Ina (paling kanan) dan suaminya, Tabah (tengah), urung menginap di Wanayasa |
Menit ke-17 dari pukul 24.00 alias 00.00. Regu Semarang meninggalkan Kajen menuju Wanayasa. Ternyata, jarak dua kecamatan berbeda kabupaten itu tidak begitu jauh. Menurut petunjuk Mohadi (duh, jadi kangen Pak Harmoko), dari Kajen lurus ke selatan melewati Paninggaran dan Kalibening, lalu sampailah di Wanayasa. Jalannya menanjak terus, tapi landai, katanya. (Entah mengapa Mohadi tidak mengabarkan, tanjakan-tanjakan itu berselang-seling dengan turunan curam juga?)
Lepas kota Kajen, kami langsung menyusuri jalan mendaki membelah hutan. Awalnya memang landai. Namun, lama-kelamaan di
beberapa ruas kemiringannya cukup efektif untuk meredam laju mobil. Ditambah
sejumlah tikungan tajam di beberapa titik. Khas kontur jalan di perbukitan,
tanjakan terjal segera dibalas dengan turunan curam. (Suko dan Diana tak perlu
menyisipkan cerita di sini.)
Biasanya saya cepat-cepat
merapal mantra sakti ketika sudah duduk di jok mobil: bismika ....
Namun, tidak demikian malam itu. Padahal, ketika masih di rumah Mohadi, sudah
beberapa kali saya menguap (memang saya benda cair?). Berdasarkan hasil
penyelidikan tim pencari faktor, ada tiga fakta yang ditetapkan sebagai
tersangka pengusir kantuk saya. Pertama, khayalan akan keseruan memiloti WinAir100
dalam jelajah malam di medan berkelok-kelok naik turun itu. Kedua, bayang-bayang
tagihan Amar untuk menulis liputan perjalanan sambang kadang
Pekalongan-Banjarnegara-Temanggung. Ketiga—dan yang utama, penghayatan sepenuh
perasaan setiap kali mobil meliuk mengikuti alur tikungan tajam yang
bersekongkol dengan turunan curam.
Dugaan saya, di kanan dan kiri
jalan yang kami lalui terbentang panorama indah nan menakjubkan. Sayang, bola
mata kami tak dilengkapi panel cahaya yang dapat menyimpan sinar matahari dan
memancarkannya kembali ketika malam telah gelap. Hanya sesekali, ketika menoleh
ke kiri, saya menyaksikan cahaya lampu-lampu bertaburan di kejauhan.
Pemandangan semacam itu, keindahannya sudah expired di mata saya. Dulu,
5—6 windu silam, kedipan cahaya lampu-lampu kota seperti itu memancarkan pesona
magis bagi saya. Maklum, kala itu sehari-hari (eh, semalam-malam) hanya
diterangi nyala uplik, yang sering kehabisan minyak sebelum PR kelar.
Pada ruas jalan antara
Kalibening dan Wanayasa, saya dikejutkan oleh penampakan sesosok mistis.
Seorang lelaki—mungkin lebih tua daripada saya—memikul rumput menyusuri tepi
jalan searah dengan kami. Jam berapa beliau masuk hutan gulita dan mulai
merumput? Dengan bantuan cahaya apa beliau memastikan sabitnya membabat rumput,
bukan ular atau kakinya sendiri? Pasti beliau bukan orang sembarangan. Paling
tidak, etos kerjanya jauh mengungguli sebagian aparatur negara yang suka
mengelabui mesin atau aplikasi presensi.
Sampai di simpang tiga
Wanayasa, kami bimbang: BRI di jalur ke kanan atau ke kiri? Masih diliputi
keraguan, sopir membelokkan mobil ke kiri. Sampai di depan markas Polsek,
keraguan kami makin membuncah. Saya buka aplikasi peta perjalanan. Saya ketik
“BRI Wanayasa” lalu klik “GO”. Nah, betul, kan? Betul-betul salah arah. Om Waze
menyuruh kami berbalik arah. Kami manut.
Sebenarnya tuan rumah, Didin,
sudah mengirim peta lokasi, tetapi yang dibagikan live location, bukan current
location. Akibatnya, kami hanya bisa melacak ke mana pergerakan Didin,
bukan ke mana rute menuju rumahnya. Nasib serupa pernah dialami Amar ketika
mengantar saya dan istri ke Jatinom tempo hari. Siapa yang salah? Yang hafal
rute menuju rumah Didin tetapi tidak membersamai perjalanan kami!
Pukul 02.10—anggap saja tepat
sebegitu—kami menemukan plengkung gapura bertuliskan “GUYUB RUKUN”. Itu
ancar-ancar gang menuju rumah Didin. Mobil masuk. Jalannya sangat pelan. Kami
menengok ke kanan dan ke kiri, mencari pintu rumah yang masih terbuka. Pesan
saya kepada Didin, sebelum berangkat dari Kajen, pintu jangan ditutup.
Belum menemukan pintu terbuka,
Mas Sopir dikagetkan oleh seonggok kepala sapi hitam tergeletak di tengah
jalan—agak ke tepi kanan—yang kami lalui. Mobil berhenti. Saya menoleh ke kiri.
“Lha, ini rumahnya. Itu kan kolam yang kemarin videonya dikirim Didin,” teriak
saya.
Saya turun. Mobil melanjutkan
berjalan ke utara—perasaan saya, yang ternyata justru ke selatan—untuk mencari
tempat yang bisa untuk berbelok (ateret). Saya buka gerbang yang tidak
sempurna tertutup. Saya uluk salam. Tidak ada yang menyahut. Saya
ulangi. Masih tidak terdengar jawaban. Saya ketuk pintu perlahan, membuka
sedikit. Saya dorong pintu. Terbuka. Ternyata pintu tidak terkunci.
Ada tiga sosok tubuh berselimut
terkapar di tiga sofa terpisah. Yang dua bangun. Salah satunya langsung meraih
kacamata yang tergeletak di meja. Garis wajahnya masih lekat di ingatan saya.
Hanya badannya tidak lagi selangsing ketika masih suka berebut kuah rebusan mi
instan dulu. Yang satunya lagi masih belum berubah: kecil, pendek, bibirnya elastis
dan renyah—rajin tersenyum. Nah, ketika mulai bercakap baru kelihatan
perubahannya: beberapa unit giginya raib.
Satunya lagi, yang tidak turut
bangun, dibiarkan menuntaskan mimpinya. Dia anak muda, selain masih berhak
punya banyak mimpi, juga belum kuat banyak melek malam. Ia Hafiz (entah,
bagaimana ejaan namanya), putra sulung Ali “Brebes” Masruri yang sekarang
ber-KTP Banjarnegara karena terperangkap takdir. Adalah Umi yang terpilih
menjadi wasilah takdir yang menimpa Ali itu.
Seperti yang saya minta, Didin
menggelar tikar di teras. Kami ngopi di luar. Hanya Diana dan si kecil
Shaila yang langsung nyungsep ke kamar. Sepiring ondhol menggoda
penasaran saya. Bukan rasanya yang bikin penasaran. Menilik bahan
bakunya, singkong, saya sudah bisa menebak rasanya. Saya penasaran akan hal
ini: ramah gusi matic atau tidak?
Belum puas menyeruput kopi yang tidak betah menyimpan
panas, kami sudah dipanggil untuk santap “sahur”. Daging dalam aneka olahan
terhidang di meja makan. Hmmm ... saya kecewa kali kedua. Untuk apa Ali
menunggu kami hingga rela bermalam di rumah Didin kalau tidak sanggup
menghadirkan nostalgia mengeroyok mi rebus berlimpah kuah? Lebih nelangsa,
Mas Sopir, lantaran lambungnya tak bisa menerima daging.
Ki-ka: Ali, Didin, Si NurS, Shaila, Diana, Suko, Gw |
Sebelum sengatan matahari menimbulkan rasa gatal di kulit—padahal, bahasa Jawanya simpel: gematel—Si NurS (Siti Nur Syamsiyah) Kalibening datang menepati janjinya. Seorang diri. Masih kendel dan ceplas-ceplos seperti dulu. Dari Si NurS, saya memperoleh cerita tentang kegigihan orang-orang kaya yang dermawan dalam menyuburkan kesejahteraan sosial di Kalibening. Ali dibuat iri karenanya.
Kehadiran Si NurS mengundang rezeki. Kami kembali
dihalau ke ruang makan. Tapi, duh, Didin seperti belum yakin kalau kami sudah percaya.
Masih saja ia ngotot menyajikan menu sarapan serba daging. Padahal,
ruang mutilasi di sisi kanan depan rumahnya itu sudah cukup untuk meyakinkan kami
bahwa ia juragan daging sapi.
Untung, Shaila pagi itu mendengar bisikan gaib saya. Gadis
belia—siswi kelas 1—itu mengangguk ketika Didin menawarkan jasa penangkapan
ikan di kolam “Taman Isoman” depan rumahnya. Tak urung, ikan emas si raja kolam
pun terciduk oleh serok Didin. Selamatlah muka saya di depan Mas Sopir, yang
antidaging itu.
***
Tak kunjung saya dapati makhluk buruan saya: aroma Sarimi rebus, seperti yang dulu—di markas Tampomas Dalam III—begitu akrab di hidung kami. Begitu pun hingga kami kejar ke rumah Ali di Pucang, Bawang, Banjarnegara.
Sebelum berpamitan, masih di rumah Didin, Ali sempat
menelepon Umi. Prasangka baik saya, kepada istrinya itu ia mengabarkan rencananya
untuk memboyong pasukan Semarang singgah ke rumahnya. Lalu ia minta Umi
menyiapkan nostalgic dish: mi rebus kaya kuah.
Betara Kura-Kura, penunggu kolam di "Taman Isoman" Didin |
Hmmm ... rasanya sudah tak betah berada di rumah Didin lebih lama lagi. Gemercik air masih setia meningkahi (bukan menikahi, lho) atraksi delapan kura-kura berbagai etnis serta beberapa ikan emas dan koi. Namun, angan saya sudah melayang ke Pucang, hendak segera menyergap panci rebusan mi yang baru diangkat dari tungku.
Tiba di Pucang, kami mendapati rumah Ali kosong. Aduh,
jangan-jangan Umi sengaja pergi menghindari pertemuan dengan saya? Siapa tahu,
ketika bertelepon tadi Ali juga membuka rahasia ini: saya belum mandi. Suko
bertanggung jawab atas perkara ini. Sebelum sarapan di rumah Didin, saya
bertanya, “Aku mau rak wis adus, ta, Om?” Spontan Suko menjawab, “Mpun.”
Kalau saya mandi, sama saja mementahkan kesaksian Suko.
Akhirnya Umi datang bersama putri bungsunya. Dia baru
pulang dari mengantar anak keduanya ke tempat les. Tak berselang lama,
kami disilakan makan siang. Tapi, kok, tidak tercium aroma mi rebus? Oh,
iya, lupa: saraf penciuman saya putus sejak 13 tahun yang lalu. Kami menuju
meja makan. Nihil!
Ki-ka: Gw, Suko, Diana, Shaila, Umi, Kaila (?), Ali |
Begitu dahsyat imbas kenaikan harga BBM. Dari Comal sampai Banjarnegara, distribusi mi instan macet total dibuatnya. Nasib.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar