seandainya kami ngotot maju dalam LSS dan berhasil membuat juri silau hingga memenangkan kami, apa yang saya dapatkan kemudian? Tidak mustahil kami akan terjebak di dalam kepuasan palsu: begini saja sudah juara, kok. Dus, kami akan nyaman melanggengkan budaya hidup taksehat. Mburu uceng kelangan deleg, kata pepatah Jawa.

Lain cerita seandainya gaya hidup sehat sudah menjadi budaya yang mendarah daging di komunitas sekolah. Amanah untuk bertarung dalam LSS itu akan saya manfaatkan sebagai senjata untuk menodong yayasan. Ajang LSS menjadi wasilah untuk menutup kekurangan sarana/prasarana dan memperbaiki tata lingkungan sekolah. Kalau kalah, kami tidak rugi dan tidak merugikan. Kalau menang, kami tidak menyembunyikan kepalsuan.

Setiap atribut yang disandang mesti melambangkan cerita asli dan citra sejati. Bukankah to be itu lebih memuaskan daripada to get?


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da