Junior. Belum genap satu semester saya bergabung di sekolah Y. Sebagai guru tidak tetap (GTT), tiap bulan saya menerima honor yang dihitung berdasarkan beban kerja. Variabelnya, jumlah jam mengajar per minggu. Tidak banyak tetapi—setelah digabungkan dengan honor mengajar di sekolah X—cukup untuk menghidupi diri sendiri: sewa kamar kos, makan, transportasi, prangko (belum musim pulsa atau paket data), dan lain-lain.
Menginjak semester ke-2, pendapatan saya dari sekolah Y bertambah. Selain honor mengajar, ada tunjangan jabatan. Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum (Wakasek Kurikulum) lolos seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dia harus menanggalkan statusnya di sekolah itu, beserta segala tugas dan jabatannya. Jabatan wakasek kurikulum itulah yang kemudian saya warisi.
Begitu menerima kabar lolos seleksi CPNS, Pak Ut—nama lengkapnya: Utomo—berpamitan kepada Kepala Sekolah. Keduanya lalu berunding untuk menentukan pengganti Pak Ut. Keesokannya saya dipanggil oleh Kepala Sekolah. Vonis untuk saya pun dijatuhkan: calon tunggal pengganti Pak Ut.
Saya naik banding. Masih ada beberapa guru senior. Sebagian guru tetap yayasan (GTY), sebagian lagi GTT seperti saya. Mereka semua berijazah. Ada yang S-1, ada juga yang D-3. Sementara, ketika melamar kerja setengah tahun sebelumnya, saya hanya menyodorkan surat keterangan status: masih pelajar. Untuk gagah-gagahan, beberapa helai salinan piagam dan sertifikat saya sertakan. Saya punya ijazah guru, tetapi tidak qualified untuk mengajar mata pelajaran dan jenjang sekolah yang saya lamar.
Saya meyakini, senior-senior saya lebih layak untuk menjadi deputi kepala sekolah. Dari berbagai kriteria, jelas mereka lebih unggul. Satu-satunya kelebihan saya hanya ini: muda bergaya. Dibanding mereka, saya lebih muda dalam usia, ilmu, dan pengalaman; bergaya: menampik titah atasan, berlagu, sok emoh jabatan. Kepala Sekolah keukeuh. Pak Ut ikut-ikutan membujuk dan meyakinkan saya. Terdesak, saya bertanya: apa tugas dan fungsi jabatan yang ditawarkan kepada saya itu? Kepala Sekolah dan Pak Ut menguraikan jawabannya, saling melengkapi.
Tugas dan fungsi itu melekat pada jabatan. Semua tuntutan kompetensi itu saya gantungkan sebagai bandul di ujung lengan beban pada neraca jabatan. Lalu saya "dhidhis" untuk menjumputi "lingsa-lingsa" yang sekiranya menetas dan tumbuh bisa menjawab tuntutan kompetensi itu. Semua kapasitas diri itu saya gantungkan sebagai bandul di ujung lengan kuasa yang panjangnya sama dengan lengan beban.
Neraca jabatan itu memperlihatkan perbandingan antara kompetensi yang diperlukan (demand) dan kapasitas saya untuk memenuhinya (supply). Ada tiga kemungkinan: (a) bobot beban lebih kecil daripada kuasa; (b) bobot beban dan kuasa setimbang; atau (c) bobot beban lebih besar daripada kuasa.
Jika neraca jabatan menunjukkan kedudukan (a), saya wajib menerima tawaran jabatan itu. Menolaknya berarti khianat. Jika kedudukan neracanya (b), sunah muakadah bagi saya untuk menerimanya. Mengelak darinya berarti menelantarkan ladang amal saleh. Jika kedudukannya (c), ikhtiar menjadi keharusan bagi saya: bisa menerima, bisa menolak.
Dapat ditebak, neraca jabatan untuk saya pada waktu itu menunjukkan kedudukan (c). Catatan jejak pengalaman, derajat pendidikan, dan bilangan usia saya jelas tidak sanggup mengimbangi beban tugas dan fungsi wakasek kurikulum—atau wakasek urusan apa saja.
Saya pun melakukan ikhtiar, memperhitungkan masak-masak pros and cons—bagi saya dan bagi organisasi—bila saya menerima atau menolak tawaran itu. Kelemahan saya sudah terdeteksi: kurang umur, minim pendidikan, dan miskin pengalaman. Tantangan sudah terukur: meningkatkan kapasitas untuk menutup kesenjangan antara kompetensi yang dibutuhkan jabatan dan kompetensi yang sudah saya capai. Masih dua komponen yang harus diidentifikasi: peluang yang tersedia di lingkungan kerja dan kekuatan laten di dalam diri saya.
Peluang dan kekuatan teridentifikasi. Lengkaplah sudah peta SWOT—kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan tantangan (threats). Kesimpulan hasil analisisnya, saya sanggup menutup supply and demand gap itu—lagi-lagi, bergaya bin takabur. Maka, saya putuskan untuk menerima tugas tambahan sebagai wakasek.
Keputusan telah diambil. Sampailah saya pada konsekuensi atas ikhtiar itu: sembada. Berani menghadapi tantangan, berarti saya harus sanggup memantaskan diri. Kembali saya reviu tugas dan fungsi yang teridentifikasi saya belum cakap untuk menunaikannya. Saya rumuskan alternatif-alternatif tindakan untuk mendongkrak kompetensi yang relevan. Saya inventarisasi daya dukung yang bisa saya peroleh dari lingkungan kerja. Saya inventori kemampuan saya yang bisa dijadikan tools untuk melipatgandakan efikasi tindakan.
***
Jika diformulasikan, empat langkah yang saya ambil ketika menghadapi tawaran tugas baru itu bisa diakronimkan menjadi TIPs—dengan s kecil karena berlaku hanya jika keputusannya menerima.
Timbang – Buat daftar periksa (checklist) tugas dan fungsi yang dituntut. Centang tugas dan fungsi yang siap dijalankan dengan pengetahuan atau keterampilan memadai. Silang yang belum siap. Tunjukkan checklist tersebut kepada pimpinan (atasan yang menawarkan tugas) dan diskusikan bersamanya.
Ikhtiar – Analisis secara saksama sebelum menentukan pilihan. Identifikasi daya dukung yang tersedia di lingkungan kerja (dalam hal ini, sumber daya sekolah): money, materials, means, dan men. Inventori kemampuan diri yang memungkinkan pendayagunaan sumber daya yang ada.
Putuskan – Ambil keputusan rasional. Jika yakin akan peluang untuk memenuhi tugas dan fungsi yang semula masih minus kompetensi, terima tugas baru tersebut. Ini keputusan yang membuka dua pintu akibat sekaligus: pahala atau dosa. Sebaliknya, jika peluangnya kecil atau bahkan nihil, tolak. Keputusan ini dengan sendirinya menutup kedua pintu tersebut.
sembada – Siagakan diri untuk berjibaku menggeluti ilmu-ilmu baru. Itu kalau keputusannya menerima tugas yang ditawarkan. Kalau keputusannya menolak, gugur sudah konsekuensi ikutannya. Sikap sembada itu—apa pun hasilnya—menjadi kunci pembuka pintu pahala. Jika efektif meningkatkan kinerja organisasi, ada pahala berlimpah atas kontribusi positif kepada sekolah. Jika gagal, tersedia dua pahala untuk ijtihad yang keliru padahal sudah mengerahkan segenap daya upaya. Apa pun hasilnya, ada bonus yang setia menanti: pengalaman—guru terbaik.
***
Jika Anda guru atau tenaga kependidikan di sekolah, Anda punya peluang besar untuk mengalami konflik serupa. Sekolah adalah organisasi dengan misi kompleks. Seorang karyawan (guru juga karyawanπ) sekolah sangat lazim ketiban sampur untuk menjalankan aneka tugas dan fungsi di luar tugas pokoknya. Melatih atau membina kegiatan ekstrakurikuler, mandhegani kegiatan terprogram atau insidental, melatih dan membimbing duta sekolah dalam kompetisi atau ekshibisi, hingga memangku jabatan di level manajemen kerap terasa sebagai titah dadakan.
Kecakapan untuk melakoni peran-peran ekstra itu tidak termaktub di dalam menu pembelajaran intrakurikuler pendidikan formal. Ruang-ruang kelas sekolah dan kuliah tidak bertanggung jawab untuk menginkubasi talenta-talenta aktor dan sutradara "true-life play". Hanya para pelajar yang menyadari kodratnya sebagai kader masyarakat, bangsa, dan dunia kerja yang rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya demi menempa diri di luar kelas sekolah/kuliah. Demi berburu kesempatan tersebut, tidak jarang mereka harus mengorbankan obsesi akademis—yang diternakkan sendiri atau sekadar titipan sponsor.
Jadi, saya tidak sendiri. Setiap hari, di setiap sekolah, bisa muncul tindakan darurat serupa: penugasan "semena-mena". Boleh jadi Anda pun akan, sedang, atau sudah pernah mengalami "musibah" senada: menghadapi tugas baru tanpa bekal memadai. Sekiranya layak untuk diadopsi menjadi solusi aplikatif, jurus sederhana TIPs itu sah-sah saja untuk dianggap sebagai tips.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar