2 Agu 2022

Teja Terbuka Menjelang Bukateja

Tukang tambal mulai melepas ban WinAir100

Selepas zuhur, matahari sedang terik-teriknya. Tiga sepeda motor beriringan melintasi jalan dari Ciberem, Sumbang, Banyumas menuju Semarang pada Ahad, 31 Juli 2022. Sebagian ruas jalan berlapis aspal dan sebagian yang lain berlapis beton.

Keluar dari kota Purbalingga, WinAir-100 yang berjalan paling depan sempat tersesat. Ketika iring-iringan tiga sepeda motor sampai di simpang tiga Bojong, lampu lalu lintas menyala hijau. Tanpa ragu, WinAir-100 mengambil arah lurus ke selatan. Motor kedua ikut. Beruntung, pengendara motor ketiga cukup hafal jalur di sana. Sambil berbelok ke kiri, ia memberi teman-temannya isyarat dengan klaksonnya.

Dua motor yang telanjur menyeberang segera menepi lalu berbalik arah. Lampu lalu lintas menyala merah, memaksa keduanya berhenti sebelum berbelok ke kanan. Tak berselang lama, lampu menyala hijau. Kedua motor berjalan menyusul teman mereka yang menunggu beberapa meter di timur pertigaan.

Di atas beton keras yang tengah terpanggang panas matahari, ketiganya lalu melaju lebih kencang dari sebelumnya. Maklum, arus lalu lintas Bojong—Bukateja siang itu tidak begitu padat. WinAir-100 kembali mengambil posisi terdepan. Bukan karena lajunya paling kencang. Justru karena kapasitas mesinnya menyulitkan ia mengejar kecepatan dua temannya, WinAir-100 selalu menerima privilese menjadi komandan regu. Kalau di belakang, ia akan mudah kehilangan jejak teman-temannya.

Baru beberapa ratus meter menikmati jalanan lengang, WinAir-100 kembali menepi dan berhenti. Pengendaranya turun. Penumpangnya juga turun. Ban belakang diperiksa dan ... ups! Kempis. Udaranya habis.

Dua motor lainnya berjalan perlahan. WinAir-100 dituntun lebih pelan. Tidak sampai 100 meter di depan sudah didapati bengkel tambal ban. WinAir-100 dituntun menyeberang ke sisi selatan jalan. Dua motor yang lain menunggu di sisi utara.

Pembonceng WinAir-100 lebih dulu sampai di seberang. Ia menyapa seseorang yang tengah duduk di teras kosong—sepertinya calon kios—di sebelah kios yang lebih kecil. Tidak terdengar apa yang ia katakan. Mungkin ia menanyakan di mana tukang tambal ban yang membuka bengkel di situ. Jawaban yang ditanya juga tidak terdengar. Telunjuk tangannya menunjuk ke dadanya sendiri.

Laki-laki tua itu berdiri menyambut kedatangan WinAir-100. Lagi-lagi telunjuknya menjadi alat komunikasi yang lebih dominan daripada lisannya. Dia arahkan agar WinAir-100 distandarkan di depan kios mininya. Pengendara—yang sementara berubah peran menjadi penuntun—WinAir-100 menuruti aba-abanya.

Pak Tua menyiapkan peralatan tambal ban. Gerakannya lamban. Tenaganya seperti tidak cocok untuk melakukan pekerjaan tambal ban. Tangan kirinya tampak susah dikoordinasikan. Tiga batang pencungkil ban satu per satu diambil lalu ditaruh di samping motor yang sudah berdiri tegak menunggu "operasi".

Pengendara WinAir-100 mendekati Pak Tua. Badannya dibungkukkan demi menyetarakan kepalanya dengan tinggi badan Pak Tua.

"Bapak punya ban baru?" tanyanya.

Yang ditanya mengangguk. Sepertinya dia mengatakan sesuatu, tetapi tidak terdengar jelas.

"Kalau ada, bannya diganti yang baru saja, ya, Pak," pintanya.

Pak Tua kembali mengangguk sambil mulai beraksi. Masih seperti sebelumnya, gerakan kedua tangannya tidak bisa dibilang cekatan. Bukan karena malas, melainkan memang tenaganya kurang. Tampaknya juga ada gangguan pada saraf motoriknya. Cukup lama dia mencungkil-cungkil tepian ban luar yang melekat pada pelek. Belum berhasil.

WinAir-100 memakai pelek bertapak lebar. Itu sering menjadi biang kesulitan untuk melepaskan ban luar. Tidak semua tukang tambal ban bisa melepaskannya dengan mudah. Pada pelek seperti itu,  cengkeraman ban terasa lebih kencang dibanding pada pelek biasa. Dibutuhkan teknik khusus untuk melepaskannya.

Pak Tua mengerahkan segenap kekuatannya. Berbagai teknik pencungkilan pun dicobanya. Namun, ban tak kunjung terangkat ke luar pelek. Dia angkat ember—tampaknya bukan ember asli buatan pabrik—berisi air setengahnya. Sepasang tangannya tampak gemetar. Setelah ember diletakkan, air di dalamnya disauk dengan tangan kanannya lalu diguyurkan di sela antara ban dan pelek.

"Pakai air sabun, Pak," kata pengendara WinAir-100 menyarankan.

Tidak ada respons, ucapan ataupun isyarat. Pak Tua kembali menekuni usahanya untuk melepaskan ban dari peleknya. Berkali-kali dia mencoba menyusupkan ujung pengungkit ke antara ban dan pelek, tetapi tak kunjung membuahkan hasil. Berulang-ulang pula dia mengguyurkan air ke area yang sama. Hasilnya sama: nihil lagi dan lagi. Baju kaus Pak Tua mulai basah. Keringat sesekali menetes dari wajahnya yang kusut.

Pembonceng dan pengendara WinAir-100 turun tangan. Keduanya membantu mencungkil ban yang bergeming tanpa iba kepada Pak Tua. Tiba-tiba pengendara bangkit lalu berjalan menuju tas ranselnya yang teronggok di lantai. Ia membuka ritsleting tas, lalu mengeluarkan botol sampo dari dalamnya. Sejurus kemudian beberapa tetes sampo sudah tertuang di telapak tangannya, dibasahi dengan air di ember, lalu dioleskan ke permukaan ban yang menempel pada pelek.

Plong! Ban luar berhasil diangkat dari pelek pada salah satu sisinya. Giliran berikutnya, ban dalam dikeluarkan. Pak Tua segera—walaupun dengan gerakan yang tetap lambat—memompa dan merambangnya di air yang tersisa di ember. Gelembung-gelembung udara keluar dari ban, menjadi petunjuk titik kebocoran. Paku kecil lalu ditancapkan pada lubang ban yang sudah terlihat.

"Ditambal saja," kata Pak Tua, "Bannya masih bagus."

"Manut," sahut pengendara WinAir-100.

Selesai ditambal, ban dipompa dan dirambang lagi. Muncul gelembung-gelembung udara lagi. Di titik yang berbeda dari lubang pertama.

"Pak, diganti yang baru saja," kata pengendara WinAir-100, "Punya apa tidak?"

Pak Tua mengatakan sesuatu, tetapi tidak terdengar oleh yang bertanya. Kemudian dia pergi meninggalkan "pasiennya", berjalan masuk gang kecil di sebelah kiosnya.

"Tinggal ban Mio," katanya setibanya kembali di bengkel.

Pengendara WinAir-100 mengambil keputusan cepat, membonceng motor salah seorang temannya. Sekira 100 meter ke timur, keduanya mendapati bengkel sepeda motor. Dari situ diperoleh ban dalam baru yang kemudian dibawa kembali ke bengkel Pak Tua.

Pak Tua bergegas memasang ban baru itu. Namun, lagi-lagi dia harus bersusah payah memasang ban luarnya. Pengendara dan pembonceng WinAir-100 kembali melibatkan diri dalam pekerjaan Pak Tua.

Gara-gara ban bocor itu, perjalanan empat pelancong tersendat hampir 2 jam. Tentu, penyelesaian masalah ban bocor tidak akan sampai memakan waktu sepanjang itu seandainya WinAir-100 tidak terperangkap di bengkel yang salah. 

Seandainya tidak sempat salah jalan, barangkali WinAir-100 akan memberikan tengara bannya kempis setelah melewati bengkel Pak Tua dan berhenti lebih dekat ke bengkel tempat membeli ban baru itu. Seandainya skenarionya demikian, barangkali operasi ban bocor itu akan selesai lebih cepat. Montir-montir muda di bengkel sebelah itu pasti lebih bertenaga dan mungkin lebih terampil dalam bongkar pasang ban.

Semua itu tak lebih dari rentetan pengandaian semata. If clause tipe 3. Mustahil terwujud. Sepanjang tidak berbuah penyesalan—apalagi sampai sumpah serapah—atas takdir yang menimpanya, pengandaian apa pun sah untuk menghiasi khayalan. Pengandaian-pengandaian versi lain pun berpeluang untuk melintas di pikiran.

Seandainya WinAir-100 tidak menemu takdir sebagaimana yang telah dilakoninya, mungkin tidak ada satu pun kendaraan yang singgah di bengkel Pak Tua sepanjang hari itu. Tukang tambal ban yang fisiknya tidak bisa dibilang sempurna itu hanya akan menjadi penjaga kios kecil beserta kompresor dan segala perkakas bengkelnya. Akibatnya, Pak Tua akan menyudahi hari itu dengan sebuah teka-teki: dengan apa dia akan mengganjal perutnya untuk mengarungi malam itu dan menjemput pagi esok?

Teja telah terbuka beberapa kilometer menjelang kota Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Teja bisa menerangi, bisa pula menyilaukan. Tergantung daya akomodasi "mata" mereka: pengendara WinAir-100 dan ketiga temannya menjadi tercerahkan atau terbutakan oleh teja di siang yang terik itu.

Pengendara WinAir-100 berhak menuntut pengurangan ongkos bongkar pasang bannya. Perjalanan pulangnya dari Purwokerto molor lama akibat Pak Tua kurang cakap mengerjakan operasi bannya yang bocor. Itu kerugian waktu yang tidak tertara. Menyerahkan uang ongkos dengan cara membantingnya ke muka Pak Tua sambil melontarkan caci maki pun bisa terasa wajar menurut kamus kemarahan.

Seandainya Pak Tua menggratiskan ongkos pekerjaannya pun akan terasa logis. Dia berhak menebus "dosanya" yang merugikan klien. Sebaliknya, klien boleh-boleh saja menganggap Pak Tua tidak layak menuntut upah atas pekerjaannya yang tidak memuaskan. Lalu di balik pengingkaran itu ia meyakini, Pak Tua layak mendapatkan apresiasi atas kegigihan dan kesungguhannya dalam menjaga muruahnya. Dengan segala kekurangan fisik, ilmu, dan keterampilannya, Pak Tua tetap memegang prinsip bahwa manusia bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya sendiri dan orang-orang yang ditanggungnya.

Memanfaatkan kelemahan Pak Tua untuk melampiaskan kekesalannya atas takdir yang tidak sesuai harapan berpeluang menjadi pilihan reaksi spontan. Membayar ongkos sesuai tarif resmi dan normal sebagai imbalan jasa Pak Tua adalah pilihan wajar. Menambahkan sedekah selain upah, berdasarkan belas kasihan kepada Pak Tua, bisa dipertimbangkan sebagai pilihan lain. Masih terbuka pilihan lain lagi: berbuat sesuatu menurut kadar kesanggupannya semata-mata demi mengakui dan menghormati Pak Tua yang telah dihadirkan sebagai guru kehidupan.

Apa pun pilihannya, itulah cerminan jati diri si pemilik ban bocor yang melekat di pelek WinAir-100.

Tabik.

2 komentar:

  1. Pengendara WinAir100 pasti memilih dengan nurani, tidak terpengaruh oleh panasnya riuh emosi dan mentari.

    BalasHapus

Populer