1,7 vs. 8,5 versus pink vs. white |
Ajaib!
Gambar di atas menunjukkan dua sepeda yang saya potret di sebuah toko sepeda tidak jauh dari tempat kerja saya, Senin (8/8). Yang kiri, jambon, dibanderol harga 1,7 juta rupiah. Yang kanan, putih, ditawarkan 8,5 juta. Foto itu saya kirimkan kepada istri saya, lalu dikirimkan lanjut ke anak kami. Mahasiswi semester 5 itu diminta memilih.
"Piiinkkk," jawabnya melalui pesan WhatsApp.
Itu jawaban spontan, pilihan serta merta, semata-mata berdasarkan preferensi warna. Meskipun spontan, dijamin pilihan itu tidak akan berubah hingga seandainya dia tahu fakta numerik di baliknya sekalipun.
Kini ibunya boleh lega selega-leganya. Dua hari belakangan anak gadis kami itu membuatnya pusing. Dia minta sepeda lipat. Dia ingin menggunakannya sebagai alat transportasi kuliah. Dari kos ke kampus berjarak kira-kira 3—4 kilometer.
Dua hari sebelumnya ibunya dipaksa ikut—secara harfiah, sebenarnya dia yang ikut ibunya—survei sepeda. Katanya, dia pernah melihat sepeda lipat seharga 700 ribu di sebuah toko buku ternama. Ibunya mau, tetapi hanya untuk melihat-lihat lebih dulu. Motifnya sekadar untuk membuktikan, sepeda yang disebut anaknya itu terbuat dari logam atau kertas. Sampai di toko tersebut, mereka mendapati harga sepeda lipat termurah 4 juta plus.
Hari berikutnya giliran saya yang didaulat untuk mengantar ibunya survei ke toko lain. Sejak awal, sasaran saya adalah toko yang saya sambangi sore kemarin itu. Namun, ketika sampai di lokasi Ahad (7/8) sore itu, kami mendapati toko tutup. Tidak jelas, apakah toko memang libur pada tanggal merah atau kami yang terlambat datang—sesudah jam operasi berakhir.
Saya antar istri ke toko lain yang masih terbilang dekat. Setahu saya, toko yang satu ini punya jaringan nasional dan cukup terkenal. Dugaan saya, toko ini hanya menjual sepeda-sepeda mahal. Kami masuk. Seorang pramuniaga menyambut kami dengan ramah di pintu. Setelah menjelaskan maksud, kami diantar ke stan sepeda lipat. Belasan juta harganya! Bahkan ada yang puluhan juta!
Kami mundur. Pramuniaga tanggap. Perempuan muda itu kemudian memperlihatkan kepada kami beberapa sepeda di bagian belakang. Harganya berkisar 3—5 jutaan. Istri saya kembali menarik tangan saya. Kami berpamitan lalu keluar meninggalkan toko.
Sambil naik ke boncengan motor, istri saya menggerutu, "Kalau sama-sama segitu, mending sepeda motor."
Maksud istri saya, harga sepeda lipat termurah itu bisa untuk membeli sepeda motor bekas layak pakai. Namun, itu semata-mata pengandaian, sama sekali bukan solusi. Pasalnya, anak bungsu kami itu tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Sejak SMP dia didorong-dorong untuk belajar naik sepeda motor. Sempat mau dilatih tiga kali, tetapi dia tidak menunjukkan minat untuk bisa. Dia juga pernah kami "titipkan" sehari di rumah teman sekelasnya. Anaknya jauh lebih kecil tetapi sudah lincah mengendarai sepeda motor. Alih-alih "kursus" mengemudi sepeda motor, justru dia puas berkeliling kompleks dengan membonceng teman karibnya itu.
Hingga kini tidak tampak gelagat dia ingin bisa naik motor. Ke mana-mana dia mengandalkan bapak, ibu, atau kakaknya. Kalau ketiga-tiganya tidak bisa mengantar atau menjemput, ojek menjadi pilihan terakhir. Kemudahan-kemudahan itu mungkin telanjur memanjakannya. Mungkin juga diam-diam dia punya pertimbangan ekonomis: menghindari biaya perawatan. Atau, boleh jadi dia tidak mau dibuat panik oleh bunyi peluit polisi yang suka menggelar ritual di jalan. Entahlah.
Menjelang mulai kuliah nyata setelah dua tahun mengikuti kuliah maya, tiba-tiba dia bilang hendak bersepeda ke dan dari kampus. Demi kepraktisan, sepeda lipat menjadi pilihan. Itu keputusan mengejutkan. Semula saya berpikir, belanja transportasi akan membengkakkan biaya hidup selama dia kuliah. Selain berangkat dan pulang kuliah, tentu banyak kebutuhan yang menuntut mobilitas untuk memenuhinya.
Dengan sepeda, dia akan menghemat pengeluaran. Ini berkah tak terduga yang tidak layak untuk tidak kami syukuri. Di balik sikapnya yang cenderung manja, anak gadis kami masih belum terjangkit penyakit gengsi. Perilaku kekanak-kanakan yang sering kami keluhkan ternyata juga menyimpan berkah. Pilihannya atas sepeda yang ditawarkan ibunya itu contohnya. Dapat dipastikan, yang dipilih semata-mata warnanya. Pink memang menjadi salah satu warna favoritnya.
Kami sering dibuatnya geli ketika menyaksikan dia memilih-milih barang yang hendak dibeli. Ibunya sering dibuat kecewa karena barang yang direkomendasikan gagal mengundang seleranya. Selain warna, bentuk-bentuk lucu juga sering mendasari pilihannya. Bisa dibilang seleranya begitu rendah, terpaku pada warna dan bentuk. Tampaknya dia punya standar sendiri dalam menakar kualitas. Lagi-lagi, itu menunjukkan kemandirian—saya lebih suka menyebutnya otonomi—yang patut disyukuri di balik sikapnya yang cenderung sulit diatur.
Dalam beberapa hal, sikapnya yang semau gue sering membuat saya kewalahan. Tidak jarang saya merasa gagal mendidiknya. Performanya jauh dari profil yang saya impikan. Bagi saya, itu tamparan yang cukup menyakitkan. Pedas! Getir! Pahit!
Seperti lidah yang tidak tahan terpapar makanan pedas atau getir, saya pun mencoba mencari penawar. Setelah dicari ke sana kemari, ternyata penawar itu ada di dalam diri saya sendiri: ikhlas. Hampir setiap hari saya mendengar dan mengucapkan kata "ikhlas". Namun, sejatinya saya buta akan maknanya. Bukan perilaku anak saya yang membuat saya kecewa dan frustrasi, melainkan harapan saya atas anak saya itu.
Saya tidak ikhlas mendidik dia. Segala cara saya pakai untuk mendidiknya bukan agar dia menjadi dirinya, melainkan agar dia menjadi anak ideal saya. Tersimpan rapi di dalam hati saya obsesi untuk menjadikan anak-anak sebagai alat promosi bagi orang tuanya. Jika anak-anak tumbuh pintar, baik dan saleh/salihah, sehat, kuat, dan cantik/ganteng, saya akan menuai pencitraan positif: ayah hebat yang sukses membesarkan dan mendidik anak.
Vested interests itulah sumber rasa pahit ketika melihat pertumbuhan anak saya memeleset dari harapan. Melalui pergulatan batin yang panjang, jamu pahit itu meresap menjadi detoks yang menyegarkan pemaknaan: ikhlas sama dengan nol. Sebagai bapak, saya punya wewenang dan tanggung jawab mendidik anak-anak. Namun, tak boleh ada setitik pun kepentingan pribadi tersembunyi di balik semua upaya menunaikannya. Dalam mendidik anak, tidak ada hak saya untuk memetik keuntungan pribadi.
Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah ujian. Setidaknya sekali dalam sebulan saya kepergok rambu peringatan ini. Namun, lagi-lagi, saya butuh literatur hidup berjilid-jilid untuk mencapai literasi itu. Akhirnya saya bersyukur, saya dijamu dengan ujian—anak-anak dan harta yang tidak sering memuaskan—yang justru mengembalikan saya kepada martabat hakiki: hamba. Seandainya anak-anak tumbuh sesempurna idealisme saya, tidak mustahil saya akan terjerumus ke lembah kenistaan terdalam: takabur.
Memilih sepeda kayuh di atas sepeda motor itu hasil didikan. Memilih si pink yang 1,7 juta di atas si putih yang 8,5 juta itu pun hasil didikan. Namun, saya sama sekali tidak urun andil dalam pendidikan itu. Barangkali Sang Pemilik dan Penggenggam jiwanya mengilhamkan karsa laku prihatin itu langsung kepada anak gadis kami.
Kini saya juga semakin paham mengapa ketika mendoakan kedua orang tua, anak-anak diajari untuk menambahkan keterangan perbandingan "seperti mereka mendidikku sewaktu aku masih kecil". Saya berkaca lalu menyadari, memang hanya selama anak-anak masih bayi, saya mendidik mereka secara ikhlas. Semakin anak-anak beranjak besar dan dewasa, semakin besar dan beragam pula keuntungan yang saya incar di balik dedikasi semu dalam mendidik mereka.
Secara kasatmata, mendidik anak terasa susah dan susah melulu. Ketika ekspektasi dinolkan, satu per satu kentara kemudahan demi kemudahan yang semula terahasiakan di baliknya. Tidak meragukan, bersama yang susah ada yang gampang. Berimpit dengan yang susah didatangkan yang gampang. Adalah keikhlasan menerima yang susah-susah, kunci pembuka pintu untuk menembus yang gampang-gampang itu.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar