"Kau ini bagaimana? Dipercaya jadi jago kecamatan, kok, enggak serius?"
Pejabat pemegang otoritas bidang pendidikan tingkat kecamatan menegur saya. Sekitar tiga bulan sebelumnya, sekolah kami ditunjuk sebagai kontestan dalam lomba sekolah sehat (LSS) tingkat kota. Pada tahun yang sama, satu sekolah lain di kecamatan kami maju ke tingkat nasional pada ajang lomba serupa setelah menyabet gelar juara I tingkat provinsi pada tahun sebelumnya.
Saya bertanya kepada kepala sekolah duta provinsi: berapa dana yang sudah dihabiskan untuk memoles wajah sekolahnya dan berapa dana yang sudah diterima sebagai hadiah juara tingkat kota dan provinsi. Jawabannya menciutkan nyali saya untuk berjibaku. Total nilai hadiah yang terkumpul tidak mencapai lima belas persen dari biaya permak yang sudah keluar.
Saya mulai berhitung. Untuk memenuhi kriteria sekolah sehat, sekolah kami masih harus menambah sejumlah sarana dan prasarana. Kebutuhan itu tidak tercantum di dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang sudah disahkan sebelum memasuki tahun ajaran tersebut. Kalau kami nekat berutang untuk membiayai pengadaan sarana/prasarana baru itu, seandainya menang di tingkat nasional pun, hadiahnya jauh dari cukup untuk melunasinya.
Seperti sekolah yang sedang maju LSS ke tingkat nasional, sekolah kami swasta. Yayasan yang tertib administrasi tentu tidak berkenan mengabulkan proposal belanja di luar anggaran. Apalagi, nilai belanjanya cukup besar.
Memenangi LSS itu baru kemungkinan. Ya, mungkin sekolah kami akan dinobatkan sebagai juara sekolah sehat tingkat kota, provinsi, atau nasional. Secara fisik, sekolah kami punya peluang untuk dinyatakan lebih sehat daripada sekolah-sekolah lain yang menjadi kompetitor kami. Namun, di balik fisik yang digelari sehat itu, sekolah kami rapuh di anggaran. Diakui sehat secara fisik itu baru mungkin, sedangkan mengalami sakit secara finansial itu sudah pasti.
"Tidak serius bagaimana, Pak?" tanya saya.
"Lha wong dokumen yang dikirim saja hanya fotokopian gitu, kok."
Kesempatan untuk menolak—bahkan, menawar pun—titah untuk berlaga di ajang LSS itu tidak ada. Perintah itu serta-merta disampaikan dalam rapat dinas bersama para kepala sekolah sekecamatan. Tidak ada negosiasi sebelumnya. Sekadar pemberitahuan pun nihil.
Bila tidak mungkin menolak, masih ada kemungkinan: mengelak. Saya menemukan celah untuk lolos dari jebakan maut itu. Tahap pertama dalam penjurian LSS adalah penilaian administrasi. Disebutkan, dokumen semacam profil sekolah sehat yang diterima panitia harus asli. Bakat nakal saya mendapatkan panggung. Dokumen tetap kami—hanya berdua dengan deputi bidang humas dan sarana/prasarana—siapkan secara lengkap. Konsep sekolah sehat kami paparkan di sana. Baru sebatas konsep, angan-angan, karena kami belum mengimplementasikan seluruhnya.
Dapat dipastikan, sekolah kami gugur di tahap pertama: penilaian administrasi. Alhasil, tidak ada visitasi tim penilai ke sekolah kami. Saya tidak membantah titah atasan. Saya hanya mengelak dari iming-iming yang akan menyengsarakan. Gelar, piala, dan piagam sebagai pemenang LSS memang bisa menjadi atribut mentereng. Namun, mengejar ambisi dadakan seperti itu akan mendatangkan penyakit organisasi: carut-marut tata kelola keuangan, setidaknya.
"Penunjukan sekolah kami itu serius, to?" saya balik bertanya.
Kalau serius, semestinya penunjukan itu dilakukan selambat-lambatnya tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian, sekolah yang ditunjuk bisa memprogramkan LSS dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS). Kebutuhan biaya bisa dianggarkan. Pembagian tugas personel bisa dijabarkan. Langkah-langkah kerja bisa disusun.
Saya justru merasa serius menyikapi penugasan yang tidak serius itu. Kalau tidak serius, bisa saja saya membujuk yayasan untuk menggelontorkan dana pengadaan dan perbaikan sarana/prasarana. Dengan bahasa kekuasaan, mudah saja saya mengerahkan personel untuk memoles tampilan sekolah. Toh saya bisa menyusun narasi ilusif untuk meyakinkan yayasan dan bawahan bahwa menjadi juara LSS akan mengibarkan nama sekolah di mata khalayak.
Mengapa itu tidak saya lakukan? Ya, karena saya serius menakar derajat kesehatan sekolah kami. Lingkungan fisik memang bisa disulap dalam sekejap agar berkesan sehat. Itu pun sudah cukup ampuh untuk mengelabui juri yang memotret profil kesehatan sekolah hanya beberapa jam—atau, bahkan beberapa menit—selama visitasi. Sementara, saya merekamnya secara real time dari hari ke hari, dari menit ke menit. Yang terekam tidak sekadar tampilan lingkungn fisik. Ada sisi yang jauh lebih signifikan untuk menggambarkan potret kesehatan sekolah: perilaku warganya.
Rekaman autentik perilaku sehari-hari kami masih jauh dari kriteria budaya hidup sehat. Seandainya kami ngotot maju dalam LSS dan berhasil membuat juri silau hingga memenangkan kami, apa yang saya dapatkan kemudian? Tidak mustahil kami akan terjebak di dalam kepuasan palsu: begini saja sudah juara, kok. Dus, kami akan nyaman melanggengkan budaya hidup taksehat. Mburu uceng kelangan deleg, kata pepatah Jawa.
Lain cerita seandainya gaya hidup sehat sudah menjadi budaya yang mendarah daging di komunitas sekolah. Amanah untuk bertarung dalam LSS itu akan saya manfaatkan sebagai senjata untuk menodong yayasan. Ajang LSS menjadi wasilah untuk menutup kekurangan sarana/prasarana dan memperbaiki tata lingkungan sekolah. Kalau kalah, kami tidak rugi dan tidak merugikan. Kalau menang, kami tidak menyembunyikan kepalsuan.
Setiap atribut yang disandang mesti melambangkan cerita asli dan citra sejati. Bukankah to be itu lebih memuaskan daripada to get?
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar