Belakang (ki-ka): Aziz, Suko, Mohadi, Topo & putrinya, Gw. Depan (ki-ka): Anis, Nur Ch., Uswatun, Sofi, Shaila, Diana. |
Mencuci pakaian sudah selesai. Tidak biasa, sebenarnya, saya mencuci sore-sore begitu. Malam selepas isya menjadi waktu favorit bagi saya untuk keceh. Alasannya sederhana tapi prinsipiel: itulah waktu yang paling senggang.
Sabtu (3/9) sore itu saya menunggu jam keberangkatan. Suko
Bantul, yang menawarkan diri untuk menjadi relawan tour leader saya,
menjadwalkan berangkat pukul 5-an sore. Sebelum asar saya sudah tiba di rumah.
Untuk membunuh waktu sekitar 2 jam itulah, saya menyalurkan hobi: bermain air
sabun untuk membasahi pakaian kotor. Saya lebih suka menyebutnya bermain, bukan
pekerjaan, karena hobi yang satu ini menggelikan hati: pakaian kering dibasahi,
lalu mati-matian dikeringkan lagi. Kurang kerjaan! Makanya, bermain.
Menjelang pukul 5 saya sudah tiba di markas Banyumanik,
tempat kerja yang saya tetapkan sebagai lokasi penjemputan. Sambil menunggu
kehadiran Suko, saya mencari kesibukan: bakar-bakar sesuatu. Tepat pukul 17.00
WPS (waktu ponsel saya) saya menerima pesan WhatsApp dari Suko.
“OTW,” tulisnya.
Saya salah menafsirkan. Saya pikir, pukul 5-an itu jadwal
keberangkatan dari markas saya. Ternyata, itu waktu keberangkatan Suko dari
rumahnya di Gunungpati. Jarak dari rumah Suko ke markas saya berkisar 11 km.
Ditempuh dengan mobil berkecepatan normal—menurut estimasi Google Map—membutuhkan
waktu 25 menit.
“Oke. Aku ya lagi tekan Hiday,” balas saya.
Untuk kegiatan nonprotokoler, saya tidak biasa memberlakukan
jadwal secara kaku. Perubahan agenda secara mendadak pun bukan sesuatu yang tabu. Tuhan—Yang Maha
Berdaulat atas segala isi jagat semesta—saja begitu luwes dalam memaklumi situasi
dan kondisi yang dialami hamba-Nya. Salat Subuh boleh ditunaikan sejak terbit
fajar hingga sebelum terbit matahari. Orang yang punya keperluan di akhir
fajar, boleh bersalat Subuh di awal fajar. Sebaliknya, yang terkendala hajat di
awal fajar, tidak divonis salah jika salat Subuhnya di akhir fajar. Yang baku
dan tak boleh ditawar, jumlah rakaatnya pas: dua.
Saya pantau perkembangan eksekusi agenda sambang kadang. Sasaran
pertama rumah Mohadi Pekalongan. Rombongan Tegal sudah berangkat. Ini harus
diantisipasi. Kami, rombongan Semarang dan Tegal, merencanakan untuk bisa
bertemu di Pekalongan. Bagaimana kalau nanti jarak kedatangan kami di
Pekalongan terlalu lama? Dari Pekalongan, kami berencana melanjutkan silaturahmi
ke rumah Salahudin “Didin” Banjarnegara. Bagaimana kalau nanti sampai larut
malam kami belum puas melepas rindu di Pekalongan?
Panggilan telepon masuk ke ponsel saya. Saya tengok, Suko
yang menelepon. Panggilan saya abaikan. Saya lihat sebuah mobil hitam masuk
halaman markas lewat pintu keluar. Sementara, saya duduk di teras pos satpam di
dekat pintu masuk. Prewangan saya berbisik: itu pasti Suko. Notifikasi
panggilan masuk masih terus berisik di layar ponsel. Saya bergeming. Biar saja.
Saya lambaikan tangan, memanggil mobil yang mulai berhenti itu.
Terhipnosis oleh lambaian tangan saya, mobil berbelok ke
kiri dan bergerak mendekat ke arah saya. Suko turun. Azan magrib sudah mulai
berkumandang dari ponsel saya.
“Mau salat dulu atau nanti jamak takhir saja di sana?” tanya
saya.
“Nanti di sana saja bagaimana? Kasihan yang sudah nunggu,”
jawab Suko.
Kami bersepakat untuk memanfaatkan kemahaluwesan Sang Perumus
syariat. Suko membuka pintu kiri depan dan menyilakan saya masuk. Rupanya ia
masih memegang pakem berkendara bersama senior. Saya masuk dan duduk di sebelah
sopir. Di barisan belakang ada Suko bersama istrinya, Diana Kebumen, dan putri
bungsu mereka, Shaila (mohon dimaafkan jika saya salah mengeja namanya).
Mobil pun segera berangkat. Sekitar setengah jam berikutnya,
saya mengirim peta live location ke grup percakapan. Saya tidak ingin
membebani teman-teman dari Tegal—yang sudah sampai di rumah Mohadi, Kajen,
Pekalongan—dengan meminta mereka menunggu skuad Semarang. Melalui peta
itu, mereka bisa memantau progres perjalanan kami. Saya serahkan keputusan di
tangan mereka: menunggu atau cabut sebelum kami datang. Mereka lebih
tahu, berapa lama mereka bisa meluangkan waktu untuk singgah di rumah Mohadi.
Sebelumnya, ketika Suko dan rombongan masih di perjalanan
menuju markas saya, saya sudah berkirim kabar kepada Didin. Kepadanya saya
sampaikan kemungkinan perubahan agenda. Semula kami berencana menginap di
rumahnya, Wanayasa, Banjarnegara. Namun, saya harus berpikir ulang. Saya tidak
tahu jarak dan kondisi jalan dari Kajen ke Wanayasa. Saya juga tidak tahu
kondisi fisik dan mental sopir. Yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan,
kondisi tuan rumah. Selain kepada Didin, kemungkinan menginap di Kajen itu juga
saya kabarkan kepada Mohadi.
***
Setelah sempat kebablasan sampai ujung jalan buntu,
akhirnya kami menemukan rumah Mohadi. Itu berkat kemurahan hati seorang ibu-ibu
yang kami tanyai di dekat pemberhentian mobil kami. Beliau rela beranjak dari
duduknya demi menunjukkan rute menuju rumah sahabat kami itu. Ternyata sudah
sangat dekat, hanya perlu kembali mundur sedikit lalu berbelok ke kanan.
Begitu memasuki gang itu, pandangan kami sudah menemukan
mobil putih terparkir di halaman sebuah rumah di arah kiri depan. Itu pasti
Topo dan pasukan Tegal, batin saya. Kami tinggal maju sedikit lalu belok kiri
sedikit juga. Sebelum berbelok, kami sudah bisa melihat teman-teman anggota
rombongan Tegal berdiri di dekat mobil.
Benar saja adanya. Menemani tuan rumah Mohadi, mereka
menyambut kami di halaman. Entah sudah berapa lama Uswatun Tegal, Nur Ch.
Tegal, dan Topo Tegal beserta istri, Anis, plus sekompi bocil-nya
menunggu.
Kata sementara orang, menunggu itu pekerjaan yang paling
membosankan. Itu salah mereka yang menganggap menunggu sebagai pekerjaan. Bagi
teman-teman Tegal, bisa jadi, menunggu kami pada malam itu dirasakan sebagai
ibadah yang paling seru. Mereka bisa melakoninya sambil bercengkerama hangat bersama
sahabat-sahabat yang jarang berjumpa, sambil sejenak mengusir kesepian yang beberapa
minggu melanda tuan rumah.
Setelah saling bertukar kabar dengan tuan rumah dan
tetamunya dari Tegal, kami menyusul jagongan di teras. Entah mengapa,
saya selalu mendapati keakraban teras tak pernah bisa ditandingi oleh
kehangatan ruang tamu. Alhasil, tawaran untuk duduk di dalam pun tidak saya
hiraukan.
Tidak berselang lama, datanglah Aziz Ulujami yang kini
merantau di Comal—perantauan lintas kecamatan dalam kabupaten yang sama:
Pemalang. Kehadirannya yang dengan tangan kosong sungguh mengecewakan saya,
sebenarnya. Saya telanjur membayangkan ia datang membawa sekarung mi instan
untuk kami rebus dan santap beramai-ramai. Ah, barangkali kenaikan harga BBM
yang berlaku sejak sore itu telah mengganggu peredaran mi instan di Comal.
Hanya Aziz yang tahu.
Menyusul berikutnya, Sofi Kajen bersama suami. Sebenarnya
mereka sudah menunggu kami di jalan agar bisa membersamai rombongan Semarang
menuju rumah Mohadi, tetapi takdir berkata lain. Aplikasi peta perjalanan
menuntun kami lewat jalur yang tidak melalui lokasi mereka menunggu.
Sofi datang membawa ujian tersendiri untuk saya. Dengan
segenap harap, dia ingin memboyong seluruh tamu Mohadi untuk singgah ke
rumahnya sebelum melanjutkan perjalanan ke Wanayasa atau pulang ke Tegal.
Keinginan itu wajar adanya. Rumah Sofi hanya sepelempar batu dari rumah Mohadi.
Semua mengiyakan, kecuali saya. Sama sekali tidak ada maksud untuk menolak niat
mulia Sofi dan suaminya. Saya hanya merasa, ada misi yang belum saya tunaikan
di rumah Mohadi.
Kepada Suko saya bertanya, “Nanti jadinya kita menginap di
sini atau di Wanayasa?”
“Wanayasa,” jawabnya.
Saya mesti menentukan pilihan di antara dua kemungkinan
dampak yang sama-sama tidak mengenakkan: melukai yang sedang berduka atau menyakiti
yang ingin bersuka. Bismillah, saya putuskan untuk menghindari mudarat pertama.
Kalaupun—dan pasti—tidak mampu membantu menyembuhkan, saya tidak boleh menambah
luka pada sahabat yang tengah berduka.
Karena tidak akan menginap di rumah Mohadi, saya pilih tidak
ikut mampir ke rumah Sofi demi membersamai Mohadi lebih lama sebelum beranjak
ke Wanayasa. Andai malam itu kami menginap di rumah Mohadi, tidak ada keberatan
sebiji sawi pun untuk meluluskan permintaan Sofi dan suaminya. Dari rumah Sofi,
saya bisa melanjutkan glenikan dengan Mohadi—entah sambil sila
tumpang, selonjoran, jegang, kelonan, atau pijet-pijetan.
Suko menangkap kebimbangan saya. Ia tangkas mengambil
keputusan: ia dan Diana ikut mampir ke rumah Sofi, saya “dititipkan” di rumah
Mohadi. Usai dari rumah Sofi, mereka kembali ke rumah Mohadi untuk menjemput
saya. Win-win solution. Saya sepakat.
Semoga Sofi dan suaminya bisa memahami pilihan saya.
Andaipun mereka sempat terluka oleh ketidakikutsertaan saya mampir ke rumahnya,
semoga penjelasan ini cukup menjadi penawarnya.
***
Sofi dan suami (duh, maaf, kenapa saya tidak sempat mengenal
namanya?), Rombongan Tegal, dan rombongan Semarang minus saya berpamitan. Mohadi
dan saya kembali duduk melantai di teras. Beberapa kali dari dalam rumah
terdengar suara pintu dibuka atau ditutup. Lalu terdengar suara perempuan,
tidak jelas di telinga saya. Mohadi menoleh ke sumber suara, menanyakan
maksudnya.
“HP-nya Bapak? Ini, ambil sini,” kata Mohadi sambil
mengulurkan tangannya yang memegang HP.
Seorang gadis keluar menyusul kami. Cantik sekali. Setelah
meraih ponsel dari tangan bapaknya, dia mendekat dan menyalami saya.
“Nglilir, Nok?” sapa saya.
Tampaknya putri bungsu Mohadi itu kurang memahami arti nglilir.
Bapaknya yang menjelaskan kepada saya. Rupanya, siswi kelas 8 itu belum sempat
tidur malam itu.
“Dari tadi belum tidur, cuma di dalam kamar.”
Lalu kami pindah ke dalam. Bincang-bincang berlanjut di
ruang tamu. Topik obrolan didominasi kesaksian Mohadi atas kebaikan istrinya, Eva
Rosdhyana Bumiayu, yang berpulang pada 10 Agustus 2022. Mutiara kehidupan berkilauan
setiap kali dibuka halaman album yang menyimpan kenangan Mohadi sejak pertemuannya
dengan Eva hingga perpisahannya dari almarhumah.
Sepanjang menyimak penuturan Mohadi, saya merasa tak sedetik
pun layak untuk melepaskan pena dari genggaman jari jemari. Setiap babak yang dikisahkan
adalah potret sikap hidup yang layak untuk diteladani. Setiap adegannya adalah sketsa
inspirasi yang layak untuk diwarisi.
Di mata saya, perjodohannya dengan Eva adalah anugerah yang
didatangkan dari jalan yang tak ternyana. Seperti diakui Mohadi sendiri,
kemudahan Eva dan keluarga besarnya dalam menerima kehadiran Mohadi adalah
mukjizat. Pilihan Eva untuk berkhidmat kepada suami dan keluarga selama 24
jam/hari dan 7 hari/minggu adalah ikhtiar tanpa kalkulasi untung-rugi duniawi.
Tak henti-hentinya Mohadi membacakan kliping cerita kebaikan
istrinya. Begitu dalam ia menghayati keagungan jiwa perempuan yang
mendampinginya selama 25 tahun itu. Mungkin ia sendiri tidak tahu, atas amal
saleh apa ia diganjar istri qurratu-l-‘ain sesempurna Eva.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk merunut alur kausalitas itu. Sebelum
bertemu Eva, Mohadi menjalani tirakat terberat sepanjang hidupnya: sabar. Saking
beratnya tirakat itu, Allah Al-Muntaqim tidak berkenan menakar
ganjarannya. Al-Muhaimin “hanya” berjanji untuk membersamai kaum penyabar.
Adakah maqam yang lebih tinggi daripada dibersamai Rabb As-Salām?
Setelah seperempat abad memetik buah kesabarannya, kini
Mohadi diuji untuk membuktikan konsistensi kesabarannya. Menurut kacamata saya,
uji kesabaran kali ini lebih berat. Dulu ia harus bersabar menyikapi ketiadaan
yang sejak awal sudah tiada. Sekarang ia menghadapi ketiadaan yang mulanya ada.
Rekam jejak kesabarannya dalam mensyukuri keberadaan, saya yakin, menjadi
indikasi bahwa Mohadi sanggup menetapi kesabaran ketika kembali menghadapi
ketiadaan. Bahwa ia membutuhkan proses untuk sampai ke sana, itu manusiawi dan
alami.
***
Penjemputannya berkesan mendadak, tetapi Eva sudah sejak
jauh-jauh hari menyiapkan bekal kepulangannya. Panggilan pulang selalu dia
sambut dengan sigap. Setiap gejala sakit yang dia rasakan tak pernah ditanggapi
dengan ekspresi protes atau pengingkaran. Kalaupun sesekali merintih, lisannya
semata-mata melafazkan zikir kepasrahan total. Tampaknya dia paham betul,
tiap-tiap rasa sakit sejatinya adalah panggilan: “Wahai jiwa yang tenteram,
pulanglah kepada Pengasuhmu dengan rida dan diridai.”
Mohadi menyesal karena tidak sempat dipamiti dan mengantar
istrinya pada detik-detik terakhir kebersamaan keduanya. Ia merasa ditilapake.
Saya memahami, itulah cara Ar-Raḥmān Ar-Raḥīm menyempurnakan ḥusnul-khātimah-nya Eva. Allah tidak tega menjemput Eva pulang dengan berlinang
air mata kesedihan demi menyaksikan duka suaminya. Eva tidak perlu menunggu talkin
oleh orang-orang yang disayang dan menyayanginya. Bukankah sepanjang hidupnya dia
sudah melafazkan tahlil—zikir sempurna: lisan, hati, dan amal?
Proses penjemputan Eva yang begitu cepat, mudah, dan ringan
tak ayal mengundang penasaran. Amalan apa yang di-dawwam-kan ibu rumah
tangga itu sehingga begitu mulus dia menjalani sakaratul-maūt? Mohadi
sempat celingukan mencari catatan untuk menjawab penasaran banyak orang. Akhirnya
ia temukan rekaman kebiasaan tidak biasa yang tidak pernah ditinggalkan Eva:
minta maaf. Di akhir cengkerama dengan keluarga, rapat PKK, pengajian, obrolan
santai bersama tetangga, atau pertemuan remeh-temeh apa pun, dia tak lupa
meminta maaf dari mereka yang hadir.
Majelis-majelis resmi dan semiresmi juga lazim diakhiri
dengan doa penutup majelis. Isinya permohonan ampunan juga. Namun, sadarkah
kita bahwa yang dimohon baru ampunan dari Sang Maha Pengampun? Eva
menyempurnakannya dengan meminta ampunan dari sesama, yang kadang judesnya
minta ampun.
Tabik.
Semoga Kang Mohadi kuat lahir batin, "..... sanggup menetapi kesabaran ketika kembali menghadapi ketiadaan..." Dan semoga mbak Eva dipilihkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin
BalasHapusAmin, ya Allah.
HapusInnalillahi Wainnailahi Rajiun.
BalasHapusSemoga mb Eva Rosdiana diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Buat ms Mohadi, bersedihlah secukupnya, karena nantinya semua akan berkumpul lagi. Semoga bisa dikumpulkan kembali ke tempat yang indah.
Saya turut berduka cita atas meninggalnya mb Eva.
Allahummaghfirlaha warhamha wa'aafihi wa'fu'anha.
Wahai Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, sejahterakanlah dia dan ampunilah segala dosa dan kesalahannya.
Semoga ms Mohadi, diberikan kekuatan menghadapi ujian ini. Ingatlah bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan kita.
Amin, ya Rabbal-`alamin.
HapusUntaian kata yang indah, sedih sekaligus terharu. Mudah mudahan saudara kita yang sedang diberikan ujian dapat melewati dengan kesabaran dan dimudahkan jalannya untuk mencapai derajat yang lebih tinggi .
BalasHapusآمين يا الله يا مجيب الدعوات
Hapus