8 Sep 2022

Rindu Tak Sampai, Dendam Tak Tunai

Ina (paling kanan) dan suaminya, Tabah (tengah), urung menginap di Wanayasa

Menit ke-17 dari pukul 24.00 alias 00.00. Regu Semarang meninggalkan Kajen menuju Wanayasa. Ternyata, jarak dua kecamatan berbeda kabupaten itu tidak begitu jauh. Menurut petunjuk Mohadi (duh, jadi kangen Pak Harmoko), dari Kajen lurus ke selatan melewati Paninggaran dan Kalibening, lalu sampailah di Wanayasa. Jalannya menanjak terus, tapi landai, katanya. (Entah mengapa Mohadi tidak mengabarkan, tanjakan-tanjakan itu berselang-seling dengan turunan curam juga?)

Lepas kota Kajen, kami langsung menyusuri jalan mendaki membelah hutan. Awalnya memang landai. Namun, lama-kelamaan di beberapa ruas kemiringannya cukup efektif untuk meredam laju mobil. Ditambah sejumlah tikungan tajam di beberapa titik. Khas kontur jalan di perbukitan, tanjakan terjal segera dibalas dengan turunan curam. (Suko dan Diana tak perlu menyisipkan cerita di sini.)

Biasanya saya cepat-cepat merapal mantra sakti ketika sudah duduk di jok mobil: bismika .... Namun, tidak demikian malam itu. Padahal, ketika masih di rumah Mohadi, sudah beberapa kali saya menguap (memang saya benda cair?). Berdasarkan hasil penyelidikan tim pencari faktor, ada tiga fakta yang ditetapkan sebagai tersangka pengusir kantuk saya. Pertama, khayalan akan keseruan memiloti WinAir100 dalam jelajah malam di medan berkelok-kelok naik turun itu. Kedua, bayang-bayang tagihan Amar untuk menulis liputan perjalanan sambang kadang Pekalongan-Banjarnegara-Temanggung. Ketiga—dan yang utama, penghayatan sepenuh perasaan setiap kali mobil meliuk mengikuti alur tikungan tajam yang bersekongkol dengan turunan curam.

Dugaan saya, di kanan dan kiri jalan yang kami lalui terbentang panorama indah nan menakjubkan. Sayang, bola mata kami tak dilengkapi panel cahaya yang dapat menyimpan sinar matahari dan memancarkannya kembali ketika malam telah gelap. Hanya sesekali, ketika menoleh ke kiri, saya menyaksikan cahaya lampu-lampu bertaburan di kejauhan. Pemandangan semacam itu, keindahannya sudah expired di mata saya. Dulu, 5—6 windu silam, kedipan cahaya lampu-lampu kota seperti itu memancarkan pesona magis bagi saya. Maklum, kala itu sehari-hari (eh, semalam-malam) hanya diterangi nyala uplik, yang sering kehabisan minyak sebelum PR kelar.

Pada ruas jalan antara Kalibening dan Wanayasa, saya dikejutkan oleh penampakan sesosok mistis. Seorang lelaki—mungkin lebih tua daripada saya—memikul rumput menyusuri tepi jalan searah dengan kami. Jam berapa beliau masuk hutan gulita dan mulai merumput? Dengan bantuan cahaya apa beliau memastikan sabitnya membabat rumput, bukan ular atau kakinya sendiri? Pasti beliau bukan orang sembarangan. Paling tidak, etos kerjanya jauh mengungguli sebagian aparatur negara yang suka mengelabui mesin atau aplikasi presensi.

Sampai di simpang tiga Wanayasa, kami bimbang: BRI di jalur ke kanan atau ke kiri? Masih diliputi keraguan, sopir membelokkan mobil ke kiri. Sampai di depan markas Polsek, keraguan kami makin membuncah. Saya buka aplikasi peta perjalanan. Saya ketik “BRI Wanayasa” lalu klik “GO”. Nah, betul, kan? Betul-betul salah arah. Om Waze menyuruh kami berbalik arah. Kami manut.

Sebenarnya tuan rumah, Didin, sudah mengirim peta lokasi, tetapi yang dibagikan live location, bukan current location. Akibatnya, kami hanya bisa melacak ke mana pergerakan Didin, bukan ke mana rute menuju rumahnya. Nasib serupa pernah dialami Amar ketika mengantar saya dan istri ke Jatinom tempo hari. Siapa yang salah? Yang hafal rute menuju rumah Didin tetapi tidak membersamai perjalanan kami!

Pukul 02.10—anggap saja tepat sebegitu—kami menemukan plengkung gapura bertuliskan “GUYUB RUKUN”. Itu ancar-ancar gang menuju rumah Didin. Mobil masuk. Jalannya sangat pelan. Kami menengok ke kanan dan ke kiri, mencari pintu rumah yang masih terbuka. Pesan saya kepada Didin, sebelum berangkat dari Kajen, pintu jangan ditutup.

Belum menemukan pintu terbuka, Mas Sopir dikagetkan oleh seonggok kepala sapi hitam tergeletak di tengah jalan—agak ke tepi kanan—yang kami lalui. Mobil berhenti. Saya menoleh ke kiri. “Lha, ini rumahnya. Itu kan kolam yang kemarin videonya dikirim Didin,” teriak saya.

Saya turun. Mobil melanjutkan berjalan ke utara—perasaan saya, yang ternyata justru ke selatan—untuk mencari tempat yang bisa untuk berbelok (ateret). Saya buka gerbang yang tidak sempurna tertutup. Saya uluk salam. Tidak ada yang menyahut. Saya ulangi. Masih tidak terdengar jawaban. Saya ketuk pintu perlahan, membuka sedikit. Saya dorong pintu. Terbuka. Ternyata pintu tidak terkunci.

Ada tiga sosok tubuh berselimut terkapar di tiga sofa terpisah. Yang dua bangun. Salah satunya langsung meraih kacamata yang tergeletak di meja. Garis wajahnya masih lekat di ingatan saya. Hanya badannya tidak lagi selangsing ketika masih suka berebut kuah rebusan mi instan dulu. Yang satunya lagi masih belum berubah: kecil, pendek, bibirnya elastis dan renyah—rajin tersenyum. Nah, ketika mulai bercakap baru kelihatan perubahannya: beberapa unit giginya raib.

Satunya lagi, yang tidak turut bangun, dibiarkan menuntaskan mimpinya. Dia anak muda, selain masih berhak punya banyak mimpi, juga belum kuat banyak melek malam. Ia Hafiz (entah, bagaimana ejaan namanya), putra sulung Ali “Brebes” Masruri yang sekarang ber-KTP Banjarnegara karena terperangkap takdir. Adalah Umi yang terpilih menjadi wasilah takdir yang menimpa Ali itu.

Seperti yang saya minta, Didin menggelar tikar di teras. Kami ngopi di luar. Hanya Diana dan si kecil Shaila yang langsung nyungsep ke kamar. Sepiring ondhol menggoda penasaran saya. Bukan rasanya yang bikin penasaran. Menilik bahan bakunya, singkong, saya sudah bisa menebak rasanya. Saya penasaran akan hal ini: ramah gusi matic atau tidak?

Belum puas menyeruput kopi yang tidak betah menyimpan panas, kami sudah dipanggil untuk santap “sahur”. Daging dalam aneka olahan terhidang di meja makan. Hmmm ... saya kecewa kali kedua. Untuk apa Ali menunggu kami hingga rela bermalam di rumah Didin kalau tidak sanggup menghadirkan nostalgia mengeroyok mi rebus berlimpah kuah? Lebih nelangsa, Mas Sopir, lantaran lambungnya tak bisa menerima daging.

Ki-ka: Ali, Didin, Si NurS, Shaila, Diana, Suko, Gw

Sebelum sengatan matahari menimbulkan rasa gatal di kulit—padahal, bahasa Jawanya simpel: gematel—Si NurS (Siti Nur Syamsiyah) Kalibening datang menepati janjinya. Seorang diri. Masih kendel dan ceplas-ceplos seperti dulu. Dari Si NurS, saya memperoleh cerita tentang kegigihan orang-orang kaya yang dermawan dalam menyuburkan kesejahteraan sosial di Kalibening. Ali dibuat iri karenanya.

Kehadiran Si NurS mengundang rezeki. Kami kembali dihalau ke ruang makan. Tapi, duh, Didin seperti belum yakin kalau kami sudah percaya. Masih saja ia ngotot menyajikan menu sarapan serba daging. Padahal, ruang mutilasi di sisi kanan depan rumahnya itu sudah cukup untuk meyakinkan kami bahwa ia juragan daging sapi.

Untung, Shaila pagi itu mendengar bisikan gaib saya. Gadis belia—siswi kelas 1—itu mengangguk ketika Didin menawarkan jasa penangkapan ikan di kolam “Taman Isoman” depan rumahnya. Tak urung, ikan emas si raja kolam pun terciduk oleh serok Didin. Selamatlah muka saya di depan Mas Sopir, yang antidaging itu.

***

Tak kunjung saya dapati makhluk buruan saya: aroma Sarimi rebus, seperti yang dulu—di markas Tampomas Dalam III—begitu akrab di hidung kami. Begitu pun hingga kami kejar ke rumah Ali di Pucang, Bawang, Banjarnegara.

Sebelum berpamitan, masih di rumah Didin, Ali sempat menelepon Umi. Prasangka baik saya, kepada istrinya itu ia mengabarkan rencananya untuk memboyong pasukan Semarang singgah ke rumahnya. Lalu ia minta Umi menyiapkan nostalgic dish: mi rebus kaya kuah.

Betara Kura-Kura, penunggu kolam di "Taman Isoman" Didin

Hmmm ... rasanya sudah tak betah berada di rumah Didin lebih lama lagi. Gemercik air masih setia meningkahi (bukan menikahi, lho) atraksi delapan kura-kura berbagai etnis serta beberapa ikan emas dan koi. Namun, angan saya sudah melayang ke Pucang, hendak segera menyergap panci rebusan mi yang baru diangkat dari tungku.

Tiba di Pucang, kami mendapati rumah Ali kosong. Aduh, jangan-jangan Umi sengaja pergi menghindari pertemuan dengan saya? Siapa tahu, ketika bertelepon tadi Ali juga membuka rahasia ini: saya belum mandi. Suko bertanggung jawab atas perkara ini. Sebelum sarapan di rumah Didin, saya bertanya, “Aku mau rak wis adus, ta, Om?” Spontan Suko menjawab, “Mpun.” Kalau saya mandi, sama saja mementahkan kesaksian Suko.

Akhirnya Umi datang bersama putri bungsunya. Dia baru pulang dari mengantar anak keduanya ke tempat les. Tak berselang lama, kami disilakan makan siang. Tapi, kok, tidak tercium aroma mi rebus? Oh, iya, lupa: saraf penciuman saya putus sejak 13 tahun yang lalu. Kami menuju meja makan. Nihil!

Ki-ka: Gw, Suko, Diana, Shaila, Umi, Kaila (?), Ali

Begitu dahsyat imbas kenaikan harga BBM. Dari Comal sampai Banjarnegara, distribusi mi instan macet total dibuatnya. Nasib.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer