18 Jul 2022

(Ti)TIP

Demi menemani istri, Sabtu (2/7) saya harus menginap di Solo. Dua hari sebelumnya, saya berselancar mencari penginapan yang pas. Ini kriterianya: dekat lokasi kegiatan, nyaman, ekonomis. Setelah membanding-bandingkan sejumlah penginapan yang ditawarkan beberapa agen, akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada Roemah de' Poenk Syariah.

Terus terang, label "syariah" menjadi preferensi pertama. Setidaknya, saya berharap untuk tidak bercampur dengan tamu-tamu yang menginap secara tidak halal. Selanjutnya, reviu dari para tamu terdahulu saya jadikan referensi. Pengalaman orang-orang yang pernah mencicipi jasa itu tentu lebih jujur daripada deskripsi berbau iklan yang disiarkan oleh penyedia jasa.

Siang menjelang sore, saya "memiloti pesawat" pribadi WinAir-100. Istri duduk di jok belakang. Kedua lengannya bak seat belt mendekap erat tubuh sang pilot. Hampir empat jam kemudian, kami baru memasuki Kota Solo. Begitulah biasanya. Kecepatan WinAir tidak menentu, tergantung pada siapa penumpangnya.

Sampai pertigaan Kerten, saya berhenti. Saya nyalakan Google Maps di ponsel. Saya jepit benda pipih itu dengan pilinan tali karet yang terbentang di antara dua tiang spion. Saya ikuti petunjuk arah yang diberikan. Dari jalan Slamet Riyadi, saya diarahkan belok kiri ke Jalan Gajah Mada, lalu belok kanan ke Jalan Yosodipuro, terus belok kiri ke Jalan Kartini, belok kanan ke Jalan R.M. Said, belok kanan lagi ke Jalan Teuku Umar, lalu belok kiri lagi entah ke jalan apa, belok kanan ke jalan apa lagi, belok kanan lagi, lalu belok kiri masuk gang sempit. 

Beberapa meter setelah masuk gang sempit itu, petunjuk Google Maps berhenti. Saya pun turut berhenti, tengok kanan-kiri mencari papan nama penginapan yang hendak kami tuju. Kami masuk ke area parkir belakang warung makan di sudut gang itu. Hendak bertanya, kami tidak menjumpai orang di sana.

Seorang lelaki, tampak beberapa tahun lebih muda daripada saya, menghampiri kami. Ia datang dari gang sempit itu. Rupanya ia salah seorang dari dua lelaki yang duduk-duduk di tepi gang, beberapa meter di depan kami berhenti tadi. Ia melihat gelagat kebingungan kami ketika menghentikan motor sambil tengok kanan-kiri. Orang baik itulah yang menunjukkan letak Roemah de' Poenk yang kami cari. Ternyata kami harus maju lagi belasan meter.

"Lo, itu, kan, Jalan Slamet Riyadi?" celetuk batin saya.

Jalan raya utama itu hanya seratusan meter di depan kami. Ah, Google Maps masih belum berubah: suka menguji kesabaran penggunanya. 

Sampai di depan gerbang, kami masih harus ragu lagi. Pintu gerbangnya tertutup, tetapi tidak terkunci. Ada seorang lelaki di halaman, sedang sibuk mengambil barang-barang dari bagasi mobil. Ada lagi seorang perempuan mondar-mandir di teras. Pasti mereka tetamu. Tidak layak disalahkan jika mereka tak acuh kepada kami.

Merasa tidak ada yang peduli dengan kehadiran kami, istri turun, membuka pintu gerbang, lalu masuk. Dia menyapa orang yang masih sibuk di bagasi mobilnya. Berbekal keterangan darinya, istri memberi saya isyarat untuk menyusul masuk. Pintu gerbang hanya terbuka sedikit. Motor belum bisa masuk. Istri kembali ke gerbang, membuka pintu lebih lebar. Saya pun masuk dan memarkir WinAir.

Kami menuju meja resepsionis. Penampakan ruangnya seperti pada foto di atas itu. Sepi. Tidak ada petugas. Saya pencet tombol bel. Ada yang menyahut, tapi sesama tamu. 

"Baru bikin kopi," katanya.

Ya, oke. Kami menunggu di sofa. Tak berselang lama, petugas datang. Kami ditanya tentang nama. Saya sebut nama saya. Alhamdulillah, sudah terdaftar. Lalu diminta KTP saya. Hanya dilihat untuk dicocokkan identitasnya. Saya mengisi lembaran semacam buku tamu. Selesai. Lalu kami diantar ke kamar yang disediakan.

"Mau minum teh atau kopi?" tanya petugas.

"Teh saja," jawab saya.

"Teh apa kopi?" tanya istri saya, memastikan.

"Teh," jawab saya mantap.

Istri saya tidak doyan kopi. Kalau dia teh saya kopi, masing-masing minum dari gelas yang berbeda. Saya ingin kami minum dari gelas yang sama. Satu gelas dihabiskan berdua, baru kemudian berganti ke gelas yang satunya. Bukan apa-apa. Sekadar untuk menghilangkan jejak: siapa yang minum lebih banyak. Sesimpel itu saja.

Pintu kamar saya buka. Lampu-lampu saya nyalakan. Alhamdulillah, bersih, rapi, seperti foto yang ditampilkan di laman agen. Pintu saya tutup kembali. Saya nyalakan mesin pendingin ruangan. Oh, jendelanya terbuka setengah. Segera saya tutup rapat. Bukan apa-apa. Agar pendingin udara berfungsi efektif. Saya tepuk kasur yang berbalut seprai putih. Bantalnya juga. Semuanya oke. Tidak terasa ada debu yang merangsang bersin.

Saya periksa kamar mandi. Bersih. Semua keran berfungsi, termasuk keran air panasnya—yang bagi istri saya cukup berarti. Kloset dan tangki airnya juga berfungsi dengan baik. Segera saja saya mandi untuk melepaskan debu-debu yang masih melekat, seperti petuah Ebiet G. Ade. Maklum, sepanjang perjalanan Semarang—Solo tubuh kami otomatis menjadi sarang debu bercampur asap knalpot.

Seusai mandi dan salat, saya menengok ke luar kamar. Di meja depan belum ada teh yang kami pesan. Tidak mengapa. Kami masih bisa menunggu sambil melakukan aktivitas rutin menyambut malam. Mungkin petugas (maaf, saya merasa tidak enak untuk memakai kata "pelayan") baru melayani tamu-tamu yang lebih dulu datang. Atau, mungkin juga ia menunda tugasnya melayani tamu demi mendahulukan kewajibannya kepada Sang Khalik.

Usai rutinitas pangkal malam, saya kembali menengok ke luar. Nampan berisi dua gelas teh panas sudah terparkir di meja kecil yang merapat ke dinding luar kamar. Saya angkat masuk. Istri saya mencicipi lebih dulu. Sedap, katanya. Saya sudah menduga, cita rasa teh Solo masih seperti dulu: ada sepatnya. Ganti saya mencicipinya, dari gelas yang sama. Istri memandangi saya. Entah, apa yang melintas di benaknya. Motif saya masih sederhana saja: menghabiskan satu gelas berdua, baru beralih ke gelas kedua. Saya tidak mau menyaksikan gelas saya lebih dulu kosong daripada gelas istri.

Tiba waktunya saya mengantar istri ke tempat kegiatan. Saya bujuk istri agar mau berjalan saja. Saya katakan kepadanya, nanti susah parkirnya kalau membawa motor. Istri mengalah. Sebenarnya itu alasan yang saya buat-buat, agar bisa istirahat dari pegangan setang—ganti memegang yang lain.

Kami berpamitan kepada petugas, yang kemudian dengan ramah membukakan pintu keluar. Gerbang keluar itu berada di sebelah timur, dekat ruang resepsionis, bertolak belakang dengan pintu masuk. Berbekal penjelasan petugas pula kami tahu rute menuju lokasi. Oh, ternyata hanya puluhan meter ke timur, kami sudah sampai di jalan raya: Jalan Imam Bonjol. Dari ujung gang, kami bisa melihat jelas keramaian Jalan Slamet Riyadi di selatan.

Saya kembali menggerutu, "Dasar Mbah Google!"

Kami kembali ke penginapan menjelang tengah malam. Kami coba masuk lewat pintu keluar, malas berputar menuju pintu masuk. Pintu gerbang hanya tertutup, tidak dikunci. Saya buka perlahan pintu pagar besi itu. Saya kaget. Mungkin begitu juga istri saya. Yang berjaga di meja resepsionis bukan petugas yang tadi. Orangnya lebih berwibawa. Sosok priayinya tampak jelas meski dikemas dalam balutan baju kaus sederhana.

"Mangga, Pak, Bu," sapanya kepada kami.

Tidak ada satu pertanyaan pun untuk kami. Saya penasaran: bagaimana ia tahu kalau kami tamu yang sudah mendapat kamar di sini? Ah, peduli amat! Kami terus berjalan naik ke lantai dua menuju kamar. Sampai di kamar, kami menebak-nebak: ia pemilik penginapan.

Ah, sudah lewat tengah malam. Kami belum bisa tidur juga. Bukan apa-apa. Kami tidak biasa dengan suasana kamarnya. Penataan ruangnya terlalu rapi. Kasurnya juga terlalu empuk. Apalagi, di sudut tempat tidur ada lampu temaram yang bisa diatur tingkat keredupannya. Kami biasa tidur di kamar berantakan. Bahkan, saya lebih sering tidur di luar kamar, beralaskan tikar kain rajut—hadiah dari adik sepupu puluhan tahun silam.

Menyusul terbitnya matahari, kami berpamitan keluar: ingin menikmati suasana car free day (CFD). Petugas memberi tahu, nanti sarapannya bisa di balkon atau diantar ke kamar. Kami mengiyakan, tanda mengerti.

Jalan Slamet Riyadi, lokasi CFD, masih lengang. Para pelapak baru mempersiapkan lapaknya masing-masing. Ada yang menata barang dagangan. Ada yang merangkai panggung hiburan. Ada yang menata arena bermain. Ada yang merangkai perlengkapan audio untuk mengiringi senam aerobik. Beberapa orang mulai berolahraga: jalan santai bersama keluarga, joging, dan bersepeda.

Setelah berswafoto di depan patung Slamet Riyadi, kami berjalan ke utara. Istri ingin melihat Balai Kota. Usai menjajal keteduhan Pendhapi Gedhe Sala yang megah, kami mencicipi kuliner tradisional yang dijajakan di pelataran selatan halaman pendapa, utara masjid. Lumayan kenyang. Lalu kami kembali ke penginapan, lewat jalan lain, tidak kembali ke bundaran Gladag.

Pengumuman tentang sarapan yang tadi disampaikan petugas sudah kami lupakan. Kami menganggap itu tawaran saja. Perkiraan kami, hak makan pagi itu hangus kalau kami tidak mengambilnya hingga jam sarapan berakhir. 

Masyaallah, dua bungkusan kertas minyak sudah menunggu di meja depan kamar. Kami bawa masuk. Kami buka. Nasi gudeg komplet. Tak mau menyia-nyiakan rezeki dan menampik kebaikan orang, kami menyantapnya hingga habis. Luar biasa! Pecah rekor makan pagi kami.

Dengan perut kekenyangan, kami paksa tubuh kami beranjak meninggalkan kamar. Istri harus melanjutkan kegiatan. Demi penghematan, kami sekalian check out. Kepada petugas di meja resepsionis, kami berpamitan. Sambil bersalaman, saya serahkan kembali kunci kamar.

"Pak, terima kasih. Ini saya terima. Tapi, tolong, saya titip untuk anak-anak di sana yang masih membutuhkan," kata petugas yang ramah itu.

Rupanya dia segera mengetahui, ada sesuatu yang terselip di antara kunci dan gantungannya.

"Enggak, Pak. Ini untuk Bapak," sahut saya.

"Tidak. Sekali lagi, terima kasih. Titip saja untuk anak-anak yang masih membutuhkan," tukasnya, mengulang pernyataan terdahulu. "Bagian saya sudah cukup dari sini."

Saya nggrêgêl. Bapak itu tidak hanya sederhana dalam penampilan dan pekerjaan, tetapi juga bersahaja dalam sikap dan ucapan. Sebagai karyawan tunggal, pasti beliau (saya merasa tak pantas lagi untuk memakai kata ganti "ia") melakukan segala pekerjaan seorang diri: membersihkan seluruh area—dalam dan luar ruang—penginapan, mencuci dan menyetrika semua kain perlengkapan kamar, merapikan kembali kamar setelah ditinggalkan tamunya, menyiapkan minum dan sarapan untuk semua tamu, siaga 24 jam untuk melayani tamu keluar masuk penginapan, merapikan parkir motor-motor tamu yang menginap, dan entah apa lagi.

Saya yakin, waktunya untuk bersama keluarga lebih banyak terampas oleh pengabdiannya demi kenyamanan para tamu penginapan. Saya pikir, anak istrinya layak untuk mendapat tambahan uang jajan di luar gaji yang diterimanya dari majikan penginapan. Saya rasa, pantas bagi para tamu untuk memberikan tip sebagai apresiasi atas segenap pengorbanan beliau.

Ternyata, beliau—lelaki bersahaja paruh baya yang tidak sempat saya kenali namanya—lebih memilih meniTIPkan tip itu untuk anak-anak orang lain. Saya yakin, beliau tidak mau menerima tip untuk dirinya sendiri bukan lantaran besar/kecil nilainya. Beliau tidak melihat (ber)apa yang berpindah dari tangan saya ke tangannya bersama kunci kamar itu.

Inikah salah satu prosedur operasi standar pengejawantahan label "syariah" yang disematkan pada nama penginapan Roemah de' Poenk itu? Sambil mengucap salam perpisahan, saya gagal menyembunyikan perasaan kêwêlèh. Sambil menstarter WinAir-100, saya mengumpat diri sendiri: betapa sering latah dan bangga meneriakkan kata "syariah", padahal praktik hidup masih begitu jauh di bawah makam pesuruh sebuah penginapan kelas melati!

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer