Langsung ke konten utama

Merawat Human Capital


Sumber gambar: https://www.jojonomic.com/blog/human-resource-development-2/

“The formula is simple: Happy employees equal happy customers. Similarly, an unhappy employee can ruin the brand experience for not just one, but numerous customers.” (Sharon Swift, Founder of SETTLEto)

Howard Schultz, CEO Starbucks, tampaknya menerapkan rumus serupa di perusahaan yang dipimpinnya. "Kami membangun brand Starbucks pertama-tama dengan para pegawai kami, bukan dengan pelanggan. Karena kami yakin bahwa cara terbaik untuk memenuhi dan melampaui ekspektasi pelanggan adalah dengan mempekerjakan dan melatih para pegawai yang hebat, kami berinvestasi di pemberdayaan pegawai," tegas Schultz.

Kepuasan pelanggan tentu menjadi idaman setiap pelaku usaha, apa pun bisnisnya. Namun, siapa sejatinya yang menciptakan kepuasan pelanggan itu? Para pegawai. Pekerja. Karyawan. Performa merekalah yang menentukan apakah pelanggan puas atas produk bisnis kita atau tidak. Richard Branson, CEO Virgin Air berkata, "Customer service can make or break a business. If you treat your staff well, they will be happy. Happy staff are proud staff, and proud staff deliver excellent customer service, which drives business success." 

Jadi, tugas manajemen adalah membahagiakan karyawan. Sedangkan membahagiakan pelanggan menjadi tugas karyawan. Seperti keyakinan Branson, karyawan yang bangga akan perusahaan atau institusi kerjanya akan secara sukarela memberikan layanan prima kepada pelanggan. Kebanggaan karyawan terhadap institusi kerjanya lahir dari perlakuan manajemen yang membahagiakan dirinya.

Bertolak dari paradigma demikian, kalangan praktisi pengembangan sumber daya manusia (HRD, human resource development) mulai bergeser ke pendekatan human capital dalam mengelola HRD. Karyawan bukan lagi dipandang dan diperlakukan semata-mata sebagai sumber daya (resource), melainkan juga sebagai modal (capital) perusahaan/institusi.

Dua paradigma yang berbeda tersebut berimplikasi pada perbedaan pendekatan dalam perlakuan terhadap karyawan.

Kedudukan - Dipandang sebagai sumber daya, karyawan dikuasai dan dikendalikan. Sebaliknya, ketika dipandang sebagai modal, karyawan dilibatkan dan diberdayakan. Pelibatan dan pemberdayaan berkontribusi secara signifikan dalam memaksimalkan kinerja karyawan dan bermuara pada performa organisasi. 

Karyawan dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan menyangkut dirinya. Setiap karyawan mesti memahami visi, misi, dan tujuan organisasi. Bersamaan dengan itu, ia memetakan kekuatan dan kelemahan dirinya yang berpotensi mendukung atau menghambat pencapaian visi, misi, dan tujuan tersebut. Kekuatannya diberdayakan dengan memberinya peran dan tanggung jawab yang relevan. Kelemahannya diberdayakan dengan memberinya kesempatan untuk belajar dan berlatih.

Fungsi - Sebagai sumber daya, karyawan semata-mata dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan. Sementara, karyawan yang dipandang sebagai modal akan terus-menerus ditumbuhkan agar nilai kemanfaatannya selalu meningkat.

Organisasi yang sehat selalu meningkatkan volume modal dari waktu ke waktu. Dengan tata kelola yang benar, volume modal berbanding lurus dengan kapasitas produksi. Volume modal dalam wujud manusia—karyawan—tidak selalu diukur secara kuantitatif. Kualitas karyawan jauh lebih besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan kapasitas produksi. Karyawan berkualitas menjadi jaminan bagi terwujudnya efisiensi dalam proses operasional organisasi. Maka, pertumbuhan volume human capital identik dengan peningkatan kompetensi karyawan.

Prinsip manajemen - Manajemen yang memandang karyawan sebagai sumber daya cenderung mengutamakan efisiensi: eksploitasi maksimal, investasi minimal. Sedangkan manajemen yang memandang karyawan sebagai modal akan mengutamakan efektivitas: investasi rasional demi kapasitas optimal.

Ngopeni karyawan itu investasi. Biaya yang dikeluarkan untuk ngopeni karyawan adalah belanja investasi. Melalui analisis yang cermat dan evaluasi secara berkala, kebutuhan kompetensi karyawan yang relevan dengan visi, misi, dan tujuan organisasi dapat dipetakan. Peta kebutuhan yang akurat ditindaklanjuti dengan eksekusi terukur dalam rangka memenuhinya. Konsekuensinya, belanja investasi rasional. Dampaknya, kapasitas operasi optimal.

Ukuran produktivitas - Dalam pandangan karyawan sebagai sumber daya, hasil diukur dari nilai produksi dikurangi nilai investasi. Pandangan karyawan sebagai modal mengukur kinerja berdasarkan rasio antara realisasi dan target.

Bisnis yang beradab adalah bisnis yang memiliki visi sukses untuk semua, sejahtera bersama: organisasi, karyawan, dan pelanggan. Organisasi hadir untuk memperbaiki kualitas hidup manusia. Jika bukan untuk membantu pelanggan menemukan solusi atas masalah dalam hidupnya, buat apa organisasi ada? Jika hanya untuk menimbun dan menggunungkan kemakmuran dirinya sendiri, buat apa organisasi diselenggarakan? 

Kesejahteraan organisasi diperoleh dari loyalitas pelanggan. Trust dan loyalitas pelanggan terbentuk oleh kepuasannya atas layanan karyawan. Layanan prima karyawan lahir dari kebanggaannya terhadap organisasi. Lalu apa dan siapa yang bertanggung jawab menumbuhkan dan memupuk kebanggaan karyawan? 

Pengukuran kinerja tiap-tiap karyawan dengan menghitung rasio realisasi terhadap target pekerjaan akan menghasilkan rapor individu yang berguna sebagai bahan pemetaan kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Antisipasi kerugian - Untuk mengantisipasi kerugian, pandangan karyawan sebagai sumber daya akan memicu tindakan pragmatis: karyawan yang menyusut produktivitasnya akan ditinggalkan (divestasi). Sebaliknya, manajemen dengan paradigma karyawan sebagai modal bersikap rasional: karyawan yang kinerjanya menurun akan dipulihkan (investasi).

Organisasi yang menempatkan kesejahteraan karyawan sebagai salah satu misinya akan berempati kepada karyawan yang mengalami regresi produktivitas. Organisasi secara kesatria mengambil tanggung jawab untuk mengembalikan—setidaknya, jika tidak mampu meningkatkan—performa karyawan. Prestasi organisasi bukan tercermin dari keserakahannya merekrut karyawan dengan best performance, melainkan ditakar berdasarkan kepiawaiannya membimbing setiap karyawan dari waktu ke waktu mencapai better performance.

Reaksi terhadap kesalahan - Sekali melakukan kesalahan, karyawan dianggap sebagai hama (patogen) yang layak untuk dieliminasi: mulai dari intimidasi, sanksi, hingga penalti. Itu berlaku pada paradigma karyawan sebagai sumber daya. Manajemen yang memandang karyawan sebagai modal memakai kacamata berbeda: karyawan yang membuat kesalahan adalah pasien. Tindak lanjutnya berupa terapi: diagnosis faktor-faktor penyebab kesalahan, remediasi, dan rehabilitasi.

Apresiasi atas prestasi - Prestasi kerja karyawan yang dipandang sebagai sumber daya mendapat apresiasi yang bersifat basa-basi: selebrasi, seremoni. Tidak berdampak (indifferent). Bila memandang karyawan sebagai modal, terhadap prestasi kerja karyawan, manajemen memberikan apresiasi yang berdampak: pengakuan, promosi, diseminasi.

Pengakuan autentik atas prestasi karyawan terwujud dalam pemberian peran yang sepadan dengan capaian kompetensinya. Peran proporsional itu menjadi ajang aktualisasi diri—kebutuhan tertinggi menurut piramida Maslow. Jika untuk memaksimalkan aktualisasi dirinya diperlukan kewenangan yang lebih luas, promosi jabatan menjadi jawabannya. Dengan kewenangan yang lebih luas, karyawan berprestasi memiliki peluang lebih besar untuk mendiseminasikan kecakapannya. Dengan demikian, akselerasi peningkatan kinerja kolektif dapat diperoleh.

***

Human resource dan human capital adalah dua sisi mata uang: karyawan adalah resource sekaligus capital. Tiap-tiap individu karyawan memiliki potensi bawaan (bakat, talenta) yang menjadi sumber daya bagi organisasi. Resource—perlahan namun pasti—akan terus-menerus mengalami penyusutan jika tidak difungsikan sebagai capital. Untuk memulihkan kinerja karyawan dibutuhkan investasi berupa pendidikan, pelatihan, rekreasi, dan sebagainya. Ringkasnya, pemulihan dan peningkatan kinerja hanya bisa dicapai melalui pengembangan kompetensi/keterampilan/kecakapan dan perbaikan kesejahteraan.

Manajemen human capital bertujuan untuk (a) menyelaraskan dan mengoptimalkan peran dan fungsi human capital dalam mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan organisasi; (b) mencapai kinerja unggul; dan (c) meningkatkan kualitas hidup, baik di dalam dan di luar organisasi (Xavier Bariller, praktisi Human Capital Management).

Bagaimana manajemen HRD di organisasi Anda?


Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da