6 Sep 2022

Sakaratul-Maaf

Belakang (ki-ka): Aziz, Suko, Mohadi, Topo & putrinya, Gw.
Depan (ki-ka): Anis, Nur Ch., Uswatun, Sofi, Shaila, Diana.

Mencuci pakaian sudah selesai. Tidak biasa, sebenarnya, saya mencuci sore-sore begitu. Malam selepas isya menjadi waktu favorit bagi saya untuk keceh. Alasannya sederhana tapi prinsipiel: itulah waktu yang paling senggang.

Sabtu (3/9) sore itu saya menunggu jam keberangkatan. Suko Bantul, yang menawarkan diri untuk menjadi relawan tour leader saya, menjadwalkan berangkat pukul 5-an sore. Sebelum asar saya sudah tiba di rumah. Untuk membunuh waktu sekitar 2 jam itulah, saya menyalurkan hobi: bermain air sabun untuk membasahi pakaian kotor. Saya lebih suka menyebutnya bermain, bukan pekerjaan, karena hobi yang satu ini menggelikan hati: pakaian kering dibasahi, lalu mati-matian dikeringkan lagi. Kurang kerjaan! Makanya, bermain.

Menjelang pukul 5 saya sudah tiba di markas Banyumanik, tempat kerja yang saya tetapkan sebagai lokasi penjemputan. Sambil menunggu kehadiran Suko, saya mencari kesibukan: bakar-bakar sesuatu. Tepat pukul 17.00 WPS (waktu ponsel saya) saya menerima pesan WhatsApp dari Suko.

“OTW,” tulisnya.

Saya salah menafsirkan. Saya pikir, pukul 5-an itu jadwal keberangkatan dari markas saya. Ternyata, itu waktu keberangkatan Suko dari rumahnya di Gunungpati. Jarak dari rumah Suko ke markas saya berkisar 11 km. Ditempuh dengan mobil berkecepatan normal—menurut estimasi Google Map—membutuhkan waktu 25 menit.

“Oke. Aku ya lagi tekan Hiday,” balas saya.

Untuk kegiatan nonprotokoler, saya tidak biasa memberlakukan jadwal secara kaku. Perubahan agenda secara mendadak pun bukan sesuatu yang tabu. Tuhan—Yang Maha Berdaulat atas segala isi jagat semesta—saja begitu luwes dalam memaklumi situasi dan kondisi yang dialami hamba-Nya. Salat Subuh boleh ditunaikan sejak terbit fajar hingga sebelum terbit matahari. Orang yang punya keperluan di akhir fajar, boleh bersalat Subuh di awal fajar. Sebaliknya, yang terkendala hajat di awal fajar, tidak divonis salah jika salat Subuhnya di akhir fajar. Yang baku dan tak boleh ditawar, jumlah rakaatnya pas: dua.

Saya pantau perkembangan eksekusi agenda sambang kadang. Sasaran pertama rumah Mohadi Pekalongan. Rombongan Tegal sudah berangkat. Ini harus diantisipasi. Kami, rombongan Semarang dan Tegal, merencanakan untuk bisa bertemu di Pekalongan. Bagaimana kalau nanti jarak kedatangan kami di Pekalongan terlalu lama? Dari Pekalongan, kami berencana melanjutkan silaturahmi ke rumah Salahudin “Didin” Banjarnegara. Bagaimana kalau nanti sampai larut malam kami belum puas melepas rindu di Pekalongan?

Panggilan telepon masuk ke ponsel saya. Saya tengok, Suko yang menelepon. Panggilan saya abaikan. Saya lihat sebuah mobil hitam masuk halaman markas lewat pintu keluar. Sementara, saya duduk di teras pos satpam di dekat pintu masuk. Prewangan saya berbisik: itu pasti Suko. Notifikasi panggilan masuk masih terus berisik di layar ponsel. Saya bergeming. Biar saja. Saya lambaikan tangan, memanggil mobil yang mulai berhenti itu.

Terhipnosis oleh lambaian tangan saya, mobil berbelok ke kiri dan bergerak mendekat ke arah saya. Suko turun. Azan magrib sudah mulai berkumandang dari ponsel saya.

“Mau salat dulu atau nanti jamak takhir saja di sana?” tanya saya.

“Nanti di sana saja bagaimana? Kasihan yang sudah nunggu,” jawab Suko.

Kami bersepakat untuk memanfaatkan kemahaluwesan Sang Perumus syariat. Suko membuka pintu kiri depan dan menyilakan saya masuk. Rupanya ia masih memegang pakem berkendara bersama senior. Saya masuk dan duduk di sebelah sopir. Di barisan belakang ada Suko bersama istrinya, Diana Kebumen, dan putri bungsu mereka, Shaila (mohon dimaafkan jika saya salah mengeja namanya).

Mobil pun segera berangkat. Sekitar setengah jam berikutnya, saya mengirim peta live location ke grup percakapan. Saya tidak ingin membebani teman-teman dari Tegal—yang sudah sampai di rumah Mohadi, Kajen, Pekalongan—dengan meminta mereka menunggu skuad Semarang. Melalui peta itu, mereka bisa memantau progres perjalanan kami. Saya serahkan keputusan di tangan mereka: menunggu atau cabut sebelum kami datang. Mereka lebih tahu, berapa lama mereka bisa meluangkan waktu untuk singgah di rumah Mohadi.

Sebelumnya, ketika Suko dan rombongan masih di perjalanan menuju markas saya, saya sudah berkirim kabar kepada Didin. Kepadanya saya sampaikan kemungkinan perubahan agenda. Semula kami berencana menginap di rumahnya, Wanayasa, Banjarnegara. Namun, saya harus berpikir ulang. Saya tidak tahu jarak dan kondisi jalan dari Kajen ke Wanayasa. Saya juga tidak tahu kondisi fisik dan mental sopir. Yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan, kondisi tuan rumah. Selain kepada Didin, kemungkinan menginap di Kajen itu juga saya kabarkan kepada Mohadi.

***

Setelah sempat kebablasan sampai ujung jalan buntu, akhirnya kami menemukan rumah Mohadi. Itu berkat kemurahan hati seorang ibu-ibu yang kami tanyai di dekat pemberhentian mobil kami. Beliau rela beranjak dari duduknya demi menunjukkan rute menuju rumah sahabat kami itu. Ternyata sudah sangat dekat, hanya perlu kembali mundur sedikit lalu berbelok ke kanan.

Begitu memasuki gang itu, pandangan kami sudah menemukan mobil putih terparkir di halaman sebuah rumah di arah kiri depan. Itu pasti Topo dan pasukan Tegal, batin saya. Kami tinggal maju sedikit lalu belok kiri sedikit juga. Sebelum berbelok, kami sudah bisa melihat teman-teman anggota rombongan Tegal berdiri di dekat mobil.

Benar saja adanya. Menemani tuan rumah Mohadi, mereka menyambut kami di halaman. Entah sudah berapa lama Uswatun Tegal, Nur Ch. Tegal, dan Topo Tegal beserta istri, Anis, plus sekompi bocil-nya menunggu.

Kata sementara orang, menunggu itu pekerjaan yang paling membosankan. Itu salah mereka yang menganggap menunggu sebagai pekerjaan. Bagi teman-teman Tegal, bisa jadi, menunggu kami pada malam itu dirasakan sebagai ibadah yang paling seru. Mereka bisa melakoninya sambil bercengkerama hangat bersama sahabat-sahabat yang jarang berjumpa, sambil sejenak mengusir kesepian yang beberapa minggu melanda tuan rumah.

Setelah saling bertukar kabar dengan tuan rumah dan tetamunya dari Tegal, kami menyusul jagongan di teras. Entah mengapa, saya selalu mendapati keakraban teras tak pernah bisa ditandingi oleh kehangatan ruang tamu. Alhasil, tawaran untuk duduk di dalam pun tidak saya hiraukan.

Tidak berselang lama, datanglah Aziz Ulujami yang kini merantau di Comal—perantauan lintas kecamatan dalam kabupaten yang sama: Pemalang. Kehadirannya yang dengan tangan kosong sungguh mengecewakan saya, sebenarnya. Saya telanjur membayangkan ia datang membawa sekarung mi instan untuk kami rebus dan santap beramai-ramai. Ah, barangkali kenaikan harga BBM yang berlaku sejak sore itu telah mengganggu peredaran mi instan di Comal. Hanya Aziz yang tahu.

Menyusul berikutnya, Sofi Kajen bersama suami. Sebenarnya mereka sudah menunggu kami di jalan agar bisa membersamai rombongan Semarang menuju rumah Mohadi, tetapi takdir berkata lain. Aplikasi peta perjalanan menuntun kami lewat jalur yang tidak melalui lokasi mereka menunggu.

Sofi datang membawa ujian tersendiri untuk saya. Dengan segenap harap, dia ingin memboyong seluruh tamu Mohadi untuk singgah ke rumahnya sebelum melanjutkan perjalanan ke Wanayasa atau pulang ke Tegal. Keinginan itu wajar adanya. Rumah Sofi hanya sepelempar batu dari rumah Mohadi. Semua mengiyakan, kecuali saya. Sama sekali tidak ada maksud untuk menolak niat mulia Sofi dan suaminya. Saya hanya merasa, ada misi yang belum saya tunaikan di rumah Mohadi.

Kepada Suko saya bertanya, “Nanti jadinya kita menginap di sini atau di Wanayasa?”

“Wanayasa,” jawabnya.

Saya mesti menentukan pilihan di antara dua kemungkinan dampak yang sama-sama tidak mengenakkan: melukai yang sedang berduka atau menyakiti yang ingin bersuka. Bismillah, saya putuskan untuk menghindari mudarat pertama. Kalaupun—dan pasti—tidak mampu membantu menyembuhkan, saya tidak boleh menambah luka pada sahabat yang tengah berduka.

Karena tidak akan menginap di rumah Mohadi, saya pilih tidak ikut mampir ke rumah Sofi demi membersamai Mohadi lebih lama sebelum beranjak ke Wanayasa. Andai malam itu kami menginap di rumah Mohadi, tidak ada keberatan sebiji sawi pun untuk meluluskan permintaan Sofi dan suaminya. Dari rumah Sofi, saya bisa melanjutkan glenikan dengan Mohadi—entah sambil sila tumpang, selonjoran, jegang, kelonan, atau pijet-pijetan.

Suko menangkap kebimbangan saya. Ia tangkas mengambil keputusan: ia dan Diana ikut mampir ke rumah Sofi, saya “dititipkan” di rumah Mohadi. Usai dari rumah Sofi, mereka kembali ke rumah Mohadi untuk menjemput saya. Win-win solution. Saya sepakat.

Semoga Sofi dan suaminya bisa memahami pilihan saya. Andaipun mereka sempat terluka oleh ketidakikutsertaan saya mampir ke rumahnya, semoga penjelasan ini cukup menjadi penawarnya.

***

Sofi dan suami (duh, maaf, kenapa saya tidak sempat mengenal namanya?), Rombongan Tegal, dan rombongan Semarang minus saya berpamitan. Mohadi dan saya kembali duduk melantai di teras. Beberapa kali dari dalam rumah terdengar suara pintu dibuka atau ditutup. Lalu terdengar suara perempuan, tidak jelas di telinga saya. Mohadi menoleh ke sumber suara, menanyakan maksudnya.

“HP-nya Bapak? Ini, ambil sini,” kata Mohadi sambil mengulurkan tangannya yang memegang HP.

Seorang gadis keluar menyusul kami. Cantik sekali. Setelah meraih ponsel dari tangan bapaknya, dia mendekat dan menyalami saya.

Nglilir, Nok?” sapa saya.

Tampaknya putri bungsu Mohadi itu kurang memahami arti nglilir. Bapaknya yang menjelaskan kepada saya. Rupanya, siswi kelas 8 itu belum sempat tidur malam itu.

“Dari tadi belum tidur, cuma di dalam kamar.”

Lalu kami pindah ke dalam. Bincang-bincang berlanjut di ruang tamu. Topik obrolan didominasi kesaksian Mohadi atas kebaikan istrinya, Eva Rosdhyana Bumiayu, yang berpulang pada 10 Agustus 2022. Mutiara kehidupan berkilauan setiap kali dibuka halaman album yang menyimpan kenangan Mohadi sejak pertemuannya dengan Eva hingga perpisahannya dari almarhumah.

Sepanjang menyimak penuturan Mohadi, saya merasa tak sedetik pun layak untuk melepaskan pena dari genggaman jari jemari. Setiap babak yang dikisahkan adalah potret sikap hidup yang layak untuk diteladani. Setiap adegannya adalah sketsa inspirasi yang layak untuk diwarisi.

Di mata saya, perjodohannya dengan Eva adalah anugerah yang didatangkan dari jalan yang tak ternyana. Seperti diakui Mohadi sendiri, kemudahan Eva dan keluarga besarnya dalam menerima kehadiran Mohadi adalah mukjizat. Pilihan Eva untuk berkhidmat kepada suami dan keluarga selama 24 jam/hari dan 7 hari/minggu adalah ikhtiar tanpa kalkulasi untung-rugi duniawi.

Tak henti-hentinya Mohadi membacakan kliping cerita kebaikan istrinya. Begitu dalam ia menghayati keagungan jiwa perempuan yang mendampinginya selama 25 tahun itu. Mungkin ia sendiri tidak tahu, atas amal saleh apa ia diganjar istri qurratu-l-ain sesempurna Eva. Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk merunut alur kausalitas itu. Sebelum bertemu Eva, Mohadi menjalani tirakat terberat sepanjang hidupnya: sabar. Saking beratnya tirakat itu, Allah Al-Muntaqim tidak berkenan menakar ganjarannya. Al-Muhaimin “hanya” berjanji untuk membersamai kaum penyabar. Adakah maqam yang lebih tinggi daripada dibersamai Rabb As-Salām?

Setelah seperempat abad memetik buah kesabarannya, kini Mohadi diuji untuk membuktikan konsistensi kesabarannya. Menurut kacamata saya, uji kesabaran kali ini lebih berat. Dulu ia harus bersabar menyikapi ketiadaan yang sejak awal sudah tiada. Sekarang ia menghadapi ketiadaan yang mulanya ada. Rekam jejak kesabarannya dalam mensyukuri keberadaan, saya yakin, menjadi indikasi bahwa Mohadi sanggup menetapi kesabaran ketika kembali menghadapi ketiadaan. Bahwa ia membutuhkan proses untuk sampai ke sana, itu manusiawi dan alami.

***

Penjemputannya berkesan mendadak, tetapi Eva sudah sejak jauh-jauh hari menyiapkan bekal kepulangannya. Panggilan pulang selalu dia sambut dengan sigap. Setiap gejala sakit yang dia rasakan tak pernah ditanggapi dengan ekspresi protes atau pengingkaran. Kalaupun sesekali merintih, lisannya semata-mata melafazkan zikir kepasrahan total. Tampaknya dia paham betul, tiap-tiap rasa sakit sejatinya adalah panggilan: “Wahai jiwa yang tenteram, pulanglah kepada Pengasuhmu dengan rida dan diridai.”

Mohadi menyesal karena tidak sempat dipamiti dan mengantar istrinya pada detik-detik terakhir kebersamaan keduanya. Ia merasa ditilapake. Saya memahami, itulah cara Ar-Raḥmān Ar-Raḥīm menyempurnakan ḥusnul-khātimah-nya Eva. Allah tidak tega menjemput Eva pulang dengan berlinang air mata kesedihan demi menyaksikan duka suaminya. Eva tidak perlu menunggu talkin oleh orang-orang yang disayang dan menyayanginya. Bukankah sepanjang hidupnya dia sudah melafazkan tahlil—zikir sempurna: lisan, hati, dan amal?

Proses penjemputan Eva yang begitu cepat, mudah, dan ringan tak ayal mengundang penasaran. Amalan apa yang di-dawwam-kan ibu rumah tangga itu sehingga begitu mulus dia menjalani sakaratul-maūt? Mohadi sempat celingukan mencari catatan untuk menjawab penasaran banyak orang. Akhirnya ia temukan rekaman kebiasaan tidak biasa yang tidak pernah ditinggalkan Eva: minta maaf. Di akhir cengkerama dengan keluarga, rapat PKK, pengajian, obrolan santai bersama tetangga, atau pertemuan remeh-temeh apa pun, dia tak lupa meminta maaf dari mereka yang hadir.

Majelis-majelis resmi dan semiresmi juga lazim diakhiri dengan doa penutup majelis. Isinya permohonan ampunan juga. Namun, sadarkah kita bahwa yang dimohon baru ampunan dari Sang Maha Pengampun? Eva menyempurnakannya dengan meminta ampunan dari sesama, yang kadang judesnya minta ampun.

 

Tabik.

6 komentar:

  1. Semoga Kang Mohadi kuat lahir batin, "..... sanggup menetapi kesabaran ketika kembali menghadapi ketiadaan..." Dan semoga mbak Eva dipilihkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin

    BalasHapus
  2. Innalillahi Wainnailahi Rajiun.
    Semoga mb Eva Rosdiana diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Buat ms Mohadi, bersedihlah secukupnya, karena nantinya semua akan berkumpul lagi. Semoga bisa dikumpulkan kembali ke tempat yang indah.

    Saya turut berduka cita atas meninggalnya mb Eva.
    Allahummaghfirlaha warhamha wa'aafihi wa'fu'anha.
    Wahai Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan ampunilah segala dosa dan kesalahannya.
    Semoga ms Mohadi, diberikan kekuatan menghadapi ujian ini. Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan kita.

    BalasHapus
  3. Untaian kata yang indah, sedih sekaligus terharu. Mudah mudahan saudara kita yang sedang diberikan ujian dapat melewati dengan kesabaran dan dimudahkan jalannya untuk mencapai derajat yang lebih tinggi .

    BalasHapus
    Balasan
    1. آمين يا الله يا مجيب الدعوات

      Hapus

Populer