Langsung ke konten utama

Melayani

Semarang, 11/10/2022

Menjelang zuhur saya bertandang ke sebuah sekolah. Saya terprovokasi oleh tawaran classroom visit yang diunggah di situs web sekolah itu. Lalu saya ingat salah satu kalimat yang ditulis Bu Muren Murdjoko di Instagram pada 10 Juli 2021. Saya menemukan kutipannya di sebuah media daring.

"Uniknya, walau bukan sekolah Islam, terlihat beberapa anak muslim salat bersama guru agama di sekolah tersebut."

Begitu pengakuan ibunda Maudy Ayunda ketika mengintai sekolah yang kelak menjadi pilihan putri sulungnya itu.

Yang membuka kesempatan classroom visit ini adalah—sebagaimana eksplisit pada namanya—sekolah Islam. Saya penasaran: seperti apa aktivitas sekolah tersebut ketika tiba waktu salat? Maka saya putuskan untuk menyambanginya pada waktu zuhur.

Sekolahnya punya banyak kemiripan dengan sekolah yang diceritakan Bu Muren Murdjoko. Sekolah baru. Belum banyak fasilitas fisik yang dimiliki. Bangunannya tampak sudah berumur, mungkin bekas gedung sekolah yang sudah tidak beroperasi lagi. Baru ada satu kelas siswa, kelas 1.

Kedatangan saya disambut kumandang azan. Suaranya cukup lantang meskipun tanpa pelantang. Saya cari sumber suara. Saya masuk ke ruangannya. "Bukan murid," batin saya, "Bukan pula guru." Kesimpulan kedua itu hanya menebak berdasarkan kostum yang dikenakan si muazin. Mungkin ia penjaga sekolah. Atau tukang kebun. Atau pesuruh. Atau petugas kebersihan. Yang jelas, bukan satpam.

Usai azan dikumandangkan, saya melakukan sesuatu di ruang itu. Bukan masjid atau musala, ruangannya polos seperti ruang kelas. Sampai saya selesai menunaikan hajat, belum ada anak masuk ke musala darurat itu. Baru ada satu orang yang menyusul masuk, sepertinya teman si muazin. Suasana masih sepi. Tidak terdengar celoteh anak-anak. Tidak pula bunyi gedebak-gedebuk kaki-kaki berlarian.

Saya keluar lagi, lalu melongok ke ruang sebelah lewat kaca jendela. Anak-anak lagi menyingsingkan lengan baju dan celana. Saya menunggu di luar. Beberapa saat kemudian, seorang anak perempuan keluar. Kedua tangannya menenteng sepasang sandal, yang kemudian diletakkan di depan pintu dan dipakainya. Kedua lengan bajunya sudah terlipat hingga di atas siku. Celananya dilipat sampai bawah lutut. Gadis kecil itu berjalan ke utara, menoleh ke belakang—mungkin penasaran dengan orang asing yang mengamatinya, lalu berbelok ke kanan.

Berikutnya, satu, dua, tiga, ... belasan anak—perempuan dan laki-laki—menyusul. Prosedurnya sama: keluar membawa sandal, berhenti di depan pintu, meletakkan dan memakai sandal, dan berangkat ke tempat wudu. Jeda beberapa saat, lalu keluar lagi satu per satu. Semuanya 14 anak, enam perempuan dan delapan laki-laki. Rombongan terakhir ini berbeda dari sebelumnya. Mereka tidak langsung berjalan ke tempat wudu, tetapi berbaris di serambi kelas. Setelah rapi, baru mereka berjalan. Barisan putri berangkat lebih dulu. Pasukan putra menyambung di belakangnya. Seorang guru mengikuti di ujung barisan.

 

Usai menyaksikan anak-anak berwudu, saya kembali ke musala. Video di atas menggambarkan suasana dan peristiwanya. Ada anak yang mengambil dan membopong setumpuk sajadah dari lemari, lalu menaruhnya di lantai. Beberapa temannya menggelar sajadah-sajadah itu. Satu per satu ditata hingga membentuk dua saf. 

Sejumlah anak yang lain mengambil lembaran-lembaran kertas berlaminating. Mereka membagikannya kepada teman-teman dan guru-gurunya. Yang sudah duduk di sajadah dihampiri. Yang baru datang dicegat di pintu. Tulisan di kertas itu lalu dibaca bersama-sama. Sambil menanti kesiapan seluruh jemaah, mereka melantunkan zikir asmaulhusna. Mereka lafazkan 99 nama yang menunjukkan sifat-sifat Allah yang disebut di Al-Qur'an. Berikut ini videonya.

Ternyata yang saya temukan tidak sekadar kegiatan salat berjemaah. Sebelum salat berlangsung, saya disuguhi pemandangan apik. Anak-anak sekecil itu sudah akrab dengan kebiasaan saling melayani. Saya tidak tahu, tugas menata sajadah dan membagi teks zikir itu dijadwalkan piket bergilir atau sukarela. Saya juga tidak tahu, kebiasaan melayani sesama itu tumbuh sejak di keluarga atau baru ketika anak-anak masuk sekolah. 

Di mana pun mulai tumbuhnya, dapat dipastikan benihnya dari orang tua—melalui pewarisan sifat genetik ataupun pendidikan. Jika benih karakter gemar melayani itu sudah tumbuh dari keluarga, berarti sekolah berperan dalam memupuknya. Beruntunglah anak-anak yang mendapatkan sekolah yang sanggup memupuk dan menyuburkan bibit budi pekerti luhur mereka. Jika benih itu baru tumbuh di sekolah, beruntung juga anak-anak membawa benih akhlak mulia dari keluarga mereka.

Memang, sekolah sejatinya hanya pesemaian. Orang tualah yang menabur benihnya. Sinergi keduanya yang akan menentukan panenannya. Benih yang baik disemai di lahan yang baik, insyaalah, kelak dipanen baik pula.

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da